Thursday, February 7, 2013

Srawung Seni Segara Gunung



Srawung Seni Segara Gunung
Srawung Seni dan Ketuhanan: Pembahasan hingga Esensi
Candi Borobudur, 27 April 2012
Michael Haryo Bagus Raditya

            Srawung Seni Segara Gunung merupakan rangkaian acara kesenian yang mengangkat tema Srawung Seni sebagai fokus utama dalam pembahasan kesenian, dimana Srawung Seni akan dikontekskan dalam berbagai tema, seperti Arkeologi, Mitos dan Ketuhanan. Rangkaian acara ini dilaksanakan dari tanggal 20 April hingga 29 April 2012, tetapi dibagi kedalam dua bentuk kegiatan, dimana pada tanggal 20-24 April diadakan Latihan, Penelitian dan Retreat, sedangkan tanggal 25-29 April diadakan diskusi dan pertunjukan dari berbagai seniman, baik domestik maupun mancanegara. Srawung Gunung memang sangat mengundang perhatian para seniman dan pemerhati seni, karena menyangkut Srawung sebagai kesenian yang dipadukan dengan nilai-nilai penting lainnya. Yang dapat dipikirkan adalah, bagaimana posisi Seni dalam nilai-nilai yang sakral tersebut, dan apakah para pembicara dapat merepresentasikan dan mempunyai jalan tengah dari hal tersebut tanpa harus menghancurkan nilai yang satu dengan yang lain.
            Pada kesempatan kali ini, saya beserta teman-teman dari Pasca Seni Pertunjukan UGM dengan ditemani dan dibimbing oleh Mas Lono Lastoro Simatupang, dapat menyaksikan secara langsung  diskusi dan pertunjukan acara Srawung Seni tersebut. Tema Srawung Seni pada saat itu adalah Srawung Seni dan Ketuhanan. Ketuhanan sebagai sebuah konsep telah terkonstruksi dalam pemikiran kita semua, dimana Tuhan sebagai suatu yang “Esa”, “sakral”, “suci”, “adilihung”, dan pembahasan ini ingin menguak bagaimana pengaruh seni dan ketuhanan. Apakah Seni mengatur nilai ketuhanan atau ketuhanan mengatur seni. Diskusi ini dibagi kedalam dua sesi, sesi pertama diampuh oleh tiga pembicara yang berkecimpung dalam seni secara akademis, dan pada sesi kedua diampuh oleh empat pembicara yang berkecimpung dalam seni lebih secara praktik. Setelah diskusi usai, para penonton akan dimanjakan dengan pertunjukan seni dari berbagai daerah.
            Diskusi sesi pertama diawali dengan presentasi dari Rev. Dr. June Boyce- Tillman, Professor of Applied Music, MBE dari University of Winchester, Inggris. Beliau mengangkat tema “The Spirituality of Music” sebagai pemabahasan. Beliau mengatakan bahwa Pengalaman Musik sebagai Encounter, Encounter ekspresi, nilai, konstruksi dan material. Ekspresi sebagai nilai pertemuan yaitu dengan konsep other self, Nilai sebagai pertemuan dengan kebudayaan yang lain, Konstruksi sebagai Ide Abstrak Dunia, dan Material yakni Lingkungan. Nilai dalam ketuhanan pada hal musik terdapat pada, Religious Praise, seperti halnya pengantian alat musik dalam sebuah upacara dengan alat musik yang tidak biasa, seperti halnya penggunaan Jimbe atau Drum pada Musik sakral Agama, padahal di Nigeria menggunakan Drum sebagai upacara mereka. Musik mempunyai nilai kebersihan dalam spiritual.
Adanya nilai tradisi pada sebuah alat musik dalam keberlangsungannya pada Agama-agama. Seperti halnya, yang dijelaskan Tillman, bahwa Drum mempunyai kekuatan tradisi dalam masyarakat tradisional, mungkin dalam kemudahan penggunaan dan penemuan. Sedangkan pada agama Kristen, menggunakan Organ dalam pelaksanaannya, adanya perbedaan sistem nilai yang tertera. Tillman mencontohkan pada seorang peneliti di Nigeria, pada gereja lokal, beliau menanyakan tentang penggunaan alat musik pada gereja, beliau ingin menggunakan drum dalam pengiringan keagamaan, tetapi bagi para kaum kristiani tidak diperbolehkan penggunaan drum. Jadi adanya nilai sakral pada sebuah kebudayaan berbeda dengan kebudayaan lain. Setiap budaya mempunyai cara yang berbeda dalam mengartikan penggunaan musik.
Presentasi selanjutnya dibawakan oleh Prof. Dr. Edi Sedyawati (Universitas Indonesia), beliau mengangkat tema Ketuhanan dalam Seni Nusantara. Dimulai dengan beragamnya kebudayaan nusantara, dimana tidak dapat dielakan bahwa satu budaya menerima kebudayaan lain lewat interaksi. Dalam konsep Seni dan Ketuhanan, biasanya fungsi tersebut berkembang dalam lingkup “dipersembahkan kepada tuhan”, namun tidak dipungkiri bahwa fungsi  lainnya adalah untuk hiburan dan senang-senang. Hal tersebut tergantung dari keaneka ragaman sistem kepercayaan sebuah bangsa. Agama atau kepercayaan, menjelaskan konsep ketuhanan dalam berbagai cara, serta pemahaman yang timbul berbeda (bahwa dalam kepercayaan tertentu, memandang tuhan sebagai sesuatu yang transenden, sedangkan yang lain bersifat imanen). Beliau menegaskan bahwa hubungan seni dan tuhan terbagi dalam beberapa bentuk, yaitu: seni itu merupakan persembahan kepada Tuhan, seni itu merupakan sarana untuk mengajukan permohonan kepada Tuhan, seni itu merupakan sarana untuk merasakan penghayatan akan sifat ke-Tuhanan, dan seni merupakan representasi simbolik mengenai Tuhan dengan segala sifatnya.
Presentasi terkahir pada sesi ini, diampuh oleh seorang Doktor dari Universitas Udayana, Dr. I Wayan Redig, M.A., beliau mengangkat tema “Hubungan Candi-candi Hindu dan Budhis di Bali dan Jawa dilihat dari Kebudayaan Masyarakat Bali yang mempunyai Konsep Segara-Gunung”. Beliau pada pertama perjumpaan mengekemukakan bahwa setelah Upacara Kremasi, hasil abu akan dibawa ke gunung dan laut. Hal tersebut dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih kepada tuhan. Konsep Gunung dan Laut telah mendarah daging di Bali, dimana alam dijadikan tempat berterima kasih. Sehingga abu hasil ngaben harus dibawa pura yang berada di pantai dan di gunung. Beliau mengatakan “sukma sarira” yang berarti roh yang tidak terlihat dan dibawa sebagai ucapan terima kasih. Seperti halnya Pura Besakih, Bayah, dll, tetapi berbeda dengan Pura Uluwatu, Pura tersebut berdiri di tebing, jadi mewakili konsep gunung dan laut. Pura sebagai simbol dari gunung Meru.
Di Bali, Gunung Meru mempunyai arti yang sangat penting, yaitu dalam konteks kesuburan, oleh sebab itu banyak bangunan yang tinggi ke atas atau berbentuk gunung. Gunung di Bali sebagai sebuah kekuatan tersendiri, sehingga banyak konsep dalam kehidupan sehari-hari yang mengarah ke Gunung, seperti halnya posisi tidur, mengarah ke gunung yang letaknya di tengah pulau Bali, dan posisi rumah pun seperti itu. Penyembahan pada gunung sudah ada pada masa Prasejarah, dimana para manusia prasejarah menganggap gunung sebagai tempat tertinggi dan dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Hal ini juga tertera pada Candi, dimana candi sebagai representasi gunung, dan dahulu candi dikelilingi kolam sebagai representasi laut. Candi Hindu dan Budha menggunakan konsep tersebut. Konsep Seagara Gunung mempunyai 2 makna, yaitu Denotatif, sebagai hal yang perlu disakralkan, dan Konotatif sebagai hal yang menunjukan bahwa kesakralan menjaga kelestarian bumi. Bersamaan dengan penyimpulan yang diberikan Dr. I Wayang, maka sesi pertama ditutup, dan diakhiri sesi Tanya jawab. Sesi Tanya jawab lebih pada pengalaman kesenian dalam keagamaan oleh para peserta, dimana ada pertanyaan tentang alat musik yang bisa disakralkan, dan kesimpulan yang didapatkan, semua alat musik dapat sakral, atau barang apapun dapat berbentuk sakral asal barang tersebut berfungsi dalam konteks yang ada.
Diskusi sesi kedua, diawali oleh Bhikkhu Dhammasubho Mahathera (Sangha Theravada Indonesia), beliau mengangkat tema “Ekspresi Seni Berketuhanan dalam pandangan Agama Budha”. Dari yang saya dengarkan, Bhikkhu lebih menjelaskan bagaimana perjalanan Agama Budha, dan Borobudur sebagai produk dari kesenian Budha. Beliau mengemukakan bahwa Budha mengenal tiga bahasa, yaitu bahasa tubuh, lisan dan simbol. Seperti halnya Candi merupakan bahasa simbolik. Candi tidak hanya sosok tumpukan batu, tetapi menceritakan buku dari kitab tripitaka. Candi Borobudur telah terkubur 500th, dan pada tahun 1983, candi Borobudur diresmikan oleh orde baru. Beliau juga menceritakan bagaimana Borobudur terkena insiden Bom pada tahun 1984, tetapi pernyataannya lebih menjelaskan kepada hal alasan mengapa terkena bom, seperti halnya isu sesajen yang kurang dan sebagainya. Beliau hanya menekankan bahwa Candi Borobudurlah hasil seni dari Umat Budha.
Penyaji kedua pada sesi kedua adalah, H. Gunadi Kasnowihardjo (balai Arkeologi Yogyakarta), beliau mengangkat tema “Wayang Purwa” sebagai pembahasan Seni dalam Berketuhanan. Sebagai fungsinya, Wayang Purwa lebih bermanfaat bagi masyarakat apabila ditayangkan sebagai tontonan, tetapi selain sebagai media hiburan masyarakat, juga terkandung nilai moral pada kesenian tersebut. Sehingga wayang purwa menjadi media tontonan yang menjadi tuntunan. Wayang sebagai kajian arkeologis telah tertera pada arca-arca candi, tokoh wayang pada relief, dan sumber tertulis. Penyelenggaran wayang purwa pada dasarnya bersifat sakral, tetapi karena perkembangan zaman dan adanya pergantian rezim dan agama maka posisi wayang purwa menjadi profan. Bila dilihat dari unsure seni, wayang purwa merupakan gabungan dari berbagai cabang seni, seperti lukis, kriya tanah, sungging, suara, musik dan gerak.
            Penyaji ketiga pada sesi kedua adalah Dr. Lisa Lavelle (Lund University), beliau mengangkat tema Seni Gerak Amerta dari Jawa 1986-1997. Suatu improvisasi Seni Gerak di Asia. Seni Gerak Amerta adalah suatu seni gerak ‘membebaskan tubuh’ yang mengkombinasikan kebijaksanaan Asia dengan dinamika dunia barat. Seni gerak Amerta berisikan sebuah teknik akan kesederhanaan dalam upaya menghasilkan suatu pemahaman pengertian dan memfasilitasi tumbuh kembangnya potensi manusia. Beliau menyimpulkan bahwa seni gerak Amerta melewati batasan-batasan yang ada dan merupakan suatu ekspresi unik yang bebas dan berdiri sendiri. Beberapa tempat juga digunakan sebagai tempat latihan atau praktek yang mempertimbangkan kejernihan dan kesadaran. Pada keberlangsungannya, seni gerak Amerta di Indonesia lebih dikenal sebagai Seni Gerak Berbagi.
            Penyaji terkahir pada sesi ini adalah, Muhammad Yusuf Chuldori (Pondok Pesantren Salaf A.P.I. Tegalrejo), beliau mengangkat tema “Islam, Kebudayaan dan Harmoni Kemanusiaan”. Beliau mengawali dengan penjelasan “Islam Indonesia”, kebanyakan orang mengatakan bahwa semua hal yang berbau Arab adalah Islam, adanya kesalahan dalam identitas Islam. Beliau mencontohkan seperti halnya orang yang menetap di Indonesia untuk sementara waktu, seperti turis. Tidak mempunyai rasa nasionalisme. Maka itu sebagai pengantar, Gus Yusuf melanjutkan bahwa Islam di Indonesia berkembang dengan kesenian yang ada, Islam terintegrasi dengan budaya lokal, lebih dapat berfungsi daripada sebaliknya. Yang terkenang akan Gus Yusuf, adalah saat dia menceritakan bahwa ayahanda beliau mempunyai sejumlah uang, satu golongan mengingkan dibuatnya mesjid, dan golongan lain ingin membeli sebuah gamelan set, lalu ayahanda menjawab bahwa belilah gamelan, bila masyarakat senang dan tentram maka akan timbul mesjid kecil di dalam dirinya. Bahwa Seni dan budaya cukup jelas dalam konteks, yakni menjaga dan mempertahankan harmoni. Sesi dilanjutkan dengan Tanya jawab, pertanyaan yang muncul dari Mas Lono, yang mempertanyakan posisi seni dalam Agama terjadi memang sengaja dibentuk atau terjadi dengan sendirinya. Tetapi sangat disayangkan pertanyaan tidak sampai maksud karena jawaban dari pembicara lebih pada pengalaman spiritual dan nilai Agama bukan halnya suatu hal yang dikaji.
            Acara terakhir pada hari itu adalah pertunjukan dari para seniman-seniman. Dengan berlatarkan Borobudur di kala malam, suasana Magis terbentuk, disertai penampilan para seniman yang sangat menjiwai. Beberapa deretan seniman yang beraksi adalah Kesenian Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, Dr. June Boyce-Tillman (Celtic Twilight – Hild of Whibity), Agung Rama, Kelompok Teater Tari Sahita, Wajiwa Bandung Dance, Luluk Aria, Fathuttahman Said dan S. Pamardi, Ibed Surgana Yuga dan Seni Tuku, dan Arahmaiani. Dari pertunjukan tersebut, Dr June Boyce berkolaborasi dengan Suparto, mereka berhasil membuat suasana magis, dengan ritme nyanyian yang lambat, suara yang tinggi, dan pemilihan aransemen musik yang tepat, membuat suasana magis, beliau berhasil membuat musik spirituality. Penampilan apik lainnya adalah dari Luluk Aria, dengan gerakan tubuh yang patah tetapi sangat natural membuat tarian menjadi sangat baik, Agung Rama dari Bali juga sangat All Out, mereka menampilkan dengan sangat hebat, dan bobot tarian juga berkelas. Beberapa penampilan lain juga bertemakan kolaborasi juga sangat kreatif, dimana ada penggabungan kuda lumping dengan tarian kontemporer.
            Srawung Seni Segara Gunung, merupakan sebuah acara kesenian bertajuk Srawung Seni, yang terlintas pada pemikiran saya setelah mengikuti rangkaian acara tersebut adalah menambahnya pengetahuan seni saya, terlebih seni yang bersinggungan dengan Ketuhanan, bagaimana posisi kedua hal tersebut yang jelas berbeda, tetapi yang saya dapatkan adalah adanya subjektifitas dari para Agamawan, lebih bersifat mempercayai atau tidak mempertanyakannya mereka pada hal-hal tersebut, seperti pada ungkapan salah satu pembicara saat dipertanyakan tentang posisi seni dengan agama, beliau menjawab tidaklah kita tidak usah mempertanyakan, padahal hal tersebut merupakan hal yang penting karena, semua dapat dinalar ketika kita mau berjalan keluar untuk mempertanyakan konteks yang ada.  Beberapa saran adalah penyeimbangan narasumber antara mereka yang pelaku dan mereka yang praktisi atau agamawan, karena ketika hal tersebut hanya berdiri sendiri-sendiri, pembahasan tidak akan maju ke depan, tetapi hanya berjalan di satu titik saja, sehingga pembicaraan akan berputar-putar dan lebih bersifat membosankan.
            Beberapa pembicara menurut saya sudah merepresentasi, karena dapat menjelaskan Kesenian dan Ketuhahanan, walaupun mereka bergerak pada satu bentuk saja, seperti halnya wayang purwa, atau musik spiritual. Pengkajian menjadi semakin kaya, karena adanya banyak bentukan yang ada dalam pembahasan hal Kesenian dan Ketuhanan. Kesenian dan Ketuhahan dalam unsure kebudyaan sebagai suatu yang terpisah, Kesenian dan Ketuhanan, sebenarnya merupakan posisi yang sama dalam lingkup kebudayaan, tetapi dalam keberlangsungannya ada yang harus mengalah dan sebaliknya, ataupun ada kesenian dan ketuhanan yang terintegrasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah ada batasan-batasan tertentu pada kesenian dan ketuhahan? karena seperti halnya Ronggengan di Petungkriyono, itu merupakan kesenian tetapi mulai ditinggalkan karena dilarang oleh Agama, atau Dangdut Koplo di Kota Islam, adakah batasan yang kuat sehingga, Seni dapat terbagi, atas seni berdasarkan Agama, atau Seni berdasarkan Ekonomi, dll. Juga adanya contoh, banyaknya kebudayaan dan kesenian yang harus hilang karena peran agama yang melarang, Bagaimanakah keberlangsungan Seni dalam Agama, apakah semua harus bersandar lagi-lagi pada konteks dalam mempertahankannya?
            Dalam bentukannya, rangkaian acara ini sudah baik dalam pelaksanaan. Dimana telah tersusun rapihnya semua element-element dalam acara, seperti halnya fasilitas yang ada, translater bagi pembicara asing, dan pembicaraan yang mengasyikan, salut untuk Srawung Seni Segara Gunung, semoga menjadi acara tetap tahunan, dan lebih tepat memilih tema dan pembicara sehingga menjadi satu event yang dapat menjadi acuan.

No comments: