Estetika Dangdut Koplo “Go Public”
Michael
Haryo Bagus Raditya
Abstrak
Dangdut Koplo atau yang sering disebut sebagai
“Koplonan” merupakan sebuah kesenian rakyat yang bila ditilik lebih jauh
merupakan sub dari musik dangdut itu sendiri. Dalam perkembangannya, masyarakat
lokal menciptakan hal baru dalam perkembangan dangdut tersebut, khususnya di
daerah Pantura dan Jawa Timur. Eksistensi Dangdut Koplo sebagai kesenian rakyat
menjadi sangat kuat di daerahnya sendiri. Tetapi ketika Inul Daratista naik ke
panggung televisi, semuanya telah berubah, kiblat dangdut ala Rhoma menjadi
tergeser dan koplo seakan menjadi kiblat belakangan ini. Naiknya Koplo seakan
menjadi lonjakan besar bagi masyarakat pelaku koplo. Demam koplo seakan
menasionalisasi bangsa, tetapi yang menjadi persoalan, terdapat nilai estetika
pada dangdut koplo, dan adanya dilema dangdut koplo sebagai hiburan bagi semua
kaum masyarakat, menjadikan para penonton, apakah mereka benar-benar
menyukainya atau hanya menjadi karbitan saja. Estetika suatu kesenian akan kuat
kedalam, dan apakah pada dangdut Koplo, estetika beranjak keluar.
Kata Kunci: Dangdut Koplo, Koplonan,
Estetika, Pantura, identitas masyarakat
Latar Belakang
Dangdut,
siapa yang tidak mengenalnya, jenis musik yang satu ini telah menjadi ciri khas
musik di Indonesia. Bagaimana tidak, pengaruh Dangdut sangat besar terhadap
rakyat, dan menjadikan jenis musik ini sebagai musik rakyat. Dangdut
diibaratkan sangat dekat dengan rakyat, selain alunan musiknya yang
menyenangkan dan membuat untuk bergoyang, teks dari lagu dangdut, biasanya
menceritakan keketiran dan cerita-cerita sedih seperti yang dialami oleh para
masyarakat. Adanya kesamaan tersebut, menumbuhkan loyalitas kebersamaan yang
menyeluruh yang membentuk budaya sehingga menjadikan posisi dangdut semakin
dalam dan tenggelam dalam hati masyarakat.
Pada
dasarnya, dangdut juga merupakan campuran dari beberapa jenis musik. Hal
tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa dangdut merupakan campuran dan
kombinasi dari musik-musik yang telah berkembang sebelumnya di Indonesia. Hal
tersebut kembali lagi dihubungkan dengan adanya pengaruh-pengaruh yang terjadi.
Musik merupakan salah satu bentuk seni yang selalu mengalami perkembangan
seiring dengan berkembangnya zaman, kebudayaan, teknologi, dan ilmu
pengetahuan. Munculnya genre baru dalam musik tidak terlepas dari kreativitas
para composer, penulis lagu, musisi dan kebudayaan setempat. Kebudayaan
setempat mempunyai cara tersendiri dalam menerjemahkan segala sesuatunya dan
menciptakan hal yang baru dengan cara dan gaya mereka sendiri.
Kesenian pada dasarnya merupakan
salah satu dari tujuh unsur kebudayaan[1], maka itu setiap
masyarakat mempunyai kesenian tersendiri dalam keberlangsungannya. Pada
dasarnya tidak ada kebudayaan yang asli dari sebuah tempat, kebudayaan
merupakan proses dari perjalanan panjang dan terdapat banyak pengaruh-pengaruh
yang ada, seperti halnya Keroncong yang diakui sebagai milik Indonesia, dalam
penelitiannya Ganap menyatakan bahwa Keroncong merupakan percampuran dari
kebudayaan Portugis dalam keberlangsungannya. Ini merupakan salah satu bukti
bahwa adanya akulturasi bahkan asimilasi kebudayaan yang terjadi pada sebuah
proses kebudayaan tersebut. Setelah membudaya, maka menciptakan konstruk tertentu
pada pikiran yang menerjemahkan dan mengartikan kembali dengan caranya
masing-masing berdasarkan kebudayaan yang menjadi landasan hidup mereka. Kerap
kali bahwa masyarakat mengartikan kembali dalam hal yang didapat mereka, dan
hal tersebut juga terjadi pada kesenian.
Pada hal ini juga terjadi pada
Dangdut sebagai musik yang juga dianggap sebagai musik asli Indonesia. Dangdut merupakan gejala musik nasional, dan
menyeluruh ke seluruh lapisan masyarakat dan dimanapun berada. Dangdut sebagai
musik memang menjadi sentral dari musik itu sendiri yang berpusat di Jakarta,
tetapi dalam keberlangsungannya, terjadi pembuatan-pembuatan musik dangdut di
daerah-daerah, seperti Sumatra Utara, Sulawesi, juga di Jawa Timur. Dalam hal
ini masyarakat mengartikan musik dangdut dengan budaya setempat dan menciptakannya
lagi menjadi sesuatu yang baru bahkan berbeda dari dangdut sebelumnya, dan
salah satunya adalah Dangdut Koplo atau Koplonan asal Jawa Timur yang
berkembang pesat di Pantura. Yang menjadi persoalan adalah melihat estetika
dangdut koplo itu sendiri, bahkan ketika Koplonan ini menasionalisasi. Musik
Lokal yang berkembang karena pengartian masyarakat setempat atas salah satu
jenis musik menjadi musik nasional.
Permasalahan
Eksistensi
Koplonan sebagai dangdut merupakan sebuah lonjakan besar, disatu sisi terdapat
banyak gesekan-gesekan yang terjadi dengan konsep awal. Terlebih adanya gesekan
patronase yang terjadi pada Dangdut itu sendiri. Hal yang mengancam bagi
Dangdut Asli. Yang merupakan sebuah sanggan besar adalah ketika Koplonan telah
menasionalisasi, dimana Koplonan yang berasal dari Jawa Timur dan sangat
berkembang di Pantura menjadi kiblat dangdut kini. Estetika asli dari Koplonan
ini yang menjadi tanda tanya besar. Maka itu:
Bagaimanakah Estetika dalam pandangan suatu produk
seni, dan pada hal ini yaitu Koplo sebagai musik daerah yang menasional?
Pembahasan
Dalam pembahasan dangdut ini akan
diungkap secara tegas bagaimana Dangdut dan Koplo sebagai sub atau bagian dari
dangdut itu sendiri. Penulis menyertakan Dangdut untuk mengetahui perkembangan
dangdut sampai dangdut daerah dapat menaiki tahta dangdut sekarang.
Dangdut
Bila
dilihat dari asal muasalnya, penamaan Dangdut, dibentuk karena adanya suara
“dang” dan “dut”, pada tabla yang menjadi ciri khas dari jenis musik itu
sendiri. Sehingga menjadikan sebuah ketukan yang unik dan pas, dari situlah
dangdut menjadi hal yang lumrah dan menjadikan posisinya sangat penting di
masyarakat. Sebenarnya, kata dangdut sendiri dimaksudkan sebagai kata cemoohan
atau ejekan bagi orkes Melayu dengan gaya Hindustan yang mengikuti suara tabla
dengan cara membunyikan suara terentu sehingga terdengar “..dangduuut” (Banoe,2003:108). Dari
definisi dangdut tersebut, dapat diketahui bahwa musik dangdut merupakan
perpaduan dari musik melayu dan musik india, dan menghasilkan harmonisasi suara
baru, yaitu Dangdut. Menurut Suseno, istilah Dangdut baru muncul dan dikenal
luas pada tahun 1970-an, kata dangdut diindikasikan berasal dari bunyi kendang
yang biasanya digunakan dalam pertunjukan dangdut, seperti tabla. Disaat itu
Billi Silabumi yang pada awalnya hanya mengejek genre baru dengan kata Dangdut
di media massa, maka sentak media menyebutkan musik campuran ini menjadi musik
Dangdut (2005:24-27).
Sebenarnya cikal bakal Musik Dangdut sendiri
telah berkembang sejak tahun 1950an, berawal dari perkembangan musik yang
sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman disaat itu. Diawali dengan Musik
Melayu Deli, Melayu Deli ini merupakan musik Indonesia dengan sentuhan
Semenanjung Melayu. Lagunya terdengar sangat melayu, seperti lagu Mainang
Sayang, Serampang Dua belas, dll. Setelah Deli Melayu, Unsur Pop yang telah
terkenal dan sedang naik daun, membentuk Pop Melayu. Pada saat itu musik
berkiblat pada genre pop dan pop Melayu. Adanya kebosanan dengan Pop, maka
muncul nuansa musik unsur India, pada saat itu film India merajai perfilman dan
acara televisi di Indonesia. Tak dipungkiri bahwa Musik India pada saat itu
menjadi kiblat musik nusantara.
Setelah
India, adanya nilai Agama yang kuat mempengaruhi unsure Timur tengah masuk ke dalam
tataran musik Indonesia, dan saat itu musik Arabian atau timur tengah menjadi
kiblat, seperti halnya kasidahan, dan lagu bertema Islam lainnya. Paska dari
musik timur tengah, di dunia Internasional sedang berkiblat kepada musik rock.
Unsure barat khususnya musik rock masuk dan kiblat musik pindah ke musik rock.
Ketika unsure barat sedang digandrungi, tidak hanya rock yang berpengaruh,
adalah musik latin dan fusion ikut menjadi kiblat musik dangdut. Setelah
musik-musik rock dan barat mencapai puncaknya, muncul musik beraliran disco
atau midi, Musik Dangdut langsung dengan cepat terinspirasi dan menjadi kiblat.
Diantara jenis musik yang mempengaruhi, eksistensi musik tradisi atau daerah
tetap terjaga, dimana musik dengan unsure etnik Indonesia naik dan menemani
jenis musik lainnya. Musik daerah tetap mempunyai kekuatan tersendiri, seperti
Didi Kempot, Trio Macan, dll (Suseno, 2005: 34-52).
Dari
beberapa unsure dan pengaruh musik yang mempengaruhi Dangdut, terbukti bahwa
dangdut merupakan musik yang melebihi genre musik biasanya. Dangdut dapat lebih
adaptif sesuai perkembangan zaman. Hal ini merupakan keistimewaan dangdut,
karena dangdut dapat menerima unsure musik dari mana pun untuk dikombinasikan
dan menjadikan Dangdut lebih kaya akan unsur. Lockard juga menyatakan bahwa:
Dangdut
emerged from the cultural melting pot of Jakarta, a city sometimes compared to
the spicy Indonesian salad gado-gado because of its assimilation and
intermingling of peoples and ideas arriving from outside.
Dari hal
tersebut juga ditekankan bahwa dangdut merupakan percampuran layaknya makanan
gado-gado, yang dapat diartikan bahwa dangdut merupakan percampuran dari banyak
jenis musik lainnya. Sehingga dalam perkembangannya Dangdut tidak akan pernah
lekang oleh waktu atau zaman. Hal tersebut dibuktikan dengan pertunjukan
Dangdut yang tidak pernah sepi. Dangdut menjelma sebagai sebuah nilai dalam
masyarakat. Nilai kebersamaan hadir, media masyarakat untuk berkumpul, berbagi
dan bersilahturahmi. Dangdut sebagai perayaan di setiap acara masyarakat.
Bahkan, Dangdut dijadikan alat politik untuk mengumpulkan massa atau menjadikan
bintang dangdut tersebut sebagai anggota partai, sehingga masyarakat melihat
partai tersebut sebagai titisan bintang Dangdut tersebut. Hal tersebut terjadi
ketika, Partai Golkar menggunakan Rhoma Irama sebagai lambang mereka
(Weintraub, 2010: 148). Masyarakat terpesona dengan hingar bingar sang bintang
Dangdut. Rhoma Irama sang Raja Dangdut.
Rhoma
Irama, merupakan Raja sekaligus penggerak Dangdut. Rhoma mempunyai kekuatan
Dangdut yang sangat besar, hal tersebut terbukti ketika Dangdut di tahun 1970an
harus bersaing melawan Genre Rock. Rhoma datang dan memadupadankan keduanya
menjadi sebuah harmoni tersendiri. Rhoma merombak Dangdut yang sangat melayu
menjadi dangut yang lebih terbuka. Rhoma merubah segalanya, syair, alunan
musik, instrumentasi. Rhoma merubah instrument dengan penggunaan alat musik
yang belum pernah dicoba sebelumnya, seperti Saksofon dan keyboard. Rhoma
merubah syair melayu yang cinta-cinta dan sedih dengan keadaan realitas sosial
yang diakhiri dengan nasehat dan dakwah di setiap lagunya. Rhoma berhasil dan
dia menjadi Raja Dangdut Indonesia. Kekuatan Rhoma tidak berhenti sampai
disitu, hingga kini dia tetap berkecimpung di dunia Dangdut, sebagai penyanyi
atau penasehat musik Dangdut. Setelah Dangdut Rhoma, muncul kebosanan akan
Dangdut yang halnya hanya bersifat dakwah. Dalam perkembangannya Dangdut yang
diusung Rhoma tidak sendiri, ada Dangdut lainnya yang muncul disaat masa
Dangdut Rhoma, yakni Dangdut Koplo, Dangdut yang hidup di Surabaya dan di Jalur
Pantura. Dangdut lokal, atau dangdut daerah.
Dangdut Koplo atau Koplonan
Pada
kemunculannya, kata dangdut juga hal yang gamang seperti halnya penamaan koplo sekarang. Istilah Koplo itu sendiri masih dalam batas
abu-abu. Dalam KBBI Edisi Keempat Tahun 2008, terdapat kata Koplo (kop.lo) yang berartikan dungu
(dalam bahasa jawa). Juga terdapat makna lainnya, yakni, Koplo pil yang mengandung zat psikotropika. Pembacaan lainnya yang
membahas tentang Koplo oleh
Weintraub, beliau menerangkan bahwa: istilah koplo yang mengacu pada gaya pementasan, irama gendang,
tempo-cepat. Menurut pemahamannya istilah ini berasal dari “pil koplo”, musik koplo dulunya merupakan cara mengungkapkan perasaan teler tentang
gaya tarian yang dianggap orang sebagai hal yang “sulit dipercaya” atau
“ajaib”. Koplo tercipta pada awal
sampai pertengahan 1990-an, dan meledak pada era pasca-soeharto. Pada dasarnya,
Koplo tercipta di Jawa Timur, tetapi
tidak dapat dipungkiri asalnya yang tidak jelas. Koplo diperkirakan tidak asli dari jawa timur, tetapi hanya
berkembang saja. Hal tersebut dikarenakan, gendangan jaipongan yang masuk ke
jawa timur sekitar tahun 1980an[2] dan berkembang pada
permainan musik di Jawa Timur. Sehingga tidak dapat dipungkiri perkembangannya
yang menyebar secara luas.
Pada
faktor musik, musiknya sangat kental dengan pengaruh berbagai gaya musikal,
termasuk metal, house, dangdut dan jaipongan. Pada iringan musik koplo, dominasi tabla yang bersuarakan
“dang” lebih dominan dibanding “dut”, atau teknik menggeser tangan di lapisan
kulit tabla tersebut, dan dampak yang terjadi ketika “dang” lebih dominan
membuat suasana semakin lebih semarak. Penglihatan saya terhadap dominasi
“dang” pada koplo juga memberikan
perbedaan dengan dangdut yang didominasi “dut”, sehingga memberikan ruang joget
tersendiri pada dangdut, sedangkan dalam mengisi hal yang sama pada musik koplo, koplo melakukan banyak sengaan-sengaan seperti halnya “dum plak
ting ting joss” atau lainnya. Adanya perbedaan yang terjadi membuat terkadang koplo dipisahkan dari dangdut.
Pada
perkembangannya, Koplo tersebar di
jawa timur, dan persebaran paling luasnya terdapat di jalur pantura. Hal
tersebut terbukti dengan banyaknya grup koplo
di sepanjang jalur pantura, dan pemasangan lagu koplo di sepanjang jalan pantura bila kita menaiki transportasi
massal disana. Persebaran Koplo ke
daerah lainya dapat dirasakan ketika fenomena Inul Daratista masuk ke industri
musik nasional. Persebaran Koplo
makin luas bahkan sporadis. Koplo
mempunyai tempat tersendiri pada pertelevisian Indonesia, bahkan sempat Koplo hampir menggantikan peran dangdut
di televisi. Pedangdut yang menjunjung orisinalitas dangdut semakin tergeser
posisinya. Sehingga terkadang terdapat sentiment-sentimen tersendiri, hal
tersebut terbukti ketika, penulis dan seorang teman mendatangi sebuah seminar,
yang di dalam seminar tersebut terdapat anggota dari Dangdut, beliau menyatakan
bahwa “menurut Rhoma Irama, Koplo
bukanlah jenis dari Dangdut, Koplo
bukan Dangdut”, dan sebagainya. Pembacaan yang saya lakukan adalah karena
akibat patrognase yang terbatas dari pelaku dangdut. Suasana makin keruh ketika
industry musik dangdut pada tahun 2012 ini menjadikan koplo sebagai kiblat.
Koplo pada perkembagannya telah
menyebar ke seluruh penjuru, demam Inul daratista menjadi lonjakan yang sangat
besar terhadap Koplo, dan hal tersebut membuat Koplo semakin berkembang dan
semakin dilihat dan dinikmati oleh para pendengar musik Indonesia. Entah apakah
Koplo merupakan musik resistensi atas dangdut sebenarnya atau sebagai pencarian
jati diri dari musik itu sendiri. Koplo sangat menonjolkan performa yang sangat
enerjik, kekuatan koplo adalah apa ke-enerjikan musik dan penyanyi, yang bisa
dibilang seksi sebagai penyemangat lagu. Persebaran yang meluas juga dikuatkan
oleh pernyataan Weintraub bahwa :
Grup-grup
dangdut Koplo juga berjaya di berbagai daerah, sebagaimana terbukti dari VCD
“Dangdut Koplo” yang dipasarkan hingga ke Maluku. (2010:251)
Hal tersebut
membuktikan bahwa persebaran Dangdut koplo yang berkembang sangat pesat, dangdut
Koplo telah dikonsumsi oleh berbagai kalangan dari berbagai daerah.
Pengkonsumsian Dangdut Koplo di berbagai daerah membuat persebaran Dangdut
Koplo semakin menyeluruh, ditambah dangdut Koplo yang telah berkembang sangat
pesat di Ibukota, Jakarta. Jakarta sebagai basis persebaran, menjadikan
eksistensi Dangdut Koplo semakin tersebar dan semakin luas, dan dapat dikatakan
bahwa Dangdut Koplo telah menjadi demam nasional.
Analisis Permasalahan
Estetika dari Dangdut Koplo
“dang, dang, tak, dang, dang,
tak”, alunan gendang memimpin para pemain lainnya untuk memulai. Alunan gendang
pun disuarakan di seluruh bagian-bagian lagu, diiringi dengan senggaan-senggaan,
penonton mulai berjoged semaunya dan mulai berinteraksi pada senggan tersebut, penyanyi
bernyanyi, lekuk tubuh penari pun diunjukan, suasana semakin meriah, tempo yang
cepat membuat layaknya dalam satu panggung tidak berhenti untuk berjoged,
bagian lagu dari first ke reff pun menjadi hal yang ditunggu untuk bernyanyi
bersama, goyangan makin asik pada bagian musik dan senggan”
Ya,
itulah sedikit potongan dari pertunjukan sebuah kesenian bernama Dangdut Koplo
yang diselenggarakan di purawisata. Para penonton seakan sesinergi dengan para
pemain, interaksi makin baik dan makin ramai. Para penonton turun semua ke
lantai dansa, ya memang tidak semua, ada sebagian orang yang merekam legak
legok sang penyanyi, tetapi semua penonton turun ke lantai dansa, dan
mengartikan suara dan lagu-lagu yang dibawakan dengan menggunakan intepretasi
dan terjemahan sendiri bagi individu, dan itu berhasil, pola piker para
penonton dan pemain bisa dikatakan searah. Pertanyaan besar yang masih
terganjal adalah dimana estetika dari dangdut koplo tersebut, marilah kita
bongkar dangdut koplo sebagai kesenian.
Pada
dasarnya, dangdut koplo merupakan karya kreasi dari musik dangdut itu sendiri, pada
alat musik yang dibawkaan, semuanya sama dengan format yang dibawakan oleh para
band-band dangdut lainnya, tidak lain tidak bukan, seperti halnya, gitar,
organ, bass, drum, suling, kecimpring, dan pemain tabla yang menjadi kekuatan
musik ini. Hal yang membedakan adalah cara memainkan alat musik tersebut. Para
pemain mengartikan alat musik tersebut dan menterjemahkan dengan gaya yang
mereka punya, dan hal yang paling terlihat dalam musik dangdut koplo adalah
permainan tabla. Pemain tabla dangdut yang biasanya menonjolkan gesekan kulit
tangan dan kulit tabla yang menghasilkan suara “dutt”, diartikan lain dalam
penggunaan tabla, dalam Koplonan permaina tabla diterjemahkan dengan adanya
habitus dari para pemain, seperti halnya musik keroncong, jaipong, house,
melayu dan dangut itu sendiri, sehingga bunyi yang lebih ditonjolkan adalah
bunyi “dang”. Bunyi “dang” yang mendominasi permainan penuh dari koplonan ini,
merupakan pengatur tempo, sekaligus pemacu detak jantung para penonton untuk
terus dapat berjoget se-enerjik mungkin. Penggunaan tabla biasanya dipadu
padankan dengan suara pemain yang berteriak seperti “uuuuuu aaa”, “tumpak ting
ting “joss””, atau “asolole”, teriakan-teriakan tersebut membuat suasana
semakin meriah dan kondusif dalam permainan.
Tabla
sangat mempunyai kekuatan pada musik ini, dan pada faktanya, permainan tabla
memang sangat digemari oleh para penonton, salah satunya adalah Benny:
Ya,
kalau dangdut koplo itu, yang bikin seneng tablanya, itu enak banget, denger
aja pun tu meriah, enak ,bikin goyang dan asik gitu, bikin semangat mainan
tablanya itu”
Permainan Tabla
menjadi permainan yang sangat kuat, ya hal tersebutlah yang membedakan
permainan dangdut dan permainan koplo. Dimana, dapat ditarik garis lurus, bahwa
permainan tabla merupakan nyawa dari kedua jenis musik tersebut. Permainan
tabla “dang” yang diartikan sebagai intepretasi pemain dari permainan
jaipongan, ronggeng, tayub, musik house ala barat, dangdut, semua digabungkan
dan di manualisasi menjadi koplo. Permainan tabla “dang” sudah menjadi sangat
kuat karakteristiknya sebagai permainan tabla Pantura atau Jawa Timuran, karena
tidak semua pemain tabla bisa memainkan senggaan-senggaan yang mereka lakukan,
contohnya para pemain tabla dari Jawa Barat, walaupun menurut sejarah, tabla
yang digunakan di konversi dari permainan tabla atau kendang Jawa Barat, tetapi
rasa yang keluar kini telah berbeda. Permainan kendang Jawa Barat yang sedikit
lebih lambat, dirubah menjadi permainan Jawa Timur yang sangat cepat dan
enerjik, banyak senggaan-senggan yang tidak seharusnya digunakan tetapi
digunakan, seperti permaian tabla dang yang disertai teriakan pemain di saat
penyanyi bernyanyi, tetapi hal itulah yang membuat penonton senang, hal
tersebut sebagai pemacu untuk dapat berjoged atau semacamnya.
Selain
hal “tabla” yang menjadi kekuatan pada koplo, dampak yang muncul menjadi hal
yang penting dari musik tersebut. Keberhasilan para pemusik koplo adalah ketika
para penonton berinteraksi secara sporadis dan ikut berjoged seiring permainan
para pemusik. Hal yang membedakan dalam joged adalah, ketika dangdut dimainkan,
joged yang terjadi adalah joged-joged dangdut pada umumnya, karena temponya yang
mendayu-dayu atau sebagainya, sedangkan pada koplo joged yang terjadi adalah
joged-joged yang bebas, yang lepas, dan inilah yang membuat penulis berfikir,
apakah ini musik resistensi. Kekuatan Joged mempunyai arti yang sangat penting
pada koplo, yakni sebagai keberhasilan pemain, juga sebagai pusat interaksi
serta pertukaran atau transfer kebudayaan lewat musik koplo ini. Pada umumnya,
para penonton sangat suka berjoged, adapun alasan dari salah satu penonton yang
bernama Hendi:
“Koplo
itu musiknya uelok, enak, unik kui lho, ada perpaduan antara musik moderen dan
etnik, jadinya itu enak banget buat goyang”
Goyang mejadi
hal yang lumrah bagi musik rakyat seperti halnya musik koplo ini. Musik
kerakyatan yang diusung lewat daerah.
Hal lainnya yang membuat koplo
menjadi hal yang unik adalah permainan lagu pada koplo tersebut. Permainan lagu
yang dibawakan biasanya lagu-lagu koplo, lagu dangdut yang dikoplokan, dan
semua jenis lagu seperti halnya pop, rock, melayu dan reggae yang dapat
dijadikan sebagai versi koplo. Pada versi pertama biasanya yang mereka bawakan
adalah versi asli, tetapi ketika sudah di verse ke-2, tabla bermain mengawali,
dan lagu tersebut pure menjadi koplo dengan ciri khasnya. Selain percampuran
genre yang membuat koplo tetap pada jalurnya dan dapat dikatakan terus bertahan
pada kalangannya. Koplo juga mengusung lagu-lagu yang dekat dengan masyarakat,
yang hampir semuanya dihapal oleh masyarakat sehingga, ketika permainan
dimainkan, selain dapat berjoged, para penonton dapat bernyanyi bersama.
Sehingga timbul yang dinamakan sebagai komunalitas dan kebersamaan, dan dari
situ peran koplo semakin kuat di masyarakat.
Pada permainannya Koplo sangat
menjadi kekuatan masyarakat di Jawa Timur dan Pantura, setiap acara masyarakat
seperti halnya perkawinan, ulang tahun polisi atau sebagainya, Koplo menjadi
hal yang utama, selain mempunyai kekuatan yang sangat kuat di masyarakat. Koplo
dalam permainannya menjadi hal yang sangat penting. Disini lah peran kesenian
pada masyarakat, kesenian menjadi hal yang sangat kuat dan dalam di hati
masyarakat. Bahkan dapat dikatakan sebagai kekuatan dari satu daerah atau
disebut sebagai identitas masyarakat. Sumardjo mengatakan bahwa:
“Seni
adalah puncah budaya karena seni berkaitan erat dengan religi suku atau masyarakat.
Seni menghadirkan yang halus, tak Nampak menjadi Nampak dan berwujud” (2010:30)
Seni adalah
puncak dari sebuah acara dan sangat berkaitan erat dengan masyarakat seperti
halnya dangdut koplo ini. Berhubungan dengan identitasnya, Sumadjo mengatakan bahwa:
Identitas
adalah keselarasan di antara unsure-unsur yang berbeda-beda, kesimetrisan dan
keseimbangan yang serasa di antara mereka yang berbeda-beda, yang menciptakan
keteraturan dalam sebuah keutuhan. Sifat ini menjadi identitas apabila sistem
hubungan abstar yang sama berulang-ulang diwujudkan dalam kuantitas Nampak.
Sebuah identitas akan berubah kalau sistem hubungan abstarknya yang membetuk
pola tertentu juga berubah. (2010:52)
Identitas
menjadi hal yang penting karena merupakan hal original darimana sebuah kesenian
berasal. Identitas juga menjadi penting karena terjadi keselarasan dari hal-hal
yang ada dan membudaya pada suatu masyarakat.
Estetika
dari Dangdut Koplo itu sendiri merupakan hal yang abu-abu, Esetika merupakan
hal yang disebut sebagai nilai keindahan. Sumadjo mengatakan bahwa:
Seni
yang halus, yang transenden itu tidak bernama, tidak bisa dikatakan. Logika dan
estetika berbeda, logika selalu mereruksi estetika dan estetika dimiskinkan
oleh logika. Sedang sumbuer pengalaman seni itu ada intuisi manusia, di bawah
sadarnya. Seni itu irasional. (2010:33)
Sedangkan artian
estetika itu sendiri menurut Kant via Hobart dan Kapferer:
Aestheticics
does not merely concern art but rather lies at the heart of the critical
understanding of the human profect as a whole. And its about embodied and
sensory. Art or what is defined as art engages aesthetic processe but is not
their necessary or ultimate expression. The aesthetic is primary. The
aesthetics forms are what human beings are already centered within as human
beings.(2005:5)
Estetika menurut
Eagleton:
Aesthetic
is thus always a contradictory, self-undoing sort of project, which in
promoting the theoretical value of its object risks emptying it of exactly that
specificity or ineffability which was thought to rank among it most precious
features. The very language which elevates art offers perpetually to undermine
it. (1990:3)
Dapat
dimaksudkan bahwa estetika merupakan sesuatu yang intuitif, tetapi sudah
terjadi pada habitus manusia sebagai individu. Estetika merupakan sebuah nilai
keindahan dari sebuah karya dan ciptaan. Ciptaan yang menggunakan sesuatu yang
disebut intuitif, tidak menggunakan logika. Semua berdasarkan kenikmatan akan
seni. Pada hal ini dangdut Koplo mempunyai estetika yang berada pada batas
identitas dari sebuah masyarakat. Kesenian akan makin kuat ketika ada patronase
disitu, dan Koplo mempunyai patronase tersebut. Patronase dari Koplo adalah
masyarakat Pantura yang menjamin Koplo terus bermain. Koplo dalam nilai
estetikanya merupakan hal yang kuat dimana, ada nilai keindahan pada permainan
tabla yang membuat perbedaan pada musik lainnya. Tabla “dang” merupakan sebuah
keindahan dimana ini merupakan hal yang lain dan hal yang berbeda, dan efek
yang terjadi pada “dang” tersebut adalah nilai keindahan. Nilai enerjik,
nilai-nilai yang muncul membuat adanya sebuah lingkaran baru pada kesenian ini.
Para penonton dapat menikmati, dan sering kali mereka menikmati sambil
memejamkan mata dan mendongak ke arah langit sambil bergoyang-goyang. Terlebih
keindahan ini ditopang oleh para penikmat, dan telah membudaya pada masyarakat.
Ada perasaan bebas dan lepas dari musik Koplo ini, dimana ketika musik
dimainkan, maka perasaan menjadi cair dan semua layaknya orang yang terhipnotis
pada musik ini.
Estetika Daerah menjadi Estetika Nasional
Seperti yang kita ketahui, bahwa
Dangdut Koplo berkembang sangat pesat di Jawa Timur dan daerah Pantura. Koplo
sangat kuat dan dalam pada masyarakat regional timur dari jawa ini. Kekuatan
Koplo sangat ditunjang dengan eksistensi Koplo yang tidak dapat diragukan lagi.
Koplo menjelma sebagai ritus masyarakat pada acara-acara siklus hidup dan
acara-acara penting bagi masyarakat. Pada perkembangannya Koplo mulai menyebar
hingga di Ibukota, Jakarta. Koplo menjadi tamparan besar untuk dangdut itu
sendiri, terlebih Koplo menduduki posisi yang terlampau lama diduduki oleh
musik Dangdut. Koplo menjadi sangat meledak akhir-akhir ini, di televisi
nasional pun Koplo mempunyai jadwal yang rutin. Musik dangdut berubah menjadi musik
Koplo. Para pemain dangdut dipukul mundur dan digantikan oleh para pemain Koplo
yang notabene sedang naik daun. Eksistensi Koplo di panggung hiburan Indonesia,
juga diperkuat dengan para penyanyi-penyanyi yang mempunyai karakter kuat
seperti halnya, Inul Daratista, Trio Macan, dan para penyanyi lainnya. Koplo
menjadi sangat kuat di Indonesia, sebagai kiblat dangdut baru. Inilah yang
dinamakan rasa lokal yang menjadi rasa nasional.
Membicarakan fenomena Koplo yang
dapat dikatakan sebagai rasa lokal menjadi rasa nasional, ada tanda tanya yang
besar terjadi disini, adalah ketika estetika dari dangdut koplo itu sendiri
yang kuat karena adanya dorongan dari masyarakat, adanya habitus yang kuat dan
rasa kebersamaan yang kuat dari masyarakat. Pada hal ini Koplo berkembang di
Jawa Timur dan Pantura, Koplo tercipta karena adanya cipta, rasa dan karsa dari
masyarakat itu sendiri, atau disebut sebagai etnisitas lokal yang muncul dalam
pembuatannya sehingga dalam permainan, sudah barang tentu menjadi hal yang lumrah
jika semua masyarakat di daerahnya menyukai musik tersebut. Seperti halnya yang
diungkapkan oleh Banu:
Ya
ketika denger dangdut Koplo saya langsung enak joged aja, kaya bener-bener
keluar dari sana sendirinya. Koplo tu pas banget kaya udah nyetel di diri.[3]
Adanya hal yang
menjadi etnisitas lokal, ada sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain
yang tidak mengalami hal-hal yang dialami masyarakat lokal. Terlebih bahwa
estetika pada suatu tempat terkadang tida dapat disamakan dengan estetika di
lain tempat, sebagai contoh, estetika dari Tari Bali yang tidak sreg jika
disaksikan oleh Tari Jawa Gaya Kraton, dan sebagainya. Estetika terbentuk
karena adanya habitus, adanya pengalaman, adanya etnisitas yang terjadi pada
suatu masyarakat. Maka itu kesenian sering diartikan sebagai identitas suatu
masyarakat. Yang menjadi soal adalah ketika Estetika Lokal menjadi estetika
Nasional, apakah hal tersebut benar-benar terjadi. Dalam hal ini, penulis juga
melakukan wawancara pada Benny yang merupakan orang asli Medan, (lihat hal 8).
Benny terbukti menyukai Koplo karena alunan tablanya yang riang dan enerjik.
Dari sini terlihat bahwa estetika juga bisa terjadi karena adanya perasaan
nyaman, ada ketergantungan dari determinasi baru. Adanya konstruksi baru
terhadap pola pikir individu ketika musik tersebut diterima oleh semua kalangan
masyarakat atau yang disebut sebagai go
public. Estetika tidak melibatkan etnisitas lokal, tetapi intuisi yang
terjadi pada individu.
Kesimpulan
Dangdut Koplo merupakan musik lokal
yang berkembang dari penafsiran para masyarakat dan musisi atas pembacaannya
pada musik dangdut. Tetapi tidak disadari bahwa perkembangannya lebih luas
daripada dangdut itu sendiri. Permainan Koplo yang lebih enerjik dan riang, dan
lebih atraktif terkadang menjadi alasan utama dari Koplo lebih digemari oleh
masyarakat. Estetika yang terjadi adalah pada nilai kendang atau tabla yang
bernadakan “dang”, dan lebih menjadi pemicu dalam musik tersebut. Estetika
muncul karena adanya dorongan dari masyarakat. Tidak disadari bahwa Koplo
men-nasional, Koplo melebihi bahkan menjadi kiblat dangdut itu sendiri. Rasa
Lokal yang menjadi global membuat Koplo berada dalam posisi abu-abu pada nilai
estetika yang ada. Walaupun estetika muncul karena asal muasal mereka berkembang
tetapi estetika dapat muncul ketika adanya perasaan nyaman dan cocok terhadap
musik tersebut. Yang membedakan sekarang adalah kadar estetika dari individu
itu sendiri. Estetika merupakan intuisi, dan intuisi manusia bekerja atas itu,
seni.
Daftar Pustaka
A. Lockard,
Craig.
1998 Dance of Life, Popular Music and
Politics in Southeast Asia. Honolulu:
University of
Hawai’I Press.
Budi Suseno,
Dharmo.
2005 Dangdut Musik Rakyat. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Eagleton, Terry
1990 The
Ideology of The Aesthetic. Cambridge: Basil Blackwell
Ganap, Victor
2011 Kerontjong
Toegoe. Yogyakarta: Badan Penelitian Isi
Kapferer, Bruce
dan Hobart, Angela
2005 Aesthetic
In Performance. New York: Berghagn Books
Koentjaraningrat.
2007 Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI Press.
N. Weintraub,
Andrew.
2010 Dangdut Stories , A Social and Musical
History of Indonesia’s Most
Popular Music. New
York: Oxford University Press, inc.
Sumardjo, Jakob
2010 Estetika
Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press
Wawancara.
1.
Benny. Pada tanggal 4 Januari 2013.
2.
Banu. Pada tanggal 28 Desember 2012
3.
Hendi. Pada tanggal 2 Januari 2013.
No comments:
Post a Comment