Hegemoni
Dangdut Koplo Pada Masyarakat
Michael Haryo
Bagus Raditya
Abstrak
Dangdut Koplo, merupakan sebuah fenomena baru di
dunia permusikan tanah air pada tahun 2012 kemarin. Sebenarnya kemunculan
Dangdut Koplo itu sendiri sudah berkembang lama sekali di daerah. Pelacakan
telah dilakukan, dan ternyata Dangdut Koplo merupakan sebuah musik yang
merupakan hasil intepretasi masyarakat terhadap sebuah aliran musik bernama,
Dangdut. Dangdut Koplo merupakan sebuah terusan dari Dangdut, karena posisinya
yang berasal dari perkembangan Dangdut, tetapi menciptakan sebuah hal yang baru
dalam jenis musik tersebut. Koplo dalam organologi dapat dikatakan sama saja
dengan Dangdut biasanya, yang membedakan adalah cara pemainan dan bunyi yang
dikeluarkan dari organologi tersebut. Dalam keberlangsungannya, Dangdut Koplo
telah terjamin patronasenya, bagaimana tidak,
Koplo yang sangat berkembang pesat di Jawa Timur dan daerah Pantura merupakan
agenda rutin masyarakat dalam meryakan upacara siklus hidup atau apapun. Koplo
sangat mempunyai kekuatan dalam keberlangsungannya terhadap masyarakat. Melihat
posisi Koplo yang sangat kuat, maka pada tulisan ini, penulis mencoba untuk
melihat pemaknaan-pemaknaan yang terjadi.
Kata Kunci: Dangdut Koplo, Pemaknaan, Tanda,
Relasi Kuasa, Hegemoni
Latar Belakang
Dangdut, siapa yang tidak
mengenalnya, jenis musik yang satu ini telah menjadi ciri khas musik di
Indonesia. Bagaimana tidak, pengaruh Dangdut sangat besar terhadap masyarakat,
dan menjadikan jenis musik ini sebagai musik rakyat. Pada dasarnya, dangdut
juga merupakan campuran dari beberapa jenis musik. Hal tersebut pada dasarnya
mengindikasikan bahwa dangdut merupakan campuran dan kombinasi dari musik-musik
yang telah berkembang sebelumnya di Indonesia. Hal tersebut kembali lagi
dihubungkan dengan adanya pengaruh-pengaruh yang terjadi. Musik merupakan salah
satu bentuk seni yang selalu mengalami perkembangan seiring dengan
berkembangnya zaman, kebudayaan, teknologi, dan ilmu pengetahuan.
Pada
dasarnya, kata dangdut juga hal yang gamang seperti halnya penamaan koplo sekarang. Istilah Koplo itu sendiri masih dalam batas
abu-abu. Dalam KBBI Edisi Keempat Tahun 2008, terdapat kata Koplo (kop.lo) yang berartikan dungu
(dalam bahasa jawa). Juga terdapat makna lainnya, yakni, Koplo pil yang mengandung zat psikotropika. Pembacaan lainnya yang
membahas tentang Koplo adalah
Weintraub, beliau menerangkan bahwa: istilah koplo yang mengacu pada gaya pementasan, irama gendang,
tempo-cepat. Menurut pemahamannya istilah ini berasal dari “pil koplo”, musik koplo dulunya merupakan cara mengungkapkan perasaan teler tentang
gaya tarian yang dianggap orang sebagai hal yang “sulit dipercaya” atau
“ajaib”. Koplo tercipta pada awal
sampai pertengahan 1990-an, dan meledak pada era pasca-soeharto. Pada dasarnya,
Koplo tercipta di Jawa Timur, tetapi
tidak dapat dipungkiri asalnya yang tidak jelas. Koplo diperkirakan tidak asli dari jawa timur, tetapi hanya
berkembang saja. Hal tersebut dikarenakan, gendangan jaipongan yang masuk ke
jawa timur sekitar tahun 1980an[1]
dan berkembang pada permainan musik di Jawa Timur. Sehingga tidak dapat
dipungkiri perkembangannya yang menyebar secara luas. Pembacaan lainnya
terhadap koplo, Koplo adalah salah satu nama alat musik yang berasal dari Jawa
Barat. Sebuah gendang yang berukuran lebih kecil. Musik Koplo tersebut diibaratkan sebagai musik yang cepat dan dominan
dengan ketukan dari tabla atau kendang.
Pada faktor musik, musiknya
sangat kental dengan pengaruh berbagai gaya musikal, termasuk metal, house,
dangdut dan jaipongan. Pada iringan musik koplo,
dominasi tabla yang bersuarakan “dang” lebih dominan dibanding “dut”, atau
teknik menggeser tangan di lapisan kulit tabla tersebut, dan dampak yang
terjadi ketika “dang” lebih dominan membuat suasana semakin lebih semarak.
Penglihatan saya terhadap dominasi “dang” pada koplo juga memberikan perbedaan dengan dangdut yang didominasi
“dut”, sehingga memberikan ruang joget tersendiri pada dangdut, sedangkan dalam
mengisi hal yang sama pada musik koplo,
koplo melakukan banyak
sengaan-sengaan seperti halnya “dum plak ting ting joss” atau lainnya. Adanya
perbedaan yang terjadi membuat terkadang koplo
dipisahkan dari dangdut.
Pada perkembangannya, Koplo tersebar di jawa timur, dan
persebaran paling luasnya terdapat di jalur pantura. Hal tersebut terbukti
dengan banyaknya grup koplo di
sepanjang jalur pantura, dan pemasangan lagu koplo di sepanjang jalan pantura bila kita menaiki transportasi
massal disana. Persebaran Koplo ke
daerah lainya dapat dirasakan ketika fenomena Inul Daratista masuk ke industri
musik nasional. Persebaran Koplo
makin luas bahkan sporadis. Dangdut Koplo
dalam pertunjukannya sangat kuat di kalangan masyarakat luas, Koplo mempunyai kekuatan tersendiri
dalam pertunjukannya. Koplo
menawarkan sesuatu yang berbeda dari dangdut, seperti halnya lebih energik
dengan tempo yang lebih cepat, penyanyi yang lebih sensual sebagai pendukung
dalam musik tersebut, kendangan yang lebih tegas dan ramai, dan banyak
senggaan-sengaan yang terjadi. Koplo dalam
penampilannya selalu digunakan di acara apa pun, seperti halnya, perkawinan,
khitanan, semua upacara siklus hidup, ulang tahun sebuah institusi, alat partai
dalam bersosialisasi, dan masih banyak lagi. Koplo mempunyai kekuatan dalam eksistensinya, sehingga berkaitan
dengan itu patronase Koplo telah
terjamin dari masyarakat. Maka itu, ini merupakan ide awal yang dipikirkan
penulis, yaitu mengungkap posisi koplo
sebagai genre musik dan bagaimana pemaknaannnya dalam pertunjukannya di
masyarakat.
Pembahasan : Membaca Dangdut Koplo
Dum plak dum, dum, dang, plak..
bunyi tabuhan tabla yang sangat kental dari sisi sebuah pasar, diwarnai dengan
riuh rendah penonton. Penonton bersorai, semuanya berjoged dan tertuju pada
satu titik, panggung. Panggung yang menawarkan sebuah sajian musik yang
diwarnai dengan para penyanyi yang aduhai, dan makin malam makin berani.
Goyangannya menari-menari diantara para mata lelaki yang menyaksikannya, semua
terteguk tetapi teralihkan dengan alunan gendang nan khas dan kuat. Penonton
ikut menari dan bernyanyi bersorai hingga lagu terkakhir dimainkan. Ya,
begitulah potongan dari sebuah pertunjukan dangdut Koplo yang saya saksikan langsung di sebuah pasar di daerah Ngawi.
Perhatian saya langsung tertuju pada pertunjukan tersebut karena kekuatan yang
sangat kuat terhadap masyarakat. Pertama, Koplo
mengundang banyak masyarakat untuk datang dan hadir. Kedua, Koplo yang menjadi ikon dari daerah
Pantura dan Jawa Timur sebagai identitas musik setempat. Ketiga, Koplo telah menjelma sebagai sebuah
fungsi baru, yakni fungsi ritual dan profane bagi masyarakat. Koplo bukan hiburan semata dalam
penampilannya, ada pemaknaan lain di dalam itu semua. Maka itu, penulis akan
mencoba menguak tanda yang ada dalam Dangdut Koplo.
Gambar
1
Pada
gambar tersebut menceritakan sebuah pertunjukan dangdut Koplo atau sering kita sebut koplonan.
Gambar tersebut berisikan sebuah OM (Orkes Melayu) yang berisikan para pemain
musik dan seorang penyanyi perempuan yang sedang bernyanyi. Para penonton
mengangkat semua tangannya, menari, bahkan ada yang membuka bajunya dengan
menari, sambil melihat ke sosok penyanyi tersebut. Tanda yang muncul adalah
sosok perempuan diantara kumpulan laki-laki, para pemain OM yang berisikan
laki-laki dan bertugas sebagai penyedia pertunjukan, dan para laki-laki yakni
penonton yang sedang menari secara bebas dan tertuju pada satu mata, penyanyi.
Tanda disini mengartikan bahwa pemaknaan akan sebuah pertunjukan yang diwarnai
dengan sesuatu yang lain, seperti permainan tabla, perempuan berbaju minim,
mempunyai imaginasi lain bagi para penonton. Dapat kita lihat secara langsung,
ketika Koplo bermain, secara sporadic
para penonton berjoged layaknya orang sedang menggunakan pil, menari dan
bernyanyi menikmati permainan tabla dan tempo yang cepat yang mengakibatkan
detak jantung terpacu lebih cepat, dan perempuan sebagai penyanyi mernjadi
lambang imajinasi para penonton.
Perempuan
dan Musik Koplo mempunyai hegemoni
tersendiri terhadap masyarakat, para penonton sangat terhipnotis dengan
permainan Koplo ini, ketika mereka
diajak bernyanyi, mereka bernyanyi, ketika mereka diajak mengangkat tangan,
mereka akan mengangkat tangan dengan berjoged, ketika penyanyi bergoyang,
mereka akan terdiam layaknya orang sedang berimajinasi. Hegemoni sangat kuat
pada masyarakat membuat Koplo
layaknya penguasa atau pemimpin. Koplo
mempunyai kuasa yang besar terhadap masyarakat, bahkan ketika adanya sosialiasi
partai politik atau lainnya, para parpol akan mengundang Koplo ini, karena Koplo
sangat mempunyai kuasa untuk didengarkan. Koplo
dapat diartikan sebagai tempat bernaung hati para masyarakat. Koplo merupakan manifestasi kuasa atas
penadaan.
Gambar 2.
Gambar 3.
Pada
gambar kedua ini, merupakan dua gambar atas aksi yang dilakukan oleh penyanyi Koplo. Dalam kedua gambar tersebut,
memang joged yang dilakukan para penyanyi sangat mengundang kontroversi
tersendiri dalam penglihatan orang awam, tetapi sebenarnya yang dilakukan para
penyanyi merupakan tanda dari totalitas atas kemeriahan yang dibuat.
Goyangan-goyangan yang terkadang
terkesan berlebihan merupakan penambah hangat suasana, mengingat para
penyanyi sebagai front dari sebuah
grup atau kelompok, maka terkadang para penyanyi akan melakukan tindakan
seperti goyangan yang ekstrim, seperti halnya gambar penyanyi yang mengangkangi
pemain tabla, ini mengindikasikan bahwa tabla merupakan kekuatan utama dari Koplo dan penyanyi ikut menguatkannya
dengan membuat perhatian pada permainan tabla, goyangan pun ikut dilakukan
dalam mendukung permainan tabla agar karakter tabla lebih terlihat dengan cara
membuat penyanyi yang membuat perhatian lebih kepada permainan tabla tersebut.
Pada gambar tersebut ada tanda yang terjadi, dominasi pada sebuah alat musik
dan pemfokusan pada sebuah jenis alat musik yaitu tabla, yang juga merupakan
kekuatan utama dari Koplo. Joged
merupakan perangkat lain pada koplo,
musik merupakan penyedia utama, sedangkan penyanyi merupakan sebuah perangkat
yang terintergrasi, yang pada hal ini goyang termasuk atas itu.
Pada
gambar sisi kanan, merupakan gambaran dari goyangan para penari, yang diikuti
oleh tangan nakal para penonton. Foto sisi kanan ini merupakan favorit penulis,
karena ini merupakan foto yang memperlihatkan kuasa paling besar, dengan foto
penyanyi sebagai punctum, dan gambar
tiga laki-laki serta tangan nakal sebagai stadium
(Barthes,1981:25). Adanya perhatian utama dan perhatian pendukung membuat
implikasi yang baik terhadap foto tersebut, peran kuasa yang terjadi sangat
terlihat, dimana peran perempuan yang sangat kuat, dengan goyangan-goyangan
yang sedikit lebih berani, membuat para penonton bersorak dan banyak yang
mengintepretasikan keliru, sehingga dapat kita lihat, gambar tangan nakal dari
seorang penonton, sementara laki-laki dibelakang penyanyi hanya melihat saja.
Kuasa atas perempuan yang bergoyang sangat kuat, disini terjadi manisfestasi
kekuasaan yang besar terhadap penonton, sehingga peran Koplo semakin kuat di masyarakat, kuat disini terbagi menjadi dua,
kuat secara positif dan negative, dimana nilai positif sebagai pengumpul massa,
nilai negative sebagai pemuas hasrat para penonton. Sejatinya, Koplo merupakan proyeksi atas kuasa atas
masyarakat. Kekuatan goyangan merupakan sebuah kekuatan tersendiri pada musik
ini, kekuatan tersebut juga sangat kuat menghegemoni masyarakat.
Busana
sexy nan minim para penyanyi juga merupakan sebuah makna tersendiri, dimana Koplo merupakan sebagai perlawanan atas
musik dangdut dan musik yang ada di masyarakat. Perlawanan atas ruang public
atas ruang privat, dimana baju-baju sexy layaknya baju tidur digunakan sebagai
baju pentas dari para penyanyi. Para penyanyi seakan mengindikasikan
diperkuatnya Koplo dengan kehadiran
para penyanyi. Koplo merupakan sebuah
alunan, dan penyanyi bertugas menjadi bintang dalam panggung dan menarik
perhatian sebanyak-banyaknya. Bila diartikan lebih jauh, semua berhubungan
dengan komodisiasi milik Arjun Appadurai,
Economic
exchange creates value. Value is embodies in commodities that are exchanged.
Focusing on the things are exchanged, rather than simply on the forms or
functions of exchange, make it possible to argue that what creates the link
between exchange and value is politics, construed broadly. Commodities like
persons, have social lives.
(Appadurai,1986:4)
Adanya nilai pertukaran yang
terjadi atas fenomena ini, yakni eksistensi yang berhubungan dengan kehidupan
pemusik dan para penonton yang memuja. Semakin banyak para penonton yang
tertarik dengan sebuah kelompok Koplo
A, maka kelompok tersebut akan semakin eksis dalam penampilannya. Hal tersebut
merupakan sebuah lingkaran dengan apa yang dinamakan siklus pertukaran konteks ekonomi
pada sebuah kesenian. Berawal dari sebuah busana yang dikenakan, jenis musik
yang disajikan dan kemeriahan yang dipertunjukan berarti sangat penting bagi
kedua kelompok, yakni kelompok penyaji dan kelompok penonton.
Gambar 4.
Gambar 5.
Pada
Gambar Selanjutnya, merupakan gambaran sebuah kegiatan bernama, Saweran. Saweran merupakan sebuah
kegiatan dimana para penonton akan memberikan uang kepada para penyanyi
diiringi dengan goyangan-goyangan dari para penari, biasanya para penyawer akan
naik ke panggung dan menari bersama dengan penyanyi, dan sering kali terjadi
kontak fisik pada hal ini. Menurut Caturwati,
Saweran merupakan kegiatan yang
sudah lazim pada sebuah acara, pada kasus Jaipongan, saweran merupakan hal yang
pasti dari para tamu. Mereka yang orang penting akan ikut berjoged juga diikuti
dengan saweran. Para sinden tak segan-segan memuju serta merayu dengan kata
mesra untuk mengeruk uang penggemarnya hingga habis (2012:282)
Saweran
merupakan sebuah kegiatan yang pasti dilakukan setiap kali ada pertunjukan.
Pada gambar tersebut pun merupakan seorang penyanyi yang menari bersama para
lelaki yang memegang segepok uang ditangannya, setiap mereka menari bersama,
uang tersebut akan diambil oleh para penyanyai secara satu lembar per satu
lembar. Kontak fisik sering dilakukan oleh para penyanyi terhadap para
penyawer, disini nilai kuasa kembali terjadi, kuasa perempuan atas sebuah benda
bernama uang. Para penyawer pun akan hanya diam dan menurut dengan apa yang
dilakukan oleh para penyanyi, ikut menari, ikut menyanyi, sembari uang mereka
diambil satu persatu hingga habis.
Pemaknaan lainnya adalah pada nilai
saweran tersebut, nilai saweran pada sebuah pertunjukan merupakan sebuah
eksistensi kelas terhadap masyarakat, dimana orang yang menyawer merupakan
orang yang berada di kalangan masyarakatnya. Berbeda dengan nafsu, saweran
merupakan lambang dari kejantanan seorang pria, prestige tersendiri bagi
seorang laki-laki diatas panggung menyawer penyanyi sambil bergoyang bersama.
Saweran merupakan bentuk dari nilai yang dianggap sebagai kejantanan. Berbeda
halnya dengan nafsu semata, dengan menyawer, banyak yang dipertaruhkan dalam
kehidupan nyata dari penyawer tersebut, status sosial naik, beraksi di atas
panggung bersama para penari juga menambah nilai kejantanan dari penyawer. Pola
kuasa disini menjadi sama ketika sawer dilakukan, dimana pola kuasa perempuan
atas uang, dan pola kuasa laki-laki atas status sosial yang ada. Adanya nilai
pertukaran atas sebuah kegiatan bernama saweran yang merupakan sebuah bagian
kecil dari perangkat kesenian Dangdut Koplo.
Pada hal ini relasi yang terbentuk
antara tanda yang telah dibaca dengan maknanya terbangun sebagai ketiga relasi
tersebut, dimana muncul relasi ikonis, indeksikal dan simbolik pada dangdut Koplo. Pemaknaan atas beberapa hal
disini menjadikan Koplo mempunyai
relasi pemaknaan ketiganya, seperti halnya relasi ikonis, Danesi menjelaskan
bahwa:
Ikon dipercaya bersifat sakral
dalam dirinya dan karenanya dapat menuntun umat untuk mengadakan kontak dengan
sosok yang diwakilinya. Pierce menyebut objek sebuah ikon sebagai objek yang
langsung (2012:34)
Pada hal ini,
Dangdut Koplo mempunyai relasi ikonis
dimana peran perempuan pada pola kuasa menuntun para penonton mengadakan kontak
dengan dangdut Koplo itu sendiri.
Penyanyi yang biasanya perempuan menuntut para penonton untuk melakukan apa
saja dalam berkontribusi terhadap Koplo
itu sendiri, dapat diketahui bahwa Koplo
telah terpatronase dengan masyarakat, dimana terjadi hegemoni yang terjadi atas
itu. Seperti halnya saweran, itu merupakan wujud dari ikonisitas dari Koplo. Selain ikonis, adapun relasi
Indeksikal pada Dangdut Koplo. Danesi
menjelaskan:
Indeksikalitas terwujud dalam
segala macam perilaku representative. Manifestasi yang paling khas dapat
dilihat pada jari yang menunjuk, yang oleh orang di seluruh dunia digunakan
seara naluriah untuk menunjukan dan mencari sesuatu, orang atau peristiwa di
dunia (2012:37)
Pada hal ini
indeksikal yang terjadi pada dangdut Koplo
adalah pada permainan tabla dan identitas pada dangdut itu sendiri. Tabla
merupakan organologi yang sudah mendunia dan diketahui oleh masyarakat sebagai
alat musik dangdut. Sedangkan pada identitas, Dangdut Koplo, merupakan sebuah indeksitas tersendiri, dimana Koplo sudah menjadi identitas masyarakat
Jawa Timur dan Pantura, sehingga secara naluriah telah menunjukan sesuatu.
Relasi yang
terakhir terbentuk adalah simbolik, Danesi menjelaskan:
Simbol mewakili sumber acuannya
dalam cara yang konvensional. Kata-kata pada umumnya merupakan simbol. tetapi
penanda maupun sebuah objek, suara, sosok dan seterusnya dapat bersifat
simbolik (2012:38)
Pada hal ini
dangdut Koplo membentuk relasi
simbol, dimana suara tabla koplo
telah menjadi simbol tersendiri pada dunia permusikan Indonesia. Mendengar
Tabla Koplo pun telah menjadi simbol
kalau ini merupakan Koplo, dengan
bunyi “dang” yang dominan pun telah membentuk simbol dari Koplo itu sendiri. Itu bila dilihat dari organologi, tetapi jika
dilihat dari Koplo itu sendiri, Koplo sudah menjadi simbol perlawanan
atas musik dangdut itu sendiri, yang didukung dengan eksistensi Koplo tersebut. Koplo merupakan sebuah nilai kesatuan yang didalamnya terbentuk
relasi ikon, indeksikal dan simbol.
Pada hal ini yang mengarahkan
tanda-tanda tersebut secara garis besar adalah semiosphere, dimana semiosphere
mengatur perilaku manusia dan membentuk evolusi. Pada dangdut Koplo ini pola manusia akan sebuah
kesenian telah diatur. Adanya pola yang telah terbentuk akan sebuah nilai
kesenian yang selalu dirayakan masyarakat, adanya pola yang telah terbentuk
akan sebuah nilai kekuasaan pada masyarakat dan lainnya. Adapun kode-kode yang
mengarahkan tanda pada sebuah makna, seperti halnya pada sosok perempuan pada
gambar 1 dan 3 sebagai kode, pada gambar 2 sosok pemain tabla yang menjadi
garis besar. Pada gambar 4 dan 5 adanya kode dari uang dan wanita. Pada
dasarnya semua kode dan semiosphere terintegrasi menjadi satu bagian yang
saling melengkapi antara lini ditambah dengan adanya relasi yang terbentuk,
sehingga pemaknaan yang jelas terjadi atas Dangdut Koplo sebagai bentuk kesenian yang mempunyai pola kuasa dan
hegemoni terhadap masyarakat.
Daftar Pustaka
Appadurai, Arjun. The Social
Life of Things: Commodities in Cultural Perspective. Cambridge: Cambridge
University Press, 1986.
Barthes,
Roland. Camera Lucida, Reflection On Photography. New York: Hill and Wang, 1981
Budi
Suseno, Dharmo. Dangdut Musik Rakyat, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Caturwati, Endang. Sinden-
Penari Di Atas dan Di Luar Panggung. Bandung: Pustaka Pelajar, 2011.
Danesi, Marcel. Pesan, Tanda,
dan Makna. Yogyakarta, Jala Sutra, 2012.
Weintraub, Andrew N. Dangdut Stories , A Social and Musical History
of Indonesia’s Most Popular Music, New York: Oxford University Press, inc,
2010.
No comments:
Post a Comment