Srawung Seni Segara Gunung
Srawung Seni dan Ketuhanan: Pembahasan hingga Esensi
Candi
Borobudur, 27 April 2012
Michael Haryo Bagus Raditya
Srawung Seni Segara Gunung merupakan
rangkaian acara kesenian yang mengangkat tema Srawung Seni sebagai fokus utama dalam
pembahasan kesenian, dimana Srawung Seni akan dikontekskan dalam berbagai tema,
seperti Arkeologi, Mitos dan Ketuhanan. Rangkaian acara ini dilaksanakan dari
tanggal 20 April hingga 29 April 2012, tetapi dibagi kedalam dua bentuk
kegiatan, dimana pada tanggal 20-24 April diadakan Latihan, Penelitian dan
Retreat, sedangkan tanggal 25-29 April diadakan diskusi dan pertunjukan dari
berbagai seniman, baik domestik maupun mancanegara. Srawung Gunung memang
sangat mengundang perhatian para seniman dan pemerhati seni, karena menyangkut
Srawung sebagai kesenian yang dipadukan dengan nilai-nilai penting lainnya.
Yang dapat dipikirkan adalah, bagaimana posisi Seni dalam nilai-nilai yang
sakral tersebut, dan apakah para pembicara dapat merepresentasikan dan
mempunyai jalan tengah dari hal tersebut tanpa harus menghancurkan nilai yang
satu dengan yang lain.
Pada kesempatan kali ini, saya
beserta teman-teman dari Pasca Seni Pertunjukan UGM dengan ditemani dan
dibimbing oleh Mas Lono Lastoro Simatupang, dapat menyaksikan secara
langsung diskusi dan pertunjukan acara
Srawung Seni tersebut. Tema Srawung Seni pada saat itu adalah Srawung Seni dan
Ketuhanan. Ketuhanan sebagai sebuah konsep telah terkonstruksi dalam pemikiran
kita semua, dimana Tuhan sebagai suatu yang “Esa”, “sakral”, “suci”, “adilihung”,
dan pembahasan ini ingin menguak bagaimana pengaruh seni dan ketuhanan. Apakah
Seni mengatur nilai ketuhanan atau ketuhanan mengatur seni. Diskusi ini dibagi
kedalam dua sesi, sesi pertama diampuh oleh tiga pembicara yang berkecimpung
dalam seni secara akademis, dan pada sesi kedua diampuh oleh empat pembicara
yang berkecimpung dalam seni lebih secara praktik. Setelah diskusi usai, para
penonton akan dimanjakan dengan pertunjukan seni dari berbagai daerah.
Diskusi sesi pertama diawali dengan
presentasi dari Rev. Dr. June Boyce- Tillman, Professor of Applied Music, MBE
dari University of Winchester, Inggris. Beliau mengangkat tema “The
Spirituality of Music” sebagai pemabahasan. Beliau mengatakan bahwa Pengalaman
Musik sebagai Encounter, Encounter ekspresi, nilai, konstruksi dan material.
Ekspresi sebagai nilai pertemuan yaitu dengan konsep other self, Nilai sebagai pertemuan dengan kebudayaan yang lain,
Konstruksi sebagai Ide Abstrak Dunia, dan Material yakni Lingkungan. Nilai
dalam ketuhanan pada hal musik terdapat pada, Religious Praise, seperti halnya pengantian alat musik dalam
sebuah upacara dengan alat musik yang tidak biasa, seperti halnya penggunaan
Jimbe atau Drum pada Musik sakral Agama, padahal di Nigeria menggunakan Drum
sebagai upacara mereka. Musik mempunyai nilai kebersihan dalam spiritual.
Adanya
nilai tradisi pada sebuah alat musik dalam keberlangsungannya pada Agama-agama.
Seperti halnya, yang dijelaskan Tillman, bahwa Drum mempunyai kekuatan tradisi
dalam masyarakat tradisional, mungkin dalam kemudahan penggunaan dan penemuan.
Sedangkan pada agama Kristen, menggunakan Organ dalam pelaksanaannya, adanya
perbedaan sistem nilai yang tertera. Tillman mencontohkan pada seorang peneliti
di Nigeria, pada gereja lokal, beliau menanyakan tentang penggunaan alat musik
pada gereja, beliau ingin menggunakan drum dalam pengiringan keagamaan, tetapi
bagi para kaum kristiani tidak diperbolehkan penggunaan drum. Jadi adanya nilai
sakral pada sebuah kebudayaan berbeda dengan kebudayaan lain. Setiap budaya
mempunyai cara yang berbeda dalam mengartikan penggunaan musik.
Presentasi
selanjutnya dibawakan oleh Prof. Dr. Edi Sedyawati (Universitas Indonesia),
beliau mengangkat tema Ketuhanan dalam Seni Nusantara. Dimulai dengan
beragamnya kebudayaan nusantara, dimana tidak dapat dielakan bahwa satu budaya
menerima kebudayaan lain lewat interaksi. Dalam konsep Seni dan Ketuhanan,
biasanya fungsi tersebut berkembang dalam lingkup “dipersembahkan kepada
tuhan”, namun tidak dipungkiri bahwa fungsi
lainnya adalah untuk hiburan dan senang-senang. Hal tersebut tergantung
dari keaneka ragaman sistem kepercayaan sebuah bangsa. Agama atau kepercayaan,
menjelaskan konsep ketuhanan dalam berbagai cara, serta pemahaman yang timbul
berbeda (bahwa dalam kepercayaan tertentu, memandang tuhan sebagai sesuatu yang
transenden, sedangkan yang lain bersifat imanen). Beliau menegaskan bahwa
hubungan seni dan tuhan terbagi dalam beberapa bentuk, yaitu: seni itu
merupakan persembahan kepada Tuhan, seni itu merupakan sarana untuk mengajukan
permohonan kepada Tuhan, seni itu merupakan sarana untuk merasakan penghayatan
akan sifat ke-Tuhanan, dan seni merupakan representasi simbolik mengenai Tuhan
dengan segala sifatnya.
Presentasi
terkahir pada sesi ini, diampuh oleh seorang Doktor dari Universitas Udayana,
Dr. I Wayan Redig, M.A., beliau mengangkat tema “Hubungan Candi-candi Hindu dan
Budhis di Bali dan Jawa dilihat dari Kebudayaan Masyarakat Bali yang mempunyai
Konsep Segara-Gunung”. Beliau pada pertama perjumpaan mengekemukakan bahwa
setelah Upacara Kremasi, hasil abu akan dibawa ke gunung dan laut. Hal tersebut
dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada tuhan. Konsep Gunung dan Laut
telah mendarah daging di Bali, dimana alam dijadikan tempat berterima kasih.
Sehingga abu hasil ngaben harus dibawa pura yang berada di pantai dan di
gunung. Beliau mengatakan “sukma sarira” yang berarti roh yang tidak terlihat
dan dibawa sebagai ucapan terima kasih. Seperti halnya Pura Besakih, Bayah,
dll, tetapi berbeda dengan Pura Uluwatu, Pura tersebut berdiri di tebing, jadi
mewakili konsep gunung dan laut. Pura sebagai simbol dari gunung Meru.
Di
Bali, Gunung Meru mempunyai arti yang sangat penting, yaitu dalam konteks
kesuburan, oleh sebab itu banyak bangunan yang tinggi ke atas atau berbentuk gunung.
Gunung di Bali sebagai sebuah kekuatan tersendiri, sehingga banyak konsep dalam
kehidupan sehari-hari yang mengarah ke Gunung, seperti halnya posisi tidur,
mengarah ke gunung yang letaknya di tengah pulau Bali, dan posisi rumah pun
seperti itu. Penyembahan pada gunung sudah ada pada masa Prasejarah, dimana
para manusia prasejarah menganggap gunung sebagai tempat tertinggi dan dapat
berkomunikasi dengan Tuhan. Hal ini juga tertera pada Candi, dimana candi
sebagai representasi gunung, dan dahulu candi dikelilingi kolam sebagai
representasi laut. Candi Hindu dan Budha menggunakan konsep tersebut. Konsep
Seagara Gunung mempunyai 2 makna, yaitu Denotatif, sebagai hal yang perlu
disakralkan, dan Konotatif sebagai hal yang menunjukan bahwa kesakralan menjaga
kelestarian bumi. Bersamaan dengan penyimpulan yang diberikan Dr. I Wayang,
maka sesi pertama ditutup, dan diakhiri sesi Tanya jawab. Sesi Tanya jawab
lebih pada pengalaman kesenian dalam keagamaan oleh para peserta, dimana ada
pertanyaan tentang alat musik yang bisa disakralkan, dan kesimpulan yang
didapatkan, semua alat musik dapat sakral, atau barang apapun dapat berbentuk
sakral asal barang tersebut berfungsi dalam konteks yang ada.
Diskusi
sesi kedua, diawali oleh Bhikkhu Dhammasubho Mahathera (Sangha Theravada
Indonesia), beliau mengangkat tema “Ekspresi Seni Berketuhanan dalam pandangan
Agama Budha”. Dari yang saya dengarkan, Bhikkhu lebih menjelaskan bagaimana
perjalanan Agama Budha, dan Borobudur sebagai produk dari kesenian Budha.
Beliau mengemukakan bahwa Budha mengenal tiga bahasa, yaitu bahasa tubuh, lisan
dan simbol. Seperti halnya Candi merupakan bahasa simbolik. Candi tidak hanya
sosok tumpukan batu, tetapi menceritakan buku dari kitab tripitaka. Candi
Borobudur telah terkubur 500th, dan pada tahun 1983, candi Borobudur
diresmikan oleh orde baru. Beliau juga menceritakan bagaimana Borobudur terkena
insiden Bom pada tahun 1984, tetapi pernyataannya lebih menjelaskan kepada hal
alasan mengapa terkena bom, seperti halnya isu sesajen yang kurang dan
sebagainya. Beliau hanya menekankan bahwa Candi Borobudurlah hasil seni dari
Umat Budha.
Penyaji
kedua pada sesi kedua adalah, H. Gunadi Kasnowihardjo (balai Arkeologi
Yogyakarta), beliau mengangkat tema “Wayang Purwa” sebagai pembahasan Seni
dalam Berketuhanan. Sebagai fungsinya, Wayang Purwa lebih bermanfaat bagi
masyarakat apabila ditayangkan sebagai tontonan, tetapi selain sebagai media
hiburan masyarakat, juga terkandung nilai moral pada kesenian tersebut.
Sehingga wayang purwa menjadi media tontonan yang menjadi tuntunan. Wayang
sebagai kajian arkeologis telah tertera pada arca-arca candi, tokoh wayang pada
relief, dan sumber tertulis. Penyelenggaran wayang purwa pada dasarnya bersifat
sakral, tetapi karena perkembangan zaman dan adanya pergantian rezim dan agama
maka posisi wayang purwa menjadi profan. Bila dilihat dari unsure seni, wayang
purwa merupakan gabungan dari berbagai cabang seni, seperti lukis, kriya tanah,
sungging, suara, musik dan gerak.
Penyaji ketiga pada sesi kedua
adalah Dr. Lisa Lavelle (Lund University), beliau mengangkat tema Seni Gerak
Amerta dari Jawa 1986-1997. Suatu improvisasi Seni Gerak di Asia. Seni Gerak
Amerta adalah suatu seni gerak ‘membebaskan tubuh’ yang mengkombinasikan
kebijaksanaan Asia dengan dinamika dunia barat. Seni gerak Amerta berisikan
sebuah teknik akan kesederhanaan dalam upaya menghasilkan suatu pemahaman
pengertian dan memfasilitasi tumbuh kembangnya potensi manusia. Beliau
menyimpulkan bahwa seni gerak Amerta melewati batasan-batasan yang ada dan merupakan
suatu ekspresi unik yang bebas dan berdiri sendiri. Beberapa tempat juga
digunakan sebagai tempat latihan atau praktek yang mempertimbangkan kejernihan
dan kesadaran. Pada keberlangsungannya, seni gerak Amerta di Indonesia lebih
dikenal sebagai Seni Gerak Berbagi.
Penyaji terkahir pada sesi ini
adalah, Muhammad Yusuf Chuldori (Pondok Pesantren Salaf A.P.I. Tegalrejo),
beliau mengangkat tema “Islam, Kebudayaan dan Harmoni Kemanusiaan”. Beliau
mengawali dengan penjelasan “Islam Indonesia”, kebanyakan orang mengatakan
bahwa semua hal yang berbau Arab adalah Islam, adanya kesalahan dalam identitas
Islam. Beliau mencontohkan seperti halnya orang yang menetap di Indonesia untuk
sementara waktu, seperti turis. Tidak mempunyai rasa nasionalisme. Maka itu sebagai
pengantar, Gus Yusuf melanjutkan bahwa Islam di Indonesia berkembang dengan
kesenian yang ada, Islam terintegrasi dengan budaya lokal, lebih dapat
berfungsi daripada sebaliknya. Yang terkenang akan Gus Yusuf, adalah saat dia
menceritakan bahwa ayahanda beliau mempunyai sejumlah uang, satu golongan
mengingkan dibuatnya mesjid, dan golongan lain ingin membeli sebuah gamelan
set, lalu ayahanda menjawab bahwa belilah gamelan, bila masyarakat senang dan
tentram maka akan timbul mesjid kecil di dalam dirinya. Bahwa Seni dan budaya
cukup jelas dalam konteks, yakni menjaga dan mempertahankan harmoni. Sesi
dilanjutkan dengan Tanya jawab, pertanyaan yang muncul dari Mas Lono, yang
mempertanyakan posisi seni dalam Agama terjadi memang sengaja dibentuk atau
terjadi dengan sendirinya. Tetapi sangat disayangkan pertanyaan tidak sampai
maksud karena jawaban dari pembicara lebih pada pengalaman spiritual dan nilai
Agama bukan halnya suatu hal yang dikaji.
Acara terakhir pada hari itu adalah
pertunjukan dari para seniman-seniman. Dengan berlatarkan Borobudur di kala
malam, suasana Magis terbentuk, disertai penampilan para seniman yang sangat
menjiwai. Beberapa deretan seniman yang beraksi adalah Kesenian Lembaga
Pendidikan Seni Nusantara, Dr. June Boyce-Tillman (Celtic Twilight – Hild of
Whibity), Agung Rama, Kelompok Teater Tari Sahita, Wajiwa Bandung Dance, Luluk
Aria, Fathuttahman Said dan S. Pamardi, Ibed Surgana Yuga dan Seni Tuku, dan
Arahmaiani. Dari pertunjukan tersebut, Dr June Boyce berkolaborasi dengan
Suparto, mereka berhasil membuat suasana magis, dengan ritme nyanyian yang
lambat, suara yang tinggi, dan pemilihan aransemen musik yang tepat, membuat
suasana magis, beliau berhasil membuat musik spirituality. Penampilan apik
lainnya adalah dari Luluk Aria, dengan gerakan tubuh yang patah tetapi sangat
natural membuat tarian menjadi sangat baik, Agung Rama dari Bali juga sangat All Out, mereka menampilkan dengan
sangat hebat, dan bobot tarian juga berkelas. Beberapa penampilan lain juga
bertemakan kolaborasi juga sangat kreatif, dimana ada penggabungan kuda lumping
dengan tarian kontemporer.
Srawung Seni Segara Gunung,
merupakan sebuah acara kesenian bertajuk Srawung Seni, yang terlintas pada
pemikiran saya setelah mengikuti rangkaian acara tersebut adalah menambahnya
pengetahuan seni saya, terlebih seni yang bersinggungan dengan Ketuhanan,
bagaimana posisi kedua hal tersebut yang jelas berbeda, tetapi yang saya
dapatkan adalah adanya subjektifitas dari para Agamawan, lebih bersifat
mempercayai atau tidak mempertanyakannya mereka pada hal-hal tersebut, seperti
pada ungkapan salah satu pembicara saat dipertanyakan tentang posisi seni
dengan agama, beliau menjawab tidaklah kita tidak usah mempertanyakan, padahal
hal tersebut merupakan hal yang penting karena, semua dapat dinalar ketika kita
mau berjalan keluar untuk mempertanyakan konteks yang ada. Beberapa saran adalah penyeimbangan
narasumber antara mereka yang pelaku dan mereka yang praktisi atau agamawan,
karena ketika hal tersebut hanya berdiri sendiri-sendiri, pembahasan tidak akan
maju ke depan, tetapi hanya berjalan di satu titik saja, sehingga pembicaraan
akan berputar-putar dan lebih bersifat membosankan.
Beberapa pembicara menurut saya
sudah merepresentasi, karena dapat menjelaskan Kesenian dan Ketuhahanan, walaupun
mereka bergerak pada satu bentuk saja, seperti halnya wayang purwa, atau musik
spiritual. Pengkajian menjadi semakin kaya, karena adanya banyak bentukan yang
ada dalam pembahasan hal Kesenian dan Ketuhanan. Kesenian dan Ketuhahan dalam
unsure kebudyaan sebagai suatu yang terpisah, Kesenian dan Ketuhanan,
sebenarnya merupakan posisi yang sama dalam lingkup kebudayaan, tetapi dalam
keberlangsungannya ada yang harus mengalah dan sebaliknya, ataupun ada kesenian
dan ketuhanan yang terintegrasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah ada
batasan-batasan tertentu pada kesenian dan ketuhahan? karena seperti halnya Ronggengan di Petungkriyono, itu merupakan
kesenian tetapi mulai ditinggalkan karena dilarang oleh Agama, atau Dangdut
Koplo di Kota Islam, adakah batasan yang kuat sehingga, Seni dapat terbagi,
atas seni berdasarkan Agama, atau Seni berdasarkan Ekonomi, dll. Juga adanya
contoh, banyaknya kebudayaan dan kesenian yang harus hilang karena peran agama
yang melarang, Bagaimanakah keberlangsungan Seni dalam Agama, apakah semua
harus bersandar lagi-lagi pada konteks dalam mempertahankannya?
Dalam bentukannya, rangkaian acara
ini sudah baik dalam pelaksanaan. Dimana telah tersusun rapihnya semua
element-element dalam acara, seperti halnya fasilitas yang ada, translater bagi
pembicara asing, dan pembicaraan yang mengasyikan, salut untuk Srawung Seni
Segara Gunung, semoga menjadi acara tetap tahunan, dan lebih tepat memilih tema
dan pembicara sehingga menjadi satu event yang dapat menjadi acuan.
No comments:
Post a Comment