Sore itu
di depan pasang mata
seorang wanita mulai memasuki panggungnya
berjalan perlahan ke tengah singgasana
dengan karpet hitam putih membentang
ia mulai melakukan gerakan yang repetitif
berlenggak lenggok kiri dan kanan
sesekali mengibaskan selendang
dan menatap datar nan tegang ke penonton
ditemani hujan
walau hanya gerimis
bercampur haru, malu, marah dan lapar
dan tak bergeming walau tawa, celoteh, makian, dan cercaan
terlontar dari mulut-mulut para lidah tak bertulang
beberapa saat kemudian,
wanita tersebut berjalan ke sisi panggung,
mengambil sebuah kotak kecil
dan berjalan ke arah penonton
memohon tanpa memaksa
beberapa orang acuh
pura-pura tak melihat
bahkan pura-pura berbicara dengan pasangannya
senyum, ya hanya senyum terlontar dari wanita itu
sembari menemani kepergiannya
Om Suastiastu. Blog ini merupakan media penulis atas kegelisahan dan kebosanan atas penglihatan terhadap sebuah fenomena. Penulis mempunyai ketertarikan terhadap kajian seni untuk dikaji secara lebih dalam, dari sudut pandang dan Intepretasi penulis yang didukung dengan asumsi, data, dan referensi. Penulis meyakini segala bentuk penulisan merupakan proses belajar, dan tidak akan pernah ada habisnya. Selamat membaca dan semoga berkenan. salam budaya
Sunday, December 29, 2013
Thursday, February 7, 2013
Srawung Seni Segara Gunung
Srawung Seni Segara Gunung
Srawung Seni dan Ketuhanan: Pembahasan hingga Esensi
Candi
Borobudur, 27 April 2012
Michael Haryo Bagus Raditya
Srawung Seni Segara Gunung merupakan
rangkaian acara kesenian yang mengangkat tema Srawung Seni sebagai fokus utama dalam
pembahasan kesenian, dimana Srawung Seni akan dikontekskan dalam berbagai tema,
seperti Arkeologi, Mitos dan Ketuhanan. Rangkaian acara ini dilaksanakan dari
tanggal 20 April hingga 29 April 2012, tetapi dibagi kedalam dua bentuk
kegiatan, dimana pada tanggal 20-24 April diadakan Latihan, Penelitian dan
Retreat, sedangkan tanggal 25-29 April diadakan diskusi dan pertunjukan dari
berbagai seniman, baik domestik maupun mancanegara. Srawung Gunung memang
sangat mengundang perhatian para seniman dan pemerhati seni, karena menyangkut
Srawung sebagai kesenian yang dipadukan dengan nilai-nilai penting lainnya.
Yang dapat dipikirkan adalah, bagaimana posisi Seni dalam nilai-nilai yang
sakral tersebut, dan apakah para pembicara dapat merepresentasikan dan
mempunyai jalan tengah dari hal tersebut tanpa harus menghancurkan nilai yang
satu dengan yang lain.
Pada kesempatan kali ini, saya
beserta teman-teman dari Pasca Seni Pertunjukan UGM dengan ditemani dan
dibimbing oleh Mas Lono Lastoro Simatupang, dapat menyaksikan secara
langsung diskusi dan pertunjukan acara
Srawung Seni tersebut. Tema Srawung Seni pada saat itu adalah Srawung Seni dan
Ketuhanan. Ketuhanan sebagai sebuah konsep telah terkonstruksi dalam pemikiran
kita semua, dimana Tuhan sebagai suatu yang “Esa”, “sakral”, “suci”, “adilihung”,
dan pembahasan ini ingin menguak bagaimana pengaruh seni dan ketuhanan. Apakah
Seni mengatur nilai ketuhanan atau ketuhanan mengatur seni. Diskusi ini dibagi
kedalam dua sesi, sesi pertama diampuh oleh tiga pembicara yang berkecimpung
dalam seni secara akademis, dan pada sesi kedua diampuh oleh empat pembicara
yang berkecimpung dalam seni lebih secara praktik. Setelah diskusi usai, para
penonton akan dimanjakan dengan pertunjukan seni dari berbagai daerah.
Friday, January 18, 2013
Hegemoni Dangdut Koplo Pada Masyarakat
Hegemoni
Dangdut Koplo Pada Masyarakat
Michael Haryo
Bagus Raditya
Abstrak
Dangdut Koplo, merupakan sebuah fenomena baru di
dunia permusikan tanah air pada tahun 2012 kemarin. Sebenarnya kemunculan
Dangdut Koplo itu sendiri sudah berkembang lama sekali di daerah. Pelacakan
telah dilakukan, dan ternyata Dangdut Koplo merupakan sebuah musik yang
merupakan hasil intepretasi masyarakat terhadap sebuah aliran musik bernama,
Dangdut. Dangdut Koplo merupakan sebuah terusan dari Dangdut, karena posisinya
yang berasal dari perkembangan Dangdut, tetapi menciptakan sebuah hal yang baru
dalam jenis musik tersebut. Koplo dalam organologi dapat dikatakan sama saja
dengan Dangdut biasanya, yang membedakan adalah cara pemainan dan bunyi yang
dikeluarkan dari organologi tersebut. Dalam keberlangsungannya, Dangdut Koplo
telah terjamin patronasenya, bagaimana tidak,
Koplo yang sangat berkembang pesat di Jawa Timur dan daerah Pantura merupakan
agenda rutin masyarakat dalam meryakan upacara siklus hidup atau apapun. Koplo
sangat mempunyai kekuatan dalam keberlangsungannya terhadap masyarakat. Melihat
posisi Koplo yang sangat kuat, maka pada tulisan ini, penulis mencoba untuk
melihat pemaknaan-pemaknaan yang terjadi.
Kata Kunci: Dangdut Koplo, Pemaknaan, Tanda,
Relasi Kuasa, Hegemoni
Estetika Dangdut Koplo “Go Public”
Estetika Dangdut Koplo “Go Public”
Michael
Haryo Bagus Raditya
Abstrak
Dangdut Koplo atau yang sering disebut sebagai
“Koplonan” merupakan sebuah kesenian rakyat yang bila ditilik lebih jauh
merupakan sub dari musik dangdut itu sendiri. Dalam perkembangannya, masyarakat
lokal menciptakan hal baru dalam perkembangan dangdut tersebut, khususnya di
daerah Pantura dan Jawa Timur. Eksistensi Dangdut Koplo sebagai kesenian rakyat
menjadi sangat kuat di daerahnya sendiri. Tetapi ketika Inul Daratista naik ke
panggung televisi, semuanya telah berubah, kiblat dangdut ala Rhoma menjadi
tergeser dan koplo seakan menjadi kiblat belakangan ini. Naiknya Koplo seakan
menjadi lonjakan besar bagi masyarakat pelaku koplo. Demam koplo seakan
menasionalisasi bangsa, tetapi yang menjadi persoalan, terdapat nilai estetika
pada dangdut koplo, dan adanya dilema dangdut koplo sebagai hiburan bagi semua
kaum masyarakat, menjadikan para penonton, apakah mereka benar-benar
menyukainya atau hanya menjadi karbitan saja. Estetika suatu kesenian akan kuat
kedalam, dan apakah pada dangdut Koplo, estetika beranjak keluar.
Kata Kunci: Dangdut Koplo, Koplonan,
Estetika, Pantura, identitas masyarakat
Review “Introduction, The Aesthetics of Symbolic Construction and Experience”
Review “Introduction, The Aesthetics of Symbolic
Construction and Experience” dari Bruce Kapferer and Angela Hobart dalam “Aesthetic
In Performance, Formation of Symbolic Construction and Experience”,
oleh Michael Haryo Bagus Raditya
Dalam bab ini, penulis
mengidikasikan bahwa pada bab ini akan difokuskan kepada permasalahan estetika
sebagai konstruksi simbol dan pengalaman. Pada awal penulisan, penulis
melayangkan sebuah hipotesa, dimana beliau mengatakan bahwa sebuah pertunjukan
dipertimbangkan secara estetik, yang dimaksud disini adalah proses yang
berlangsung sebagai bentuk seni itu sendiri terjadi sebelum refleksi bersamaan
dengan permasalahan dinamik yang ada terkonstruksi dan secara paksa karena
pengalaman. Pada dasarnya konsep yang digunakan pada sebuah hal yang bernama
estetika merupakan terapan dari pembuatan simbol atau struktur dinamik
berdasarkan pengalaman pelaku, artian dan nilai yang ada. Studi estetik telah
terkonsentrai dari bentuk seni dan isu yang berkembang atas estetik itu
sendiri. Dalam bukunya, lectures on fine
art karangan Hegel, beliau
mengembangkan ide dari Kantian, dimana jenis dari estetika didasarkan pada
kriteria objek dari nilai yang terbentuk, nilai tersebut berasal dari sejarah
dan budaya hingga sekarang. Sebuah konsep tentang estetik terbentuk darimana tetmpat
itu berada, yang mana akan muncul artian dari keindahan sebagai usaha untuk
mencari kreasi estetik tersebut. Adapun perbedaan yang mendasar antara
pemikiran Kant dan Hegel, untuk Kant, sama dengan Hegel, estetik tidak hanya
melulu berkonsentrasi pada seni tersebut, tetapi hati dari kritikan yang
mengerti tentang manusia yang bernaung disitu.
Subscribe to:
Posts (Atom)