Friday, January 18, 2013

Estetika Dangdut Koplo “Go Public”



Estetika Dangdut Koplo “Go Public”
Michael Haryo Bagus Raditya
Abstrak
Dangdut Koplo atau yang sering disebut sebagai “Koplonan” merupakan sebuah kesenian rakyat yang bila ditilik lebih jauh merupakan sub dari musik dangdut itu sendiri. Dalam perkembangannya, masyarakat lokal menciptakan hal baru dalam perkembangan dangdut tersebut, khususnya di daerah Pantura dan Jawa Timur. Eksistensi Dangdut Koplo sebagai kesenian rakyat menjadi sangat kuat di daerahnya sendiri. Tetapi ketika Inul Daratista naik ke panggung televisi, semuanya telah berubah, kiblat dangdut ala Rhoma menjadi tergeser dan koplo seakan menjadi kiblat belakangan ini. Naiknya Koplo seakan menjadi lonjakan besar bagi masyarakat pelaku koplo. Demam koplo seakan menasionalisasi bangsa, tetapi yang menjadi persoalan, terdapat nilai estetika pada dangdut koplo, dan adanya dilema dangdut koplo sebagai hiburan bagi semua kaum masyarakat, menjadikan para penonton, apakah mereka benar-benar menyukainya atau hanya menjadi karbitan saja. Estetika suatu kesenian akan kuat kedalam, dan apakah pada dangdut Koplo, estetika beranjak keluar.

Kata Kunci: Dangdut Koplo, Koplonan, Estetika, Pantura, identitas masyarakat


Latar Belakang
Dangdut, siapa yang tidak mengenalnya, jenis musik yang satu ini telah menjadi ciri khas musik di Indonesia. Bagaimana tidak, pengaruh Dangdut sangat besar terhadap rakyat, dan menjadikan jenis musik ini sebagai musik rakyat. Dangdut diibaratkan sangat dekat dengan rakyat, selain alunan musiknya yang menyenangkan dan membuat untuk bergoyang, teks dari lagu dangdut, biasanya menceritakan keketiran dan cerita-cerita sedih seperti yang dialami oleh para masyarakat. Adanya kesamaan tersebut, menumbuhkan loyalitas kebersamaan yang menyeluruh yang membentuk budaya sehingga menjadikan posisi dangdut semakin dalam dan tenggelam dalam hati masyarakat.
Pada dasarnya, dangdut juga merupakan campuran dari beberapa jenis musik. Hal tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa dangdut merupakan campuran dan kombinasi dari musik-musik yang telah berkembang sebelumnya di Indonesia. Hal tersebut kembali lagi dihubungkan dengan adanya pengaruh-pengaruh yang terjadi. Musik merupakan salah satu bentuk seni yang selalu mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya zaman, kebudayaan, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Munculnya genre baru dalam musik tidak terlepas dari kreativitas para composer, penulis lagu, musisi dan kebudayaan setempat. Kebudayaan setempat mempunyai cara tersendiri dalam menerjemahkan segala sesuatunya dan menciptakan hal yang baru dengan cara dan gaya mereka sendiri.
            Kesenian pada dasarnya merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan[1], maka itu setiap masyarakat mempunyai kesenian tersendiri dalam keberlangsungannya. Pada dasarnya tidak ada kebudayaan yang asli dari sebuah tempat, kebudayaan merupakan proses dari perjalanan panjang dan terdapat banyak pengaruh-pengaruh yang ada, seperti halnya Keroncong yang diakui sebagai milik Indonesia, dalam penelitiannya Ganap menyatakan bahwa Keroncong merupakan percampuran dari kebudayaan Portugis dalam keberlangsungannya. Ini merupakan salah satu bukti bahwa adanya akulturasi bahkan asimilasi kebudayaan yang terjadi pada sebuah proses kebudayaan tersebut. Setelah membudaya, maka menciptakan konstruk tertentu pada pikiran yang menerjemahkan dan mengartikan kembali dengan caranya masing-masing berdasarkan kebudayaan yang menjadi landasan hidup mereka. Kerap kali bahwa masyarakat mengartikan kembali dalam hal yang didapat mereka, dan hal tersebut juga terjadi pada kesenian.
            Pada hal ini juga terjadi pada Dangdut sebagai musik yang juga dianggap sebagai musik asli Indonesia. Dangdut  merupakan gejala musik nasional, dan menyeluruh ke seluruh lapisan masyarakat dan dimanapun berada. Dangdut sebagai musik memang menjadi sentral dari musik itu sendiri yang berpusat di Jakarta, tetapi dalam keberlangsungannya, terjadi pembuatan-pembuatan musik dangdut di daerah-daerah, seperti Sumatra Utara, Sulawesi, juga di Jawa Timur. Dalam hal ini masyarakat mengartikan musik dangdut dengan budaya setempat dan menciptakannya lagi menjadi sesuatu yang baru bahkan berbeda dari dangdut sebelumnya, dan salah satunya adalah Dangdut Koplo atau Koplonan asal Jawa Timur yang berkembang pesat di Pantura. Yang menjadi persoalan adalah melihat estetika dangdut koplo itu sendiri, bahkan ketika Koplonan ini menasionalisasi. Musik Lokal yang berkembang karena pengartian masyarakat setempat atas salah satu jenis musik menjadi musik nasional.

Permasalahan
Eksistensi Koplonan sebagai dangdut merupakan sebuah lonjakan besar, disatu sisi terdapat banyak gesekan-gesekan yang terjadi dengan konsep awal. Terlebih adanya gesekan patronase yang terjadi pada Dangdut itu sendiri. Hal yang mengancam bagi Dangdut Asli. Yang merupakan sebuah sanggan besar adalah ketika Koplonan telah menasionalisasi, dimana Koplonan yang berasal dari Jawa Timur dan sangat berkembang di Pantura menjadi kiblat dangdut kini. Estetika asli dari Koplonan ini yang menjadi tanda tanya besar. Maka itu:
Bagaimanakah Estetika dalam pandangan suatu produk seni, dan pada hal ini yaitu Koplo sebagai musik daerah yang menasional?     

Pembahasan
            Dalam pembahasan dangdut ini akan diungkap secara tegas bagaimana Dangdut dan Koplo sebagai sub atau bagian dari dangdut itu sendiri. Penulis menyertakan Dangdut untuk mengetahui perkembangan dangdut sampai dangdut daerah dapat menaiki tahta dangdut sekarang.
Dangdut
Bila dilihat dari asal muasalnya, penamaan Dangdut, dibentuk karena adanya suara “dang” dan “dut”, pada tabla yang menjadi ciri khas dari jenis musik itu sendiri. Sehingga menjadikan sebuah ketukan yang unik dan pas, dari situlah dangdut menjadi hal yang lumrah dan menjadikan posisinya sangat penting di masyarakat. Sebenarnya, kata dangdut sendiri dimaksudkan sebagai kata cemoohan atau ejekan bagi orkes Melayu dengan gaya Hindustan yang mengikuti suara tabla dengan cara membunyikan suara terentu sehingga terdengar “..dangduuut” (Banoe,2003:108). Dari definisi dangdut tersebut, dapat diketahui bahwa musik dangdut merupakan perpaduan dari musik melayu dan musik india, dan menghasilkan harmonisasi suara baru, yaitu Dangdut. Menurut Suseno, istilah Dangdut baru muncul dan dikenal luas pada tahun 1970-an, kata dangdut diindikasikan berasal dari bunyi kendang yang biasanya digunakan dalam pertunjukan dangdut, seperti tabla. Disaat itu Billi Silabumi yang pada awalnya hanya mengejek genre baru dengan kata Dangdut di media massa, maka sentak media menyebutkan musik campuran ini menjadi musik Dangdut (2005:24-27).
 Sebenarnya cikal bakal Musik Dangdut sendiri telah berkembang sejak tahun 1950an, berawal dari perkembangan musik yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman disaat itu. Diawali dengan Musik Melayu Deli, Melayu Deli ini merupakan musik Indonesia dengan sentuhan Semenanjung Melayu. Lagunya terdengar sangat melayu, seperti lagu Mainang Sayang, Serampang Dua belas, dll. Setelah Deli Melayu, Unsur Pop yang telah terkenal dan sedang naik daun, membentuk Pop Melayu. Pada saat itu musik berkiblat pada genre pop dan pop Melayu. Adanya kebosanan dengan Pop, maka muncul nuansa musik unsur India, pada saat itu film India merajai perfilman dan acara televisi di Indonesia. Tak dipungkiri bahwa Musik India pada saat itu menjadi kiblat musik nusantara.
Setelah India, adanya nilai Agama yang kuat mempengaruhi unsure Timur tengah masuk ke dalam tataran musik Indonesia, dan saat itu musik Arabian atau timur tengah menjadi kiblat, seperti halnya kasidahan, dan lagu bertema Islam lainnya. Paska dari musik timur tengah, di dunia Internasional sedang berkiblat kepada musik rock. Unsure barat khususnya musik rock masuk dan kiblat musik pindah ke musik rock. Ketika unsure barat sedang digandrungi, tidak hanya rock yang berpengaruh, adalah musik latin dan fusion ikut menjadi kiblat musik dangdut. Setelah musik-musik rock dan barat mencapai puncaknya, muncul musik beraliran disco atau midi, Musik Dangdut langsung dengan cepat terinspirasi dan menjadi kiblat. Diantara jenis musik yang mempengaruhi, eksistensi musik tradisi atau daerah tetap terjaga, dimana musik dengan unsure etnik Indonesia naik dan menemani jenis musik lainnya. Musik daerah tetap mempunyai kekuatan tersendiri, seperti Didi Kempot, Trio Macan, dll (Suseno, 2005: 34-52).
Dari beberapa unsure dan pengaruh musik yang mempengaruhi Dangdut, terbukti bahwa dangdut merupakan musik yang melebihi genre musik biasanya. Dangdut dapat lebih adaptif sesuai perkembangan zaman. Hal ini merupakan keistimewaan dangdut, karena dangdut dapat menerima unsure musik dari mana pun untuk dikombinasikan dan menjadikan Dangdut lebih kaya akan unsur. Lockard juga menyatakan bahwa:
Dangdut emerged from the cultural melting pot of Jakarta, a city sometimes compared to the spicy Indonesian salad gado-gado because of its assimilation and intermingling of peoples and ideas arriving from outside.
Dari hal tersebut juga ditekankan bahwa dangdut merupakan percampuran layaknya makanan gado-gado, yang dapat diartikan bahwa dangdut merupakan percampuran dari banyak jenis musik lainnya. Sehingga dalam perkembangannya Dangdut tidak akan pernah lekang oleh waktu atau zaman. Hal tersebut dibuktikan dengan pertunjukan Dangdut yang tidak pernah sepi. Dangdut menjelma sebagai sebuah nilai dalam masyarakat. Nilai kebersamaan hadir, media masyarakat untuk berkumpul, berbagi dan bersilahturahmi. Dangdut sebagai perayaan di setiap acara masyarakat. Bahkan, Dangdut dijadikan alat politik untuk mengumpulkan massa atau menjadikan bintang dangdut tersebut sebagai anggota partai, sehingga masyarakat melihat partai tersebut sebagai titisan bintang Dangdut tersebut. Hal tersebut terjadi ketika, Partai Golkar menggunakan Rhoma Irama sebagai lambang mereka (Weintraub, 2010: 148). Masyarakat terpesona dengan hingar bingar sang bintang Dangdut. Rhoma Irama sang Raja Dangdut.
Rhoma Irama, merupakan Raja sekaligus penggerak Dangdut. Rhoma mempunyai kekuatan Dangdut yang sangat besar, hal tersebut terbukti ketika Dangdut di tahun 1970an harus bersaing melawan Genre Rock. Rhoma datang dan memadupadankan keduanya menjadi sebuah harmoni tersendiri. Rhoma merombak Dangdut yang sangat melayu menjadi dangut yang lebih terbuka. Rhoma merubah segalanya, syair, alunan musik, instrumentasi. Rhoma merubah instrument dengan penggunaan alat musik yang belum pernah dicoba sebelumnya, seperti Saksofon dan keyboard. Rhoma merubah syair melayu yang cinta-cinta dan sedih dengan keadaan realitas sosial yang diakhiri dengan nasehat dan dakwah di setiap lagunya. Rhoma berhasil dan dia menjadi Raja Dangdut Indonesia. Kekuatan Rhoma tidak berhenti sampai disitu, hingga kini dia tetap berkecimpung di dunia Dangdut, sebagai penyanyi atau penasehat musik Dangdut. Setelah Dangdut Rhoma, muncul kebosanan akan Dangdut yang halnya hanya bersifat dakwah. Dalam perkembangannya Dangdut yang diusung Rhoma tidak sendiri, ada Dangdut lainnya yang muncul disaat masa Dangdut Rhoma, yakni Dangdut Koplo, Dangdut yang hidup di Surabaya dan di Jalur Pantura. Dangdut lokal, atau dangdut daerah.

Dangdut Koplo atau Koplonan
Pada kemunculannya, kata dangdut juga hal yang gamang seperti halnya penamaan koplo sekarang. Istilah Koplo itu sendiri masih dalam batas abu-abu. Dalam KBBI Edisi Keempat Tahun 2008, terdapat kata Koplo (kop.lo) yang berartikan dungu (dalam bahasa jawa). Juga terdapat makna lainnya, yakni, Koplo pil yang mengandung zat psikotropika. Pembacaan lainnya yang membahas tentang Koplo oleh Weintraub, beliau menerangkan bahwa: istilah koplo yang mengacu pada gaya pementasan, irama gendang, tempo-cepat. Menurut pemahamannya istilah ini berasal dari “pil koplo”, musik koplo dulunya merupakan cara mengungkapkan perasaan teler tentang gaya tarian yang dianggap orang sebagai hal yang “sulit dipercaya” atau “ajaib”. Koplo tercipta pada awal sampai pertengahan 1990-an, dan meledak pada era pasca-soeharto. Pada dasarnya, Koplo tercipta di Jawa Timur, tetapi tidak dapat dipungkiri asalnya yang tidak jelas. Koplo diperkirakan tidak asli dari jawa timur, tetapi hanya berkembang saja. Hal tersebut dikarenakan, gendangan jaipongan yang masuk ke jawa timur sekitar tahun 1980an[2] dan berkembang pada permainan musik di Jawa Timur. Sehingga tidak dapat dipungkiri perkembangannya yang menyebar secara luas.
Pada faktor musik, musiknya sangat kental dengan pengaruh berbagai gaya musikal, termasuk metal, house, dangdut dan jaipongan. Pada iringan musik koplo, dominasi tabla yang bersuarakan “dang” lebih dominan dibanding “dut”, atau teknik menggeser tangan di lapisan kulit tabla tersebut, dan dampak yang terjadi ketika “dang” lebih dominan membuat suasana semakin lebih semarak. Penglihatan saya terhadap dominasi “dang” pada koplo juga memberikan perbedaan dengan dangdut yang didominasi “dut”, sehingga memberikan ruang joget tersendiri pada dangdut, sedangkan dalam mengisi hal yang sama pada musik koplo, koplo melakukan banyak sengaan-sengaan seperti halnya “dum plak ting ting joss” atau lainnya. Adanya perbedaan yang terjadi membuat terkadang koplo dipisahkan dari dangdut.
Pada perkembangannya, Koplo tersebar di jawa timur, dan persebaran paling luasnya terdapat di jalur pantura. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya grup koplo di sepanjang jalur pantura, dan pemasangan lagu koplo di sepanjang jalan pantura bila kita menaiki transportasi massal disana. Persebaran Koplo ke daerah lainya dapat dirasakan ketika fenomena Inul Daratista masuk ke industri musik nasional. Persebaran Koplo makin luas bahkan sporadis. Koplo mempunyai tempat tersendiri pada pertelevisian Indonesia, bahkan sempat Koplo hampir menggantikan peran dangdut di televisi. Pedangdut yang menjunjung orisinalitas dangdut semakin tergeser posisinya. Sehingga terkadang terdapat sentiment-sentimen tersendiri, hal tersebut terbukti ketika, penulis dan seorang teman mendatangi sebuah seminar, yang di dalam seminar tersebut terdapat anggota dari Dangdut, beliau menyatakan bahwa “menurut Rhoma Irama, Koplo bukanlah jenis dari Dangdut, Koplo bukan Dangdut”, dan sebagainya. Pembacaan yang saya lakukan adalah karena akibat patrognase yang terbatas dari pelaku dangdut. Suasana makin keruh ketika industry musik dangdut pada tahun 2012 ini menjadikan koplo sebagai kiblat.
            Koplo pada perkembagannya telah menyebar ke seluruh penjuru, demam Inul daratista menjadi lonjakan yang sangat besar terhadap Koplo, dan hal tersebut membuat Koplo semakin berkembang dan semakin dilihat dan dinikmati oleh para pendengar musik Indonesia. Entah apakah Koplo merupakan musik resistensi atas dangdut sebenarnya atau sebagai pencarian jati diri dari musik itu sendiri. Koplo sangat menonjolkan performa yang sangat enerjik, kekuatan koplo adalah apa ke-enerjikan musik dan penyanyi, yang bisa dibilang seksi sebagai penyemangat lagu. Persebaran yang meluas juga dikuatkan oleh pernyataan Weintraub bahwa :

Grup-grup dangdut Koplo juga berjaya di berbagai daerah, sebagaimana terbukti dari VCD “Dangdut Koplo” yang dipasarkan hingga ke Maluku. (2010:251)

Hal tersebut membuktikan bahwa persebaran Dangdut koplo yang berkembang sangat pesat, dangdut Koplo telah dikonsumsi oleh berbagai kalangan dari berbagai daerah. Pengkonsumsian Dangdut Koplo di berbagai daerah membuat persebaran Dangdut Koplo semakin menyeluruh, ditambah dangdut Koplo yang telah berkembang sangat pesat di Ibukota, Jakarta. Jakarta sebagai basis persebaran, menjadikan eksistensi Dangdut Koplo semakin tersebar dan semakin luas, dan dapat dikatakan bahwa Dangdut Koplo telah menjadi demam nasional.

Analisis Permasalahan
Estetika dari Dangdut Koplo
“dang, dang, tak, dang, dang, tak”, alunan gendang memimpin para pemain lainnya untuk memulai. Alunan gendang pun disuarakan di seluruh bagian-bagian lagu, diiringi dengan senggaan-senggaan, penonton mulai berjoged semaunya dan mulai berinteraksi pada senggan tersebut, penyanyi bernyanyi, lekuk tubuh penari pun diunjukan, suasana semakin meriah, tempo yang cepat membuat layaknya dalam satu panggung tidak berhenti untuk berjoged, bagian lagu dari first ke reff pun menjadi hal yang ditunggu untuk bernyanyi bersama, goyangan makin asik pada bagian musik dan senggan” 
Ya, itulah sedikit potongan dari pertunjukan sebuah kesenian bernama Dangdut Koplo yang diselenggarakan di purawisata. Para penonton seakan sesinergi dengan para pemain, interaksi makin baik dan makin ramai. Para penonton turun semua ke lantai dansa, ya memang tidak semua, ada sebagian orang yang merekam legak legok sang penyanyi, tetapi semua penonton turun ke lantai dansa, dan mengartikan suara dan lagu-lagu yang dibawakan dengan menggunakan intepretasi dan terjemahan sendiri bagi individu, dan itu berhasil, pola piker para penonton dan pemain bisa dikatakan searah. Pertanyaan besar yang masih terganjal adalah dimana estetika dari dangdut koplo tersebut, marilah kita bongkar dangdut koplo sebagai kesenian.
Pada dasarnya, dangdut koplo merupakan karya kreasi dari musik dangdut itu sendiri, pada alat musik yang dibawkaan, semuanya sama dengan format yang dibawakan oleh para band-band dangdut lainnya, tidak lain tidak bukan, seperti halnya, gitar, organ, bass, drum, suling, kecimpring, dan pemain tabla yang menjadi kekuatan musik ini. Hal yang membedakan adalah cara memainkan alat musik tersebut. Para pemain mengartikan alat musik tersebut dan menterjemahkan dengan gaya yang mereka punya, dan hal yang paling terlihat dalam musik dangdut koplo adalah permainan tabla. Pemain tabla dangdut yang biasanya menonjolkan gesekan kulit tangan dan kulit tabla yang menghasilkan suara “dutt”, diartikan lain dalam penggunaan tabla, dalam Koplonan permaina tabla diterjemahkan dengan adanya habitus dari para pemain, seperti halnya musik keroncong, jaipong, house, melayu dan dangut itu sendiri, sehingga bunyi yang lebih ditonjolkan adalah bunyi “dang”. Bunyi “dang” yang mendominasi permainan penuh dari koplonan ini, merupakan pengatur tempo, sekaligus pemacu detak jantung para penonton untuk terus dapat berjoget se-enerjik mungkin. Penggunaan tabla biasanya dipadu padankan dengan suara pemain yang berteriak seperti “uuuuuu aaa”, “tumpak ting ting “joss””, atau “asolole”, teriakan-teriakan tersebut membuat suasana semakin meriah dan kondusif dalam permainan.
Tabla sangat mempunyai kekuatan pada musik ini, dan pada faktanya, permainan tabla memang sangat digemari oleh para penonton, salah satunya adalah Benny:

Ya, kalau dangdut koplo itu, yang bikin seneng tablanya, itu enak banget, denger aja pun tu meriah, enak ,bikin goyang dan asik gitu, bikin semangat mainan tablanya itu”

Permainan Tabla menjadi permainan yang sangat kuat, ya hal tersebutlah yang membedakan permainan dangdut dan permainan koplo. Dimana, dapat ditarik garis lurus, bahwa permainan tabla merupakan nyawa dari kedua jenis musik tersebut. Permainan tabla “dang” yang diartikan sebagai intepretasi pemain dari permainan jaipongan, ronggeng, tayub, musik house ala barat, dangdut, semua digabungkan dan di manualisasi menjadi koplo. Permainan tabla “dang” sudah menjadi sangat kuat karakteristiknya sebagai permainan tabla Pantura atau Jawa Timuran, karena tidak semua pemain tabla bisa memainkan senggaan-senggaan yang mereka lakukan, contohnya para pemain tabla dari Jawa Barat, walaupun menurut sejarah, tabla yang digunakan di konversi dari permainan tabla atau kendang Jawa Barat, tetapi rasa yang keluar kini telah berbeda. Permainan kendang Jawa Barat yang sedikit lebih lambat, dirubah menjadi permainan Jawa Timur yang sangat cepat dan enerjik, banyak senggaan-senggan yang tidak seharusnya digunakan tetapi digunakan, seperti permaian tabla dang yang disertai teriakan pemain di saat penyanyi bernyanyi, tetapi hal itulah yang membuat penonton senang, hal tersebut sebagai pemacu untuk dapat berjoged atau semacamnya.
Selain hal “tabla” yang menjadi kekuatan pada koplo, dampak yang muncul menjadi hal yang penting dari musik tersebut. Keberhasilan para pemusik koplo adalah ketika para penonton berinteraksi secara sporadis dan ikut berjoged seiring permainan para pemusik. Hal yang membedakan dalam joged adalah, ketika dangdut dimainkan, joged yang terjadi adalah joged-joged dangdut pada umumnya, karena temponya yang mendayu-dayu atau sebagainya, sedangkan pada koplo joged yang terjadi adalah joged-joged yang bebas, yang lepas, dan inilah yang membuat penulis berfikir, apakah ini musik resistensi. Kekuatan Joged mempunyai arti yang sangat penting pada koplo, yakni sebagai keberhasilan pemain, juga sebagai pusat interaksi serta pertukaran atau transfer kebudayaan lewat musik koplo ini. Pada umumnya, para penonton sangat suka berjoged, adapun alasan dari salah satu penonton yang bernama Hendi:

“Koplo itu musiknya uelok, enak, unik kui lho, ada perpaduan antara musik moderen dan etnik, jadinya itu enak banget buat goyang”

Goyang mejadi hal yang lumrah bagi musik rakyat seperti halnya musik koplo ini. Musik kerakyatan yang diusung lewat daerah.
            Hal lainnya yang membuat koplo menjadi hal yang unik adalah permainan lagu pada koplo tersebut. Permainan lagu yang dibawakan biasanya lagu-lagu koplo, lagu dangdut yang dikoplokan, dan semua jenis lagu seperti halnya pop, rock, melayu dan reggae yang dapat dijadikan sebagai versi koplo. Pada versi pertama biasanya yang mereka bawakan adalah versi asli, tetapi ketika sudah di verse ke-2, tabla bermain mengawali, dan lagu tersebut pure menjadi koplo dengan ciri khasnya. Selain percampuran genre yang membuat koplo tetap pada jalurnya dan dapat dikatakan terus bertahan pada kalangannya. Koplo juga mengusung lagu-lagu yang dekat dengan masyarakat, yang hampir semuanya dihapal oleh masyarakat sehingga, ketika permainan dimainkan, selain dapat berjoged, para penonton dapat bernyanyi bersama. Sehingga timbul yang dinamakan sebagai komunalitas dan kebersamaan, dan dari situ peran koplo semakin kuat di masyarakat.
            Pada permainannya Koplo sangat menjadi kekuatan masyarakat di Jawa Timur dan Pantura, setiap acara masyarakat seperti halnya perkawinan, ulang tahun polisi atau sebagainya, Koplo menjadi hal yang utama, selain mempunyai kekuatan yang sangat kuat di masyarakat. Koplo dalam permainannya menjadi hal yang sangat penting. Disini lah peran kesenian pada masyarakat, kesenian menjadi hal yang sangat kuat dan dalam di hati masyarakat. Bahkan dapat dikatakan sebagai kekuatan dari satu daerah atau disebut sebagai identitas masyarakat. Sumardjo mengatakan bahwa:

“Seni adalah puncah budaya karena seni berkaitan erat dengan religi suku atau masyarakat. Seni menghadirkan yang halus, tak Nampak menjadi Nampak dan berwujud” (2010:30)

Seni adalah puncak dari sebuah acara dan sangat berkaitan erat dengan masyarakat seperti halnya dangdut koplo ini. Berhubungan dengan identitasnya, Sumadjo mengatakan bahwa:

Identitas adalah keselarasan di antara unsure-unsur yang berbeda-beda, kesimetrisan dan keseimbangan yang serasa di antara mereka yang berbeda-beda, yang menciptakan keteraturan dalam sebuah keutuhan. Sifat ini menjadi identitas apabila sistem hubungan abstar yang sama berulang-ulang diwujudkan dalam kuantitas Nampak. Sebuah identitas akan berubah kalau sistem hubungan abstarknya yang membetuk pola tertentu juga berubah. (2010:52)

Identitas menjadi hal yang penting karena merupakan hal original darimana sebuah kesenian berasal. Identitas juga menjadi penting karena terjadi keselarasan dari hal-hal yang ada dan membudaya pada suatu masyarakat.
Estetika dari Dangdut Koplo itu sendiri merupakan hal yang abu-abu, Esetika merupakan hal yang disebut sebagai nilai keindahan. Sumadjo mengatakan bahwa:
Seni yang halus, yang transenden itu tidak bernama, tidak bisa dikatakan. Logika dan estetika berbeda, logika selalu mereruksi estetika dan estetika dimiskinkan oleh logika. Sedang sumbuer pengalaman seni itu ada intuisi manusia, di bawah sadarnya. Seni itu irasional. (2010:33)

Sedangkan artian estetika itu sendiri menurut Kant via Hobart dan Kapferer:
Aestheticics does not merely concern art but rather lies at the heart of the critical understanding of the human profect as a whole. And its about embodied and sensory. Art or what is defined as art engages aesthetic processe but is not their necessary or ultimate expression. The aesthetic is primary. The aesthetics forms are what human beings are already centered within as human beings.(2005:5)

Estetika menurut Eagleton:
Aesthetic is thus always a contradictory, self-undoing sort of project, which in promoting the theoretical value of its object risks emptying it of exactly that specificity or ineffability which was thought to rank among it most precious features. The very language which elevates art offers perpetually to undermine it. (1990:3)

Dapat dimaksudkan bahwa estetika merupakan sesuatu yang intuitif, tetapi sudah terjadi pada habitus manusia sebagai individu. Estetika merupakan sebuah nilai keindahan dari sebuah karya dan ciptaan. Ciptaan yang menggunakan sesuatu yang disebut intuitif, tidak menggunakan logika. Semua berdasarkan kenikmatan akan seni. Pada hal ini dangdut Koplo mempunyai estetika yang berada pada batas identitas dari sebuah masyarakat. Kesenian akan makin kuat ketika ada patronase disitu, dan Koplo mempunyai patronase tersebut. Patronase dari Koplo adalah masyarakat Pantura yang menjamin Koplo terus bermain. Koplo dalam nilai estetikanya merupakan hal yang kuat dimana, ada nilai keindahan pada permainan tabla yang membuat perbedaan pada musik lainnya. Tabla “dang” merupakan sebuah keindahan dimana ini merupakan hal yang lain dan hal yang berbeda, dan efek yang terjadi pada “dang” tersebut adalah nilai keindahan. Nilai enerjik, nilai-nilai yang muncul membuat adanya sebuah lingkaran baru pada kesenian ini. Para penonton dapat menikmati, dan sering kali mereka menikmati sambil memejamkan mata dan mendongak ke arah langit sambil bergoyang-goyang. Terlebih keindahan ini ditopang oleh para penikmat, dan telah membudaya pada masyarakat. Ada perasaan bebas dan lepas dari musik Koplo ini, dimana ketika musik dimainkan, maka perasaan menjadi cair dan semua layaknya orang yang terhipnotis pada musik ini.

Estetika Daerah menjadi Estetika Nasional
            Seperti yang kita ketahui, bahwa Dangdut Koplo berkembang sangat pesat di Jawa Timur dan daerah Pantura. Koplo sangat kuat dan dalam pada masyarakat regional timur dari jawa ini. Kekuatan Koplo sangat ditunjang dengan eksistensi Koplo yang tidak dapat diragukan lagi. Koplo menjelma sebagai ritus masyarakat pada acara-acara siklus hidup dan acara-acara penting bagi masyarakat. Pada perkembangannya Koplo mulai menyebar hingga di Ibukota, Jakarta. Koplo menjadi tamparan besar untuk dangdut itu sendiri, terlebih Koplo menduduki posisi yang terlampau lama diduduki oleh musik Dangdut. Koplo menjadi sangat meledak akhir-akhir ini, di televisi nasional pun Koplo mempunyai jadwal yang rutin. Musik dangdut berubah menjadi musik Koplo. Para pemain dangdut dipukul mundur dan digantikan oleh para pemain Koplo yang notabene sedang naik daun. Eksistensi Koplo di panggung hiburan Indonesia, juga diperkuat dengan para penyanyi-penyanyi yang mempunyai karakter kuat seperti halnya, Inul Daratista, Trio Macan, dan para penyanyi lainnya. Koplo menjadi sangat kuat di Indonesia, sebagai kiblat dangdut baru. Inilah yang dinamakan rasa lokal yang menjadi rasa nasional.
            Membicarakan fenomena Koplo yang dapat dikatakan sebagai rasa lokal menjadi rasa nasional, ada tanda tanya yang besar terjadi disini, adalah ketika estetika dari dangdut koplo itu sendiri yang kuat karena adanya dorongan dari masyarakat, adanya habitus yang kuat dan rasa kebersamaan yang kuat dari masyarakat. Pada hal ini Koplo berkembang di Jawa Timur dan Pantura, Koplo tercipta karena adanya cipta, rasa dan karsa dari masyarakat itu sendiri, atau disebut sebagai etnisitas lokal yang muncul dalam pembuatannya sehingga dalam permainan, sudah barang tentu menjadi hal yang lumrah jika semua masyarakat di daerahnya menyukai musik tersebut. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Banu:

Ya ketika denger dangdut Koplo saya langsung enak joged aja, kaya bener-bener keluar dari sana sendirinya. Koplo tu pas banget kaya udah nyetel di diri.[3]

Adanya hal yang menjadi etnisitas lokal, ada sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak mengalami hal-hal yang dialami masyarakat lokal. Terlebih bahwa estetika pada suatu tempat terkadang tida dapat disamakan dengan estetika di lain tempat, sebagai contoh, estetika dari Tari Bali yang tidak sreg jika disaksikan oleh Tari Jawa Gaya Kraton, dan sebagainya. Estetika terbentuk karena adanya habitus, adanya pengalaman, adanya etnisitas yang terjadi pada suatu masyarakat. Maka itu kesenian sering diartikan sebagai identitas suatu masyarakat. Yang menjadi soal adalah ketika Estetika Lokal menjadi estetika Nasional, apakah hal tersebut benar-benar terjadi. Dalam hal ini, penulis juga melakukan wawancara pada Benny yang merupakan orang asli Medan, (lihat hal 8). Benny terbukti menyukai Koplo karena alunan tablanya yang riang dan enerjik. Dari sini terlihat bahwa estetika juga bisa terjadi karena adanya perasaan nyaman, ada ketergantungan dari determinasi baru. Adanya konstruksi baru terhadap pola pikir individu ketika musik tersebut diterima oleh semua kalangan masyarakat atau yang disebut sebagai go public. Estetika tidak melibatkan etnisitas lokal, tetapi intuisi yang terjadi pada individu.

Kesimpulan
            Dangdut Koplo merupakan musik lokal yang berkembang dari penafsiran para masyarakat dan musisi atas pembacaannya pada musik dangdut. Tetapi tidak disadari bahwa perkembangannya lebih luas daripada dangdut itu sendiri. Permainan Koplo yang lebih enerjik dan riang, dan lebih atraktif terkadang menjadi alasan utama dari Koplo lebih digemari oleh masyarakat. Estetika yang terjadi adalah pada nilai kendang atau tabla yang bernadakan “dang”, dan lebih menjadi pemicu dalam musik tersebut. Estetika muncul karena adanya dorongan dari masyarakat. Tidak disadari bahwa Koplo men-nasional, Koplo melebihi bahkan menjadi kiblat dangdut itu sendiri. Rasa Lokal yang menjadi global membuat Koplo berada dalam posisi abu-abu pada nilai estetika yang ada. Walaupun estetika muncul karena asal muasal mereka berkembang tetapi estetika dapat muncul ketika adanya perasaan nyaman dan cocok terhadap musik tersebut. Yang membedakan sekarang adalah kadar estetika dari individu itu sendiri. Estetika merupakan intuisi, dan intuisi manusia bekerja atas itu, seni.


Daftar Pustaka
A. Lockard, Craig.
1998                Dance of Life, Popular Music and Politics in Southeast Asia. Honolulu:
University of Hawai’I Press.
Budi Suseno, Dharmo.
2005                Dangdut Musik Rakyat. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Eagleton, Terry
            1990                The Ideology of The Aesthetic. Cambridge: Basil Blackwell
Ganap, Victor
            2011                Kerontjong Toegoe. Yogyakarta: Badan Penelitian Isi
Kapferer, Bruce dan Hobart, Angela
            2005                Aesthetic In Performance. New York: Berghagn Books
Koentjaraningrat.
            2007                Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI Press.
N. Weintraub, Andrew.
2010                Dangdut Stories , A Social and Musical History of Indonesia’s Most
Popular Music. New York: Oxford University Press, inc.
Sumardjo, Jakob
            2010                Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press

Wawancara.
1.      Benny. Pada tanggal 4 Januari 2013.
2.      Banu. Pada tanggal 28 Desember 2012
3.      Hendi. Pada tanggal 2 Januari 2013.


[1] 7 unsur kebudayaan yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat yakni: Agama, Bahasa, Mata Pencharian, Teknologi, Kesenian, Sistem Kekerabatan dan Pengetahuan.
[2] Weintraub, n Andrew. 2012:252.
[3] Banu adalah Pria asal Tuban, Jawa Timur.

No comments: