Michael Haryo Bagus Raditya
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Email: michael.raditya@gmail.com
ABSTRAK
Dangdut dalam perkembangannya mengalami
banyak perubahan seiring dengan kemajuan zaman, pola selera masyarakat dan
budaya yang ada. Dalam keberlangsungannya pertunjukan dangdut Koplo mempunyai banyak unsur pertunjukan
yang baru. Pada hal ini unsur menarik itu adalah Senggakan. Dalam permainannya Senggakan
mempunyai fungsi yang kuat dalam setiap musikal yang dipertunjukan oleh orkes
melayu. Senggakan-Senggakan ini dalam permainannya
memberikan patahan-patahan serta ciri khas tersendiri yang membedakan antara
dangdut dan dangdut Koplo dalam
musikalitasnya. Dangdut Koplo dapat
berhasil dengan sukses karena adanya habitus masyarakat. Dalam hal ini adalah Senggakan, dann habitus Senggakan dimiliki oleh masyarakat Jawa.
Habitus tersebut berimplikasi kepada interkasi yang terjadi, partisipasi
terhadap Senggakan menunjang
eksistensi dari Dangdut Koplo.
Setelah ditilik lebih dalam, ternyata Senggakan
mempunyai fungsi dan guna pada masyarakat. Senggakan
tidak hanya sebagai ekspresi kultural dan musikal tetapi mempunyai esensi dalam
sosial dan kultural. Atas hal tersebutlah, mengapa Senggakan menjadi identitas musikal dan kultural dari masyarakat
memandang Dangdut Koplo.
Kata kunci: Senggakan, Dangdut Koplo, Identitas, Habitus,
Esensi
ABSTRACT
In its development, dangdut has been evolving in line with the globalization era, the
society preference and the cultural pattern. The current performance of dangdut Koplo has many new elements. Its
interesting element is called the Senggakan.
In each musical performance showed by the Melayu
orchestra, the Senggakan plays major
function. The Senggakan provides
beats and unique touch that make dangdut
Koplo distinct from dangdut in
terms of its musicality. The success of dangdut
Koplo is caused due to the existence of habitus society, i.e. the Senggakan and the Senggakan
habitus owned by Javanese society. That habitus has the implication to the
existing interaction. The participation on Senggakan
bears the existence of Dangdut Koplo.
After scrutinizing further, the Senggakan
is functioned and equipped by the society as cultural and musical expression.
Moreover, the Senggakan also
circulates social and cultural essences for the society. The Senggakan becomes accordingly the
musical and cultural identity of the society observing dangdut Koplo.
Keywords:
Senggakan; Dangdut Koplo; identity; habitus; essence
PENGANTAR
Dangdut, siapa yang
tidak mengenal jenis musik populer Indonesia yang satu ini, musik yang telah
mempunyai nilai tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Sudah menjadi jaminan
ketika sebuah acara menampilkan grup Dangdut maka akan ada keramaian. Hal
tersebut digunakan oleh beberapa partai politik di Indonesia dalam mengumpulkan
massa. Lewat alunan musik, syair dan goyang, dangdut memunculkan loyalitas kebersamaan
yang menyeluruh. Rasa yang muncul ini mampu membuat Dangdut diterima dalam hati
masyarakat. Pada dasarnya, asal mula Dangdut adalah campuran dari beberapa
jenis musik. Hal ini mengindikasikan bahwa Dangdut merupakan campuran atau
kombinasi dari musik-musik yang telah berkembang sebelumnya di Indonesia.
Weintraub (2010:82) menyatakan bahwa:
Dangdut has been constructed as a natural reflection
of the “rakyat”, as opposed to pop Indonesia, rock, jazz or other forms in
which musical elements are largely imported from Europe or the United States.
Wangi Indriya (2006:190) juga menyatakan
bahwa “orang Indonesia sekarang suka sekali dengan Dangdut. Bahkan di daerah
pelosok sekalipun Dangdut disukai masyarakat, belum ada apa-apa, penonton sudah
minta Dangdut”. Simatupang (1996:67) yang mengamati fenomona ini di tahun
1990an menyatakan bahwa:
Dangdut
menjadi program acara utama hiburan di TVRI, sekitar 40-60% dari 55 menit acara
hiburan musik yang ditayangkan TVRI diisi oleh musik Dangdut. Dangdut dikemas lewat program acara Aneka Ria Safari
Nusantara, Album Minggu, Kamera Ria, Musik Malam Minggu, dan sebagainya.
Musik dalam tataran yang lebih luas
mampu mempengaruhi pola selera masyarakat. Musik merupakan salah satu bentuk
seni yang selalu mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya zaman,
kebudayaan, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dilihat dari
munculnya genre baru dalam musik yang tidak terlepas dari kreativitas para
komposer, penulis lagu, musisi dan kebudayaan setempat.
Dangdut
dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan dan variasi dalam musikalitas
dan pertunjukannya. Hal tersebut dapat dilihat pada jenis dangdut yang
digandrungi kini adalah, Dangdut Koplo. Pada
dasarnya, istilah Koplo itu sendiri
masih dalam batas abu-abu. Dalam KBBI Edisi Keempat Tahun 2008, terdapat kata Koplo (kop.lo) yang berartikan dungu
(dalam bahasa jawa). Terdapat makna lainnya, yakni, Koplo pil yang mengandung zat psikotropika. Pembacaan lainnya yang
membahas tentang Koplo adalah Andrew
Weintraub, beliau menerangkan bahwa istilah Koplo
yang mengacu pada gaya pementasan, irama gendang dan tempo-cepat. Menurut
pemahamannya istilah ini berasal dari “pil Koplo”,
musik dengan tempo cepat ini merupakan cara mengungkapkan perasaan teler
tentang gaya tarian yang dianggap orang sebagai hal yang “sulit dipercaya” atau
“ajaib”.
Koplo
tercipta pada awal sampai pertengahan 1990-an, dan meledak pada era
pasca-Soeharto. Dangdut Koplo pertama
kali memang dikenal di Jawa Timur, tetapi tidak dapat diperkirakan asal muasal
dari musik tersebut. Koplo
diperkirakan tidak asli dari Jawa Timur, tetapi hanya berkembang saja. Anggapan
atas perkembangan ini dikaitkan dengan alat musik yang paling dominan yaitu
pola tabuhan kendang. Weintraub (2012:252) menyatakan bahwa kendangan Jaipongan Jawa
Barat masuk ke Jawa Timur sekitar tahun 1980an, dan berkembang pada permainan
musik di Jawa Timur dengan cita rasa Jawa Timur. Oleh karena itu, tidak dapat
dipungkiri perkembangannya yang menyebar secara luas.
Dalam perkembangan dan
persebarannya, Dangdut Koplo tersebar
dari Jawa Timur, dan persebaran paling luasnya terjadi di jalur Pantura. Hal
tersebut terbukti dengan banyaknya grup Dangdut Koplo di sepanjang jalur Pantura. Lagu Dangdut Koplo kerap terdengar di sepanjang jalan Pantura bila kita menaiki
transportasi massa disana. Persebaran Dangdut Koplo ke daerah lainya dapat dirasakan ketika fenomena Goyang
Ngebor Inul masuk ke industri musik Nasional. Persebaran Koplo makin luas bahkan sporadis. Dangdut Koplo mempunyai tempat tersendiri pada pertelevisian Indonesia,
bahkan Dangdut Koplo hampir
menggantikan peran Dangdut di televisi.
Pada faktor musik,
Dangdut Koplo sangat kental dengan
pengaruh berbagai gaya musikal, termasuk rock,
house, Dangdut dan Jaipongan. Pada iringan musiknya, Dangdut Koplo dominasi kendang Dangdut yang
bersuarakan “dang”. Permainan “dang” lebih dominan dibanding “dut”, bunyi ini
dihasilkan melalui teknik menggeser tangan di lapisan kulit/membrane kendang.
Perbedaan bunyi ini memberikan ruang joget tersendiri pada Dangdut. Sementara
dalam mengisi hal yang sama, pada Dangdut Koplo
melakukan banyak Senggakan-Senggakan seperti “dum plak ting ting
joss”, “yok ya”, “ek ya” atau “asik asik” bahkan “buka sitik joss” (buka
sedikit joss). Kerap kali Senggakan
dibarengi dengan goyangan-goyangan penyanyi yang aduhai. Rentetan tersebut
menjadi satu kesatuan dan memberi warna yang berbeda dalam Dangdut Koplo.
Senggakan
sebagai hal kecil mempunyai peran yang kuat dalam musikal dan pertunjukannya. Senggakan dalam pelakasanaannya dianggap
sebagai peramai suasana sehingga acara menjadi lebih meriah dan lebih
terhanyut. Senggakan dapat diartikan
sebagai pelengkap. Namun apakah para penikmat Dangdut Koplo bisa mendengarkan Dangdut Koplo
tanpa adanya Senggakan. Penelusuran Senggakan sebagai budaya masyarakat Jawa
dianggap sebagai suatu nilai yang diperlukan. Dalam Senggakan muncul partisipasi, dimana terkadang para pemain dan
penonton melakukan Senggakan, atau
menyela dengan kata-kata terpola dan tidak terpola. Hal tersebut menjadi menarik
karena dalam pembacaan secara tekstual dari pola ritmik pada lagu yang
dibawakan oleh OM Dangdut Koplo.
Sudah barang tentu terjadi interlocking-interlocking
yang dimainkan dalam setiap lagunya. Senggakan memang dianggap hal yang
sederhana tetapi dalam keberlangsungannya mempunyai makna kebudayaan, esensi,
guna dan fungsi. Bahkan Senggakan menjadi identitas musikal pada Dangdut Koplo.
PEMBAHASAN
Senggakan terbukti membedakan tempo musik, patahan-patahan
musik serta memberikan efek yang lebih enerjik dan lebih partisipasif dalam
keberlangsungannya. Senggakan
dianggap sebagai unsur yang menjadikan alunan suara yang khas dalam setiap
permainannya. Jenis Senggakan yang
tercipta pun muncul beragam berdasarakan repertoar lagu Dangdut Koplo yang dimainkan. Terkait dengan hal
itu, Senggakan terbentuk berdasarkan
kontur budaya masyarakat yang mengalami penubuhan pada pelakunya. Keterkaitan Senggakan pada Dangdut Koplo akan lebih terlihat dan tampak
dalam keberlangsungannya baik disadari maupun tidak disadari.
Habitus Senggakan Dangdut Koplo
Pada
keberlangsungannya, Senggakan
mempunyai kesatuan lain dengan unsur musik lainnya dan membentuk makna baru
dalam permainannya. Pengaplikasian Senggakan sebenarnya dapat dilakukan oleh semua orang,
tetapi keberhasilan Senggakan itu dapat ditentukan dari orang yang memainkan dan
orang yang mendengarkan. Dalam hal ini, baik pelaku atau penonton akan dapat
menerima Senggakan dengan baik ketika mereka telah mempunyai habitus atas Senggakan tersebut. Pada dasarnya, Habitus
menurut Bourdieu (1990:53) merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan
praktis yang tidak harus selalu disadari, yang kemudian menjadi sumber
penggerak dalam lingkungan sosial tertentu. Dari hal tersebut menjelaskan
bagaimana habitus menjadi sebuah ketrampilan yang menjadi tindakan kebiasaan
baik disadari maupun tidak, kemudian mempunyai implikasi yang luas terhadap
keberlangsungannya di kehidupan nyata. Keterampilan tersebut terjadi tidak
semata-mata begitu saja, tetapi terjadi pengulangan secara terus menerus,
seperti yang diungkapkan Bourdieu (1990:53):
The habitus, the durably installed generative
principle of regulated improvisations, produces practices which tend to
reproduce the regularities immanent in the objective conditions of the
production of their generative principle
Bourdieu menekankan bahwa habitus
merupakan sebuah keteraturan terbentuk karena adanya pembiasaan yang berulang.
Pembiasaan yang berulang terjadi karena adanya latihan yang terus menerus
hingga membentuk keteraturan yang bersifat immanent. Habitus merupakan struktur
yang menstruktur seorang individu dalam disposisi sehingga menubuh di luar
kesadaran si individu. Pada dasarnya Habitus merupakan kebiasaan yang ada pada
tubuh, sehingga semuanya seperti bersifat otomatis atau bekerja diluar
kesadaran. Habitus terjadi jika terkonstruk di kepala individu, terbiasa dengan
praktik dan lingkungan, dan toksonomi praktis (Bourdieu:1990:53).
Dari hal tersebut
pembiasaan terjadi karena adanya latihan yang berulang, latihan yang berulang dapat
tercipta berdasarkan apa yang menjadi habitus itu sendiri, seperti halnya
budaya, keluarga, lingkungan, sekolah, dan banyak lagi. Terkait dengan hal
tersebut Bourdieu (1994:1) menjelaskan bahwa:
culture
as a gift of nature, scientific observation shows that cultural needs are the
product of upbringing and education: surveys establish that all cultural
practices (museum visits, concert-going, reading etc.) , and preferences in
literature, painting or music, are closely linked to educational level (measured
by qualifications or length of schooling) and secondarily to social origin.
Dari hal tersebut menjelaskan bahwa
seluruh praktik kultural seperti halnya musik sangat berkaitan dengan tingkat
pendidikan dan lingkungan sosial. Tingkat praktik kultural membuat
peluang-peluang dalam mengkonstruksi masyarakat dibawah sadar mereka. Bourdieu
mempercayai bahwa asal usul sosial memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
pengetahuan seseorang.
Terjadinya Senggakan dalam artian yang hakiki
sebenarnya belum diketahui, tetapi Senggakan
dalam konsep musik telah terjadi pada seni karawitan. Pada dasarnya,
Poerwadarminta (1939:557) dan Murwaningrum (2012:5) menyatakan bahwa:
Senggakan memiliki kata
dasar senggak yang memiliki arti njuwara gijak aramé
mbarengi (njamboengi) oenining gamelan (sinden). Dari cara
penyajiannya, Senggakan di dalam karawitan memiliki kesan rasa ramé.
Dengan demikian Senggakan dapat diartikan vokal bersama atau tunggal
dengan menggunakan cakepan parikan dan atau serangkaian
kata-kata (terkadang tanpa makna) yang berfungsi untuk mendukung terwujudnya
suasana ramai dalam sajian suatu gendhing.
Dalam keberlangsungannya,
ketika Senggakan dapat dilakukan dengan vocal bersama atau tunggal dan bermakna atau
sebaliknya, maka Senggakan dapat diartikan sebagai unsur yang fleksibel.
Pemaknaan fleksible disini adalah dapat diintepretasi dan diartikan oleh siapa
saja terkait dengan teks dan kontekstual. Keberadaan Senggakan yang fleksibel digunakan
secara bebas bagi mereka yang mempunyai habitus dan intepretasi yang baik. Senggakan telah berkembang
sedemikan rupa dalam penggunaannya. Posisi Senggakan pun tidak sendiri, dalam
penerapannya Senggakan saling berhubungan dengan alat musik yang
dimainkan. Seperti yang diungkapkan Budiarti (2006) menyatakan bahwa:
Senggakan yang mengikuti pola tabuhan kendhang
penerapannya sewaktu-waktu menyesuaikan pola tabuhan kendhang. Cakepan
yang digunakan biasanya berupa frase tertentu seperti “telulululu, ho’
yah-ho’ yah, hae-hae, domak tingting jos, esod-esod, eh-oh-eh, ep-op-ep”
dan lain-lain. Adapun Senggakan pematut diterapkan pada irama lancar
dan irama dadi yang pada umumnya menggunakan cakepan “dhowa lolo
loing”. Selain Senggakan-Senggakan di atas ada juga interaktif
atau dialog antara sindhen dengan penggerong atau pengrawit.
Senggakan
dalam permainannya menyatu dengan permainan kendang, dan dalam
keberlangsungannya Senggakan tidak
lagi hanya pada suara tetapi mengikuti dan saling melengkapi dengan lainnya.
Dalam
keberlangsungannya, musik Dangdut Koplo
pun muncul Senggakan-Senggakan sebagai salah satu unsur dalam
musik dan pertunjukannya. Sebenarnya para pelaku menyebutkan kata-kata lain
untuk menyebutkan hal tersebut, yakni jep-jep-an.
Penggunaan kata Senggakan atau jep-jep-an sering digunakan dalam
penyebutan gaya musikal ini, tetapi para penonton lebih mengenalnya pada
kata-kata Senggakan. Hal tersebut
tidak dapat bisa dipungkiri karena habitus masyarakat yang berasal dari Jawa
dan telah mengetahui Karawitan secara lebih mendalam, sebagai musik dasar
masyarakat. Pengaruh Senggakan dalam
karawitan pun ikut membekas pada habitus kultural masyarakat, dimana banyak
implikasi yang muncul seperti halnya dalam penggunaan beberapa kata-kata yang
tetap digunakan untuk merepresentasikan Senggakan
dalam bentuknya.
Sebenarnya penggunaan
kata “Senggakan” dalam Dangdut Koplo saja sudah menjadi wujud dari
pengaruh kultur yang tidak disadari dalam masyarakat. Perkataan Senggakan pun dalam artiannya mempunyai
esensi yang kuat, hal tersebut dapat dilihat dengan pengaplikasian Senggakan pada Dangdut Koplo. Berdasarkan esensi yang diketahui
oleh para pemain, Senggakan tidak
hanya sebagai variasi-variasi dalam permainan, tetapi menjadi karakteristik
dalam segala bentuk permainan dan repertoarnya. Para pemain telah mempunyai
pengetahuan tentang Senggakan secara
tidak sadar ketika mereka mendengarkan karawitan, sehingga dalam permainannya
mempunyai unsur-unsur musikal yang sama. Pada permainannya, Senggakan mempunyai implikasi lain pada
Dangdut Koplo, hal tersebut dikatakan
oleh pemain OM New Satria, “yo Senggakan
atau jep-jep-an itu variasi tapi bikin ciri khas tersendiri mas”. Senggakan yang notabene merupakan unsur
karawitan menjadi warna baru dalam dunia Dangdut. Para pemain Dangdut Koplo yang secara keseluruhan berasal
dari tanah Jawa pun mempunyai landasan pengetahuan atas hal tersebut. Pada hal
ini, esensi Senggakan pada hal ini
dimiliki oleh para pemain sebagai penyaji sebuah pertunjukan.
Pengetahuan atas Senggakan tersebut oleh para pemain pun
diterapkan pada permainan Dangdut Koplo
dalam repertoar-repertoar lagu. Walaupun demikian para pemain pun harus
melakukan latihan pembiasaan atas penerapan Senggakan
pada Dangdut Koplo. Seperti halnya
yang diungkapkan oleh Peppy dari OM New Satria
“Biasane Senggakanne niru jawa timuran
terus musisine do nyimak di rumah masing-masing, cara belajare Nyimak, terus
nek ono lagu anyar baru latihan mas, tapi ya tetep melu pengendangnya mas,
pengendang New Satria ikuniru sera jadi yang lain juga ngikut”
Dalam penerapan Senggakan, terbukti ada proses belajar kembali dengan menyimak
lagu-lagu yang dijadikan model dalam permainannya. Para pemain mempelajari dan
melakukan latihan secara terus menerus, sehingga permainan atas Senggakan dapat berjalan dengan baik.
Dari hal di atas juga telah terlihat bahwa ada model atau contoh yang diacu
dalam permainan Senggakan pada
Dangdut Koplo, tetapi dalam
keberlangsungannya, permainan Senggakan
tetap didasarkan pada intepretasi dan habitus dari pelaku. Senggakan pun tercipta berdasarkan para penciptanya, karena setiap
pembuat Senggakan mempunyai gaya yang
berbeda, tetapi ada sebuah ruang yang dapat ditarik lurus bahwa hal tersebut
merupakan Senggakan. Seperti halnya
dalam permainan sebuah repertoar Dangdut pada bagian reff yang berjudul
“Oplosan”:
A B
C
D[1]
Dari gambar kendangan
diatas, gambar A merupakan kendangan OM Sera dan gambar B merupakan kendangan
OM New Satria, ada perbedaan dalam bagian depan yakni dalam teknik pemukulan
gendang. Gambar selanjutnya adalah gambar C dan D, gambar C merupakan kendangan
OM Sera, dan gambar D merupakan kendangan dari OM New Satria. Pada gambar C dan
D jelas terlihat perbedaan cara ketukan dan pukulan kendang, tetapi dalam
repertoarnya tetap dapat berjalan dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa jenis
pukulan kendangan dan Senggakan tetap
didasrakan pada habitus dan intepretasi dari penyaji, walaupun ada acuan
sebagai contoh, tetapi gaya tetap tidak bisa ditinggalkan dan bahkan menjadi
warna tersendiri dalam keberlangsungannya. Senggakan
dalam pengaplikasiannya sangatlah atraktif. Hal tersebut dirasa sangat berat,
karena harus terjalinnya antara penonton dan penyaji dengan pengetahuan dan
intepretasi yang sama. Dalam hal ini habitus sangat berperan kuat, wilayah
budaya sangat melandasi habitus dari individu maupun kelompok, dan pada Senggakan Dangdut Koplo ini pun terjadi berdasarkan habitus individu dan habitus
masyarakat.
Senggakan dan Implikasinya pada Dangdut Koplo
Senggakan
sebagai unsur musikal dalam Dangdut Koplo
juga membentuk tatanan-tatanan dalam permainannya. Dalam pengaplikasiannya, Senggakan merupakan unsur musikal di
dalam pertunjukan dalam merespons stimulus gendhing. Berhubungan dengan itu, Senggakan pada kendang tidak berdiri
begitu saja, adapun Senggakan yang
dibuat oleh pemain lainnya, baik dari alat musik, dari teriakan MC atau pemain
tamborin dan penyanyi, serta goyangan penyanyi sebagai puncak dari Senggakan. Seperti halnya:
Kendang[2]
|
|
Musik
Lain
|
Tamborin
akan mengikuti permainan nada 55 dan 45 dan diakhiri dengan nada 45
Pemain
musik lainnya akan mengikuti permainan kendang 60 dan diakhiri dengan akhiran
oleh semua pemain di kendang 45 yang terakhir.
|
Vocal
|
Eh
hah yak yak yak yak yak yak yak
yak yak yak Bukak Sitik Joss
|
Joged
|
-----------------------------Joged biasa-------------------------------- +
+:
Joged Berhenti dengan goyangan yang sensual.
|
Kendang
|
|
Musik
Lain
|
Alat
musik seperti gitar, bass, drum, keyboard dan tamborin akan bermain secara
serentak pada nada 60
|
Vocal
|
Icik
icik icik icik icik icik he ha heeeeee nyoh
|
Joged
|
-----------------------------Joged biasa--------------------------------- +
+:
Joged Berhenti dengan goyangan yang sensual.
|
Kendang[3]
|
|
Musik
Lain
|
Alat
musik seperti gitar, bass, drum, keyboard akan bermain secara serentak pada
nada 60 dan akan bermain secara menyambung di akhir bait, sedangkan pemain
tamborin bermain pada nada 45 dan 61 dan diakhiri dengan nada menyambung pada
bagian akhir bait.
|
Vocal
|
Eaaaaaaaaaaa eaaaaaaaaaa eaaaaaaaa jogojosgojos
|
Joged
|
-----------------------------Joged biasa-------------------------------- +
+:
Joged Berhenti dengan goyangan yang sensual.
|
Dari proses Senggakan yang terjadi, dapat dilihat
bahwa Senggakan tidak hanya terdiri
dari kendang, tetapi ada penambahan seperti halnya alat musik lain, suara vocal
penyanyi dan MC, dan Joged dari para penyanyi serta dari pemain musik lainnya.
Hal ini membentuk Senggakan menjadi
satu kesatuan yang utuh, dan semakin kuat dalam keberlangsungannya.
Pola-pola
permainan kendang dalam keberlangsungannya memang menjadi nyawa dalam musik
Dangdut Koplo ini, tetapi dalam
keberlangsungan permainan kendang, permainan musik lain juga turut mengikuti
pola kendangan, sehingga pola kendangan terdengar tidak polos atau terisi. Pada dasarnya adapun fungsi dari suara ramai
dan variatif, Turino (2008:36) menjelaskan bahwa:
Functioned to inspire or support
participation, functioned to enhance social bonding, a goal that often
underlies participatory traditions, and dialectically grew out or were the
result of partipatory values and practice.
Dari sinilah dapat dikatakan bahwa suara
menjadi hal penting dalam sebuah permainan. Senggakan
muncul karena sebuah keteraturan atas interaksi. Selain suara isian musik,
penambahan vokal pada Senggakan juga
memberi warna lebih dalam permainannya, suara vokal dalam Senggakan seakan menjadi symbol tersendiri dalam permainannya.
Suara teriakan menyenggak yang terpola dan tidak terpola menjadi warna
tersendiri, sesekali suara teriakan yang mengikuti permainan kendang,
teriakan-teriakan seperti, “Bukak Sitik
Joss”, “Icik-icik Ehem-ehem”, “Geli Dikit nyoh”, “ea e ea e ea e”, “ayoo
mass” dan masih banyak lagi teriakan yang lebih bersifat vulgar dan menggoda.
Tetapi pada artian yang lebih luas, teriakan tersebut bermakna lebih transparan
dan lebih alami, sebagai bentuk ekspresi kebebasan.
Senggakan
dalam Dangdut Koplo merupakan wujud
dari “participatory performance”,
tidak hanya menjadi “presentational
performance”. Turino (2008:26) menyatakan bahwa:
Participatory performance is a special
type of artistic practice in which there are no artist-audience distinctions,
only participants and potential participants performing different roles, and
the primary goal is to involve the maximum number of people n some performance
role. Presentational performance, is contrast, refers to situations where one
group of people, the artists, prepare and provide music for an-other group, the
audience, who do not participate in making the music or dancing.
Dari hal diatas menjelaskan bahwa
terjadi interaksi yang besar pada Senggakan
dalam Dangdut Koplo. Penonton dan
pemain seakan tidak ada jarak, tidak ada beda, dan saling berinteraksi dalam
merespons aktifitas yang ada. Aktifitas seperti halnya Penyanyi menanyakan
judul lagu yang diinginkan, mengajak bernyanyi, menggoda para penonton yang
bergoyang, dan banyak lagi, sedangkan pada lingkup pemusik, pemusik juga
melihat dari joged dari penonton, ketika joged sudah berlangsung, maka tempo
dan joged akan di klimakskan dengan iringan musik yang lebih cepat dan
semangat. Sesekali para pemusik ikut mengikuti joged para penonton atau
penyanyi, mengajak bergurau degan penonton dan banyak lagi. Sedangkan pada
lingkup penonton, penonton tidak hanya mejadi penonton pasif, tetapi penonton
mempunyai porsi yang besar dalam keberlangsungannya. Permintaan penonton
seperti halnya lagu, joged dan penyanyi pun menjadi utama dalam pertunjukan
ini.
Interaksi
yang terjadi antara penyanyi, pemusik dan penonton menjadi nyawa dalam
pertunjukannya. Partispasi dari penonton menjadi sangat penting dalam
pertunjukannya. Baik penonton bagian depan, tengah dan belakang, mereka terbagi
berdasarkan cara menikmatinya saja, tetapi muncul interaksi baik secara
eksplisit maupun implisit sebagai ekspresi mereka dalam berinteraksi. Dari sini
dapat dikatakan bahwa adanya hubungan simbiosis mutualisme dalam keberadaan
pertunjukan Dangdut Koplo ini, mereka
sama-sama memerlukan dan saling berhubungan. Terlebih pada Senggakan, suara dan joged pun menjadi interaksi yang paling penting
dalam pertunjukan, seperti halnya suara teriakan pada Senggakan, joged dan gekstur tubuh para penonton dalam menikmati Senggakan, ketika para penyanyi
melakukan goyangan patah, maka para penonton mengoyangkan tangan atau kaki
dalam memberi gong pada akhir Senggakan.
Respon dari Senggakan tersebut juga
beraneka ragam, ada yang melakukan respon diam, tetap berjoged, atau meghentak
seirama dengan Senggakan dan
patahan-patahan.
Dengan
terjadinya interaksi antar para penonton, pemusik dan penyanyi, maka maksud
sebuah pertunjukan dapat tersampaikan dengan baik. Turino (2008:33) menekankan bahwa:
Participatory values are distinctive in
that the success of a performance is more importantly judged by the degree and
intensity of participation than by some abstracted assessment of the musical
sound quality
Partisipasi dari setiap element
pertunjukan menjadikan simbol tersampaikannya pesan dan makna dari sebuah
pertunjukan dan diintepretasikan oleh para penonton dengan Senggakan, teriakan dan joged. Partisipasi dan interaksi menjadi
point penting dalam keberlangsungan Dangdut Koplo,
dimana itu semua tertuang pada Senggakan,
dan menjadikan musik Dangdut Koplo
sebagai satu keutuhan.
Keberlangsungan
Senggakan Dangdut Koplo
Dangdut Koplo dapat menjaga eksistensinya bahkan
menjadi acuan musik sekarang tidak semata-mata karena musikalitas atau salah
satu unsur dalam pertunjukan, tetapi semua unsur membentuk satu garis linear
yang memberikan warna baru dalam pertunjukan. Keterkaitan antar unsur tidak
hanya dilihat dari relasi yang terjadi, tetapi ada nilai lain dalam
keberlangsungannya, yakni nilai fungsi dan guna dari hal tersebut. Adapun
fungsi dan guna dari Senggakan
sebagai unsur dalam Dangdut Koplo.
Berhubungan dengan fungsi dan guna, Merriam (1964:222-226) menyatakan bahwa:
Music can function as a mechanism of
emotional relase for a large group of people acting together.. an important
function of music, the, is the opportunity it gives for a variety of emotional
expressions- the release of otherwise unexpressible thoughts and ideas, the
correlation of a wide variety of emotions and music, the opportunity to “let
off steam” and perhaps to resolve social conflicts, function: the function of
aesthetic enjoyment, function of entertainment, function of communication, function
of symbolic representation and function of physical response, function of
enforcing conformity to social norms, function of validation of social
institutions and religious rituals, function of contribution to the continuity
and stability of cultre, function of contribution to the interagation of
society.
Sedangkan pada nilai kegunaan, Merriam (1964:210)
dalam
bukunya juga menjelaskan nilai use dalam kesenian, yakni:
When we speak of the uses of music, we
are referring to the ways in which music is employed in human society, to the
habitual practice or customary exercise of music either as a thing in itself or
in conjunction with other activities.. music is used in certain situations and
becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper junction . Use
then, refers to the situation in which music is employed in human action.
Dari hal tersebut dapat
dilihat adanya perbedaan yang jelas antara fungsi dan guna dari sebuah hal.
Sesuai dengan pernyataan dari Merriam perihal fungsi, bila melihat Senggakan dari unsur fungsi, ada
beberapa fungsi yang mewakili bentuk dari Senggakan,
seperti halnya sebagai pengungkapan emosional, bentuk dari penghayatan estetis,
media hiburan, komunikasi, perlambangan, reaksi jasmani, kesinambungan budaya
dan pengintegrasian masyarakat. Senggakan
yang tertuang pada pola kendangan yang berimplikasi pada gerakan dan suara
menjadikan Senggakan sebagai ungkapan
emosional, selain itu penghayatan estetis menurut intepretasi dari para pelaku
juga terjadi. Senggakan dalam permainannya
sudah barang tentu menjadi media hiburan.
Pada nilai kegunaan,
Merriam menegaskan bahwa kegunaan lebih mengutamankan musik dalam kehidupan
sosialnya, dapat dikatakan disini adalah konteks dari teks menjadi perihal
utama dalam nilai guna. Dalam keberlangsungannya, musik mempunyai nilai guna
pada situasi terkini dan menjadikan musik bagian dari kehidupan. Konteks pada
kehidupan dalam musik menjadi nilai kegunaan dari sebuah kesenian. Dalam hal
ini, khususnya Senggakan sebagai
objek utama dari nilai guna. Senggakan
dalam keberlangsungannya juga terjadi tidak begitu saja, ada konteks budaya
yang terjadi. Bila dilihat dari habitusnya, sudah dijelaskan bahwa Senggakan muncul dari kebudayaan Jawa,
dimana hal tersebut paling bisa dilihat pada permainan musik karawitan, hal
tersebut menubuh dan menjadikan nilai wujud ketika dimainkan. Senggakan tidak hadir begitu saja, Senggakan bisa dikatakan sebagai
patahan-patahan dan resistensi dari konservatifitas dari sebuah permainan,
yakni etika-etika dalam bermain karawitan yang mempunyai sakralitas yang
tinggi, sedangkan pada Senggakan hal
tersebut seakan menjadi klimaks atau potongan-potongan yang melawan
keteraturan.
Dalam hal ini, para
pelantun dan penikmat mempunyai pemahaman terkait dengan fungsi dan guna dari Senggakan pada Dangdut Koplo. Setelah dilakukan observasi dan
wawancara terlihat bahwa secara sengaja atau tidak disengaja, mereka telah
menikmati implikasi dari Senggakan
itu sendiri. Sepert halnya Peppy yang menyatakan bahwa: “Yo Senggakan atau jep-jep-an itu variasi tetapi buat ciri khas
tersendiri, bisa buat lebih bebas, ada hentakannya, jadi lebih semangat
perasaannya”. Implikasi nada-nada minor maupun mayor yang dibarengi dengan Senggakan membuat ada perasaan tidak
seperti biasanya, dan pada hal ini adalah adanya perasaan lebih bebas yang
menggambarkan perasaan yang lebih semangat ketika mendengarkan repertoar
lagu-lagu Dangdut Koplo. Perasaan
lebih bebas menggambarkan adanya kebebasan dari sebuah system terdahulu,
seperti halnya etika, budi pekerti, dan banyak lagi yang mempunyai kekangan dan
kuasa dalam penerapannya. Perasaan lebih bebas menjadikan sebuah tanda bahwa Senggakan bisa menjadi alat resistensi
secara halus dalam melawan sistem yang ada. Bila ditilik kembali, adalah
perkara habitus yang menjadikan hal tersebut menjadi suatu hegemoni tersendiri.
Dari sini dapat dilihat bahwa fungsi dan guna dari Senggakan terhadap Dangdut Koplo
itu sendiri, terhadap penonton dan penyaji, mempunyai artian yang sangat luas
dalam keberlangsungannya. Fungsi sebagai tujuan dari pelaksanaan dan guna
merupakan kekuatan konteks yang menjadi alasan dari Senggakan tersebut.
Senggakan sebagai Identitas dalam Dangdut Koplo
Pada
dasarnya, terkait dengan identitas itu sendiri, Hall (1990:25,223)[4]
dan Barker (2004:22) memberikan dua pandangannya tentang identitas kultural,
yakni: [5]
Pandangan
esensialime dan anti esensialisme. Pandangan yang pertama, identitas kultural
dimaknai sebagai sesuatu yang satu, budaya yang digunakan bersama, semacam
‘jati diri’ kolektif, bersembunyi di dalam banyak hal yang lain, lebih
superficial atau artifisialitas yang dipaksakan pada ‘diri’. Di mana kelompok
orang dengan sebuah sejarah bersama dan keturunan yang didasarkan dalam
kesamaan. Dengan pengertian seperti ini identitas kultural merefleksikan
pengalaman sejarah yang sama dan berbagai kode-kode kultural yang membawa kita
sebagai satu masyarakat. Pandangan yang kedua, sebuah persoalan menjadi sepadan
dengan being. Jauh dari menjadi
‘selesai’ (fixed) mereka adalah subjek dari keberlanjutan ‘bermain’ (play) dari
sejarah, kebudayaan dan kekuasaan.
Sesuatu yang bersifat kolektif
menyebabkan sebuah hal mempunyai kekuatan kebersamaan lebih kuat. Dari hal ini
dapat dilihat bahwa identitas juga membutuhkan penubuhan dalam
keberlangsungannya. Penubuhan bisa bersifat individu dan komunal. Penubuhan itu
sendiri juga terbentuk berdasarkan habitus-habitus dari pelaku. Identitas
terbentuk karena ada kesamaan persepsi atas sebuah hal.
Pada
hal ini, Dangdut Koplo juga membentuk
identitas baru dalam hal musikalitas permainannya. Dangdut Koplo tidaklah lagi mengikuti pakem Dangdut sebagai sebuah musik,
tetapi menciptakan baru karena adanya percampuran-percampuran budaya yang terus
berkembang. Seperti halnya pada pola tabuhan kendang Dangdut yang lebih monthon
dibandingkan dengan Senggakan yang
ada pada pola tabuhan kendang Dangdut Koplo.
Perbedaan pola kendangan membentuk banyak perbedaan, pada hal ini adalah pada Senggakan, patahan-patahan yang muncul
karena pola tabuhan kendang membentuk Senggakan-Senggakan tersebut.
Pola tabuhan kendang
Dangdut Koplo memunculkan Senggakan sebagai patahan-patahan, dan
efek dalam lagu menciptakan sebuah explosure
dalam sebuah lagu. Adanya ledakan-ledakan, klimaks-klimaks yang dibuat pada
bagian-bagian lagu memberikan dampak lagu lebih enerjik. Enerjik dengan pola explosure-explosure tertentu. Senggakan merupakan partial pembeda yang
sangat dominan pada lagu-lagu yang dibawakan, jikalau sebuah judul lagu
dibawakan secara Dangdut dan dibawakan secara Koplo, maka akan berbeda atas lagu yang dibawakan kedua genre
tersebut. Dalam penerapannya, pada pola rhytm
gitar dan bass bisa memiliki kemiripan permainan, tetapi pada pola kendangan
akan berbeda, sehingga efek yang muncul pada lagu akan berbeda pula.
Pembentukan Senggakan pada Dangdut Koplo menjadikan Senggakan sebagai karakteristik musikal dari Dangdut Koplo yang terkuat, bahkan menjadikan
identitas musikal tersendiri. Hal tersebut sangat diperkuat dengan beberapa
pernyataan dari penyaji dan penonton, dari kalangan penonton, Beny menyatakan
bahwa:
“Kalau
aku di Dangdut Koplo paling suka itu
kendangannya, suaranya itu beda, lebih cepat, permainannya itu variatif dan
beda-beda, kendangannya itu bikin aku merhatiin lebih ke situ, kendangan Koplo nyawa musiknya tu mas”
Sedangkan pada pemain, seperti halnya
Peppy dari OM New Satria menyatakan bahwa:
“Ya kalau kami
pemain tu ngikutin kendangan pengendangnya mas, aba-aba mulai dari kendangan,
mau mainnya seperti apa yang bedain kendangannya mas, pemimpin musik kami lah
mas”
Dari hal ini, sudah dapat terlihat bahwa
kendangan menjadi sesuatu yang utama dalam keberadaannya. Kendangan tidak bisa
diindahkan, karena sudah barang tentu kendangan menjadi nyawa dari Dangdut Koplo. Para penonton pun secara tidak
sadar juga sudah membuat klasifikasi identitas musikal, dimana kendang pada
Dangdut Koplo menjadi unsur musikal
terpenting dalam keberlangsungan permainannya. Tidak hanya melulu pada
penikmat, para pelaku pun juga menyadari bahwa kendangan menjadi pusat
permainan musik Dangdut Koplo.
Dari pernyataan diatas
menyatakan bahwa dalam pembentukan identitas sebuah hal terdiri unsur-unsur
tertentu yang saling terkait. Seperti halnya yang dinyatakan Burke (2009:7)
bahwa: “Dalam identitas, identas seseorang atau kelompok merupakan wilayah
dimana bermacam-macam agensi berperan”. Pernyataan Burke menekankan bahwa dalam
pembentukannya, terdapat agensi-agensi yang berperan. Terdapat faktor-faktor
yang menjadikan sebuah hal menjadi identitas dari hal tersebut. Agensi-agensi
disini berperan sebagai pembentuk identitas. Dalam hal ini Dangdut Koplo, permainan kendang bertempo cepat,
variatif, dipenuhi Senggakan
membentuk identitas musikal tersendiri bagi Dangdut Koplo, dan hal ini akan sangat terasa jika kendangan tidak
dimainkan pada permainan repertoar lagu Dangdut Koplo.
Dalam kategori ini
bahwa dalam pembentukan identitas dapat terjadi secara sendirinya atau terjadi
karena proses interaksi yang dialami dengan unsur lain. Pada hal ini kendangan
yang memproduksi Senggakan merupakan
hasil proses dari sebuah interaksi. Interaksi budaya, kelompok dan individu
yang mengkonstruksi permainan baru dalam Dangdut, yang dikenal dengan kendangan
pada Dangdut Koplo. Proses interaksi
pun membentuk intepretasi baru yang bahkan dalam perwujudannya akan lebih kaya
disesuaikan dengan unsur apa saja yang berinteraksi. Dalam keberlangsungannya,
ada hal lain yang penting dalam pembentukan identitas tersebut, point
terpenting adalah kesamaan dalam habitus dari interaksi budaya, kelompok atau
individu itu sendiri. Erich From dalam Abdillah (2002:202) menyatakan bahwa:
Erich
From melihat identitas sebagai masalah yang erat kaitannya dengan persoalan
pengalaman-pengalaman manusiawi yang sulit diklasifikasikan dalam hubungannya
dengan perasaan, afeksi dan sikap.
Dari sini dapat dilihat bahwa terdapat
pengalaman-pengalaman yang sama dalam pembentukannya, hal ini dapat diartikan
bahwa, pembentukan identitas akan bisa berjalan dengan baik jikalau terdapat
kesamaan habitus pada hal ini. Interaksi budaya yang terjadi tidak terlalu
berbeda atau masih bisa berintegrasi. Hal tersebut akan terasa jika kita
melihat Dangdut di daerah Sumatera, tiada Dangdut Koplo menjadi basik permainan mereka, tetapi seperti Dangdut Saluang
yang menjadi basik permainan mereka. Selalu terdapat intepretasi baik dari penyaji
walaupun penonton, dan intepretasi dapat mengalami keseragaman jika memiliki
habitus yang sama.
Dalam pembentukan
identitas, para penyaji mengalami laku dan pengalaman yang sama. Dalam hal ini
Castells (2010:6-7) menyatakan bahwa: “Dalam
melihat identitas, identitas sebagai sumber makna dan pengalaman manusia, dan
dari perspektif sosiologi, semua identitas dikonstuksi”. Hal ini jelas
memperkuat pernyataan bahwa identitas dikonstruksi dari interaksi budaya,
kelompok atau individu yang memiliki habitus yang sama dalam hidupnya. Proses
habitus tidak melulu dari proses belajar, tetapi juga terjadi sejak kecil, dan
hal tersebut telah menubuh dalam keberlangsungannya. Pada dasarnya habitus akan
menubuh ketika hal tersebut sering dilakukan dan sudah terjadi tanpa disadari
pelaku.
Dalam hal ini
pembentukan identitas Senggakan juga
telah terlihat dari bentuk-bentuk kejawaan yang ada, sehingga pengaplikasiannya
akan terasa lebih mudah bagi mereka pelaku yang memiliki habitus yang sama
dengan identitas tersebut. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya
perbedaan intepretasi. Habitus dari pelaku jikalau berbeda sangat drastis dalam
budaya atau sosialnya, maka identitas atau hal tersebut tidak akan berjalan.
Dalam pembentukan identitas tersebut, juga membutuhkan legitimasi tidak hanya
dari penyaji, tetapi juga penonton, para penonton pun akan dapat lebih
menikmati permainan kendangan Dangdut Koplo
jikalau mempunyai habitus yang sama pula. Hal ini akan berbeda jikalau Dangdut Koplo diperdengarkan kepada orang yang
berasal dari Jawa dengan orang Papua. Ada perbedaan budaya yang menjadi batasan
tegas, dan hal tersebut berhubungan dengan penghayatan. Penghayatan tersebut
akan terlihat dari geksture, mimic muka, tingkat kenyamanan dari penonton dan
pembawaan jiwa dari lagu. Dari sini dapat dilihat, bahwa dalam pembentukan
identitas memerlukan intepretasi lokal yang kuat, proses habitus dan penubuhan
terhadap seseorang, baik bagi penyaji maupun penonton.
SIMPULAN
Keberadaan Senggakan pada Dangdut
Koplo telah berintegrasi dengan unsur lainnya, seperti kendang, goyang,
dan alat musik lainnya. Integrasi ini membentuk satu kesatuan baru yang menjadi
kekhasan tersendiri dalam keberlangsungannya. Hal ini dapat terjadi karena
adanya kesamaan habitus antara penyaji dan penonton. Habitus juga menjadi
alasan terjadinya antara pola produksi dan pola penerimaan penonton.
Keberhasilan transmisi ditandai dengan partisipasi dari penonton dalam
melakukan Senggakan. Senggakan juga memiliki esensi yang lebih pada
masyarakat, dimana Senggakan mempunyai fungsi dan guna dalam kehidupan
masyarakat. Hal ini membentuk Senggakan tidak hanya menjadi identitas
musikal Dangdut Koplo tetapi juga menjadi identitas kultural masyarakat
penikmat Dangdut Koplo.
[1] 60 dibaca tang ,
45 dibaca dut dan 61 dibaca tung.
[2] 60 dibaca tang , 45 dibaca dut dan 61 dibaca
tung.
[3] 60 dibaca tang , 45 dibaca dut dan 61 dibaca
tung.
[4] Identitas
masing-masing telah menegosiasikan ekonominya, ketergantungan budaya dan
politiknya yang berbeda. Identitas budaya sebagai refleksi pengalaman historis
bersama, semacam ‘aneka diri’ yang dimiliki secara bersama-sama oleh
orang-orang yang memiliki sejarah dan asal usul yang sama.
[5] Culture identity
is a matter of “becoming” as well as of “being”. It belongs to the future as
much as to the past. It is not something which already exists, transcending
place, time and culture. Culture identities come from somewhere, have
histories.
No comments:
Post a Comment