Tema : Pendidikan
MHBR
MHBR
Potret
Pendidikan Nek Sawak
Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal utama dalam
sebuah kehidupan, dimana pendidikan akan sangat berperan dalam kehidupan
manusia. Pendidikan itu sendiri merupakan penanaman pengetahuan, keterampilan
dan sikap pada masing-masing generasi dengan menggunakan pranata-pranata,
seperti sekolah- sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut (Imran
Manan, 1989:9). Sekolah sebagai fasilitas untuk mendapatkan pendidikan harus
dapat didistribusikan ke setiap masyarakat. Setiap manusia pun pada dasarnya
berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama, pendidikan diperuntukan untuk
segenap lapisan masyarakat. Hal tersebut lah yang mendorong pendidikan harus
ditegakan, pendidikan sebagai fasilitas dan setiap manusia mempunyai hak andil
yang sama dalam pendidikan. Hak dalam pendidikan pun termasuk dalam nilai-nilai
UUD 1945 serta amandemennya. Indonesia mempunyai dasar negara yaitu UUD 1945
tersebut, maka itu hak dalam pendidikan seharunya telah merata di segala
penjuru Indonesia.
Negara dituntut dan merupakan sebuah
kewajiban untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dengan cara menyediakan
pendidikan untuk masyarakat. Pendidikan
merupakan kontrol bagi masyarakat dalam kehidupannya. Menurut L. White,
Pendidikan merupakan alat yang digunakan masyarakat dalam melaksanakan
kegiatannya sendiri, dalam mengejar tujuannya. Demikianlah, selama masa damai,
masyarakat dididik untuk damai, tapi bila bangsa sedang berperang, masyarakat
mendidik anggotanya untuk berperang.. Bukan masyarakat yang mengontrol
kebudyaan melalui pendidikan, malah sebaliknya, pendidikan, formal dan informal
merupakan sebuah proses yang membawa tiap-tiap generasi baru ke bawah
pengontrolan sistem budaya (Leslie A. White. 1955:345). Pendidikan sangat
berperan penuh dalam kehidupan, mencerdaskan bangsa merupakan kontrol dari
sebuah negara kepada masyarakatnya. Dengan masyarakat yang berpendidikan negara
akan lebih terkontrol.
Pendidikan merupakan jalan tengah
terbaik dalam memperbaiki kehidupan, dengan pendidikan semua orang bisa
melakukan apa pun. pendidikan serta merta membantu masyarakat menjadii pribadi
yang lebih baik dan terkontrol. Menurut Komisi Unesco[1], pendidikan
sangat memainkan peranan fundalmental dalam pembangunan pribadi dan sosial
(Jacques Et Al Delors.1999:13). Pendidikan memang merupakan sistem yang akan
membangun pribadi dari yang dididiknya dan sosial akan terus berubah karena
faktor pendidikan tersebut. Pendidikan merupakan nilai yang lebih mahal
dibandingkan dari nilai apa pun, karena pendidikan dapat memberikan sebuah
tantanan baru yan lebih baik dalam kehidupan. Pendidikan merupakan jembatan
untuk kearah yang lebih baik.
Bagi Harold Pendidikan sangat berarti
untuk masa depan, karena pendidikan merupakan suatu proses perbaikan
pengetahuan dan keterampilan serta suatu alat istimewa untuk pembangunan
pribadi serta hubungan-hubungan antar individu, kelompok- kelopmpok dan bangsa-
bangsa. Secara potensial pendidikan dapat memberikan masa depan yang baik,
karena menurut Harold, Pendidikan merupakan cara yang mapan untuk
memperkenalkan pelajar kepada keputusan sosial yang timbul, pendidikan dapat
dipakai untuk menganggulangi masalah-masalah tertentu, pendidikan
memperlihatkan kemampuan untuk menerima dan mengimplementasikan
alternative-alternatif baru dan pendidikan merupakan cara yang terbaik yang
dapat ditempuh masyarakat untuk membimbing perkembangan masnusia sehingga pelajra
tersebut terdorong untuk mermberikan kontribusi kebudayaan pada hari esok (
Harold G Shane.1984:40). Selain pendidikan menjadi jembatan untuk diri tetapi
dalam lingkup yang besar bila masyarakat sudah berpendidikan maka akan
menjembatani negara kearah yang lebih baik lagi. Pendidikan akan mengantarkan
manusia ke tahap manusia yang lebih beradab, dengan pendidikan masyarkat akan
dapat menyelsaikan sebuah permasalahan dengan lebih baik.
Bila kita melihat ke beberapa tahun
yang lalu, pendidikan masih merupakan sebuah PR (pekerjaan rumah) tersendiri
bagi negara, pendidikan pada masa itu bukanlah hal yang utama yang diperhatikan
pemerintah, Negara tidak menyadari bahwa peran pendidikan yang sangat penting. Tetapi
setelah banyaknya kritik dan pergerakan yang memperjuangkan pendidikan di
Indonesia sebagai suatu asset yang berguna, maka pendidikan berangsur-angsur
membaik. Pendidikan kini makin diperhitungkan untuk memperbaiki nasib bangsa.
Segala hal di dunia kontemporer ini sering dikaitkan dengan pendidikan, seperti
teknologi, dll. Pendidikan merupakan asset jangka panjang yang dipunya sebuah
negara untuk para generasi penerus bangsa.
Pendidikan juga merupakan sebagai
cerminan sebuah negara dalam perkembangannya. Sekarang ini perbandingan sebuah
negara dapat dikatakan maju atau berkembang dapat dikatikan lagi kepada
pendidikan. Bagi mereka negara yang mempunyai pendidikan yang baik yang dapat
mencerdasakan masyarakatnya maka akan berkembang dan maju, tetapi bila
sebaliknya maka negara akan selalu tertinggal. Pada umumnya hal yang paling
mendasari untuk membangun pendidikan adalah kemauan dari negara itu sendiri,
ketika sebuah negara sudah berkeinginan dan berkonsentrasi dalam membangun
pendidikan maka pendidikan dapat bangun dan dapat diunggulkan. Indonesia dalam
tahap ini sedang mengalami keterlambatan untuk bangun, tetapi sekarang ini
Indonesia telah mengalami kesadaran untuk pendidikan, hal tersebut didukung
dengan banyaknya program pemerintah dalam mempertanggung jawabkan para generasi
penerus bangsa untuk tetap dalam jalur pendidikan.
Pendidikan bukan merupakan perkara
yang kecil, karena pendidikan bukan hal yang simpel, pendidikan merupakan
sesuatu perkara yang beruntun. Pendidikan bukan hanya membicarakan tentang
pendidikan itu sendiri tetapi bagaimana untuk memperbaiki pendidikan itu
sendiri, dan pendidikan berhubungan dengan fasilitas dan kualitas dari
pendidikan itu sendiri, perombakan program banyak dilakukan, seperti program
pendidikan yang telah diajukan serta diberlakukan oleh Departemen Pendidikan
Nasional tentang Progtam belajar 9 tahun yang telah diberlangsungkan. Serta
program SD yang telah disiarkan ke segala penjuru sekolah di Indonesia.
Potrait dari pendidikan Indonesia
dapat dilihat dari beberapa film buatan Indonesia, seperti Laskar Pelangi,
Denias, kedua film yang berdurasi 2 jam hingga 3 jam tersebut menceritakan
bagaimana pendidikan di Indonesia di masa lampau, kurangnya pendidikan yang
pantas untuk mereka yang tidak mempunyai biaya, sedangkan pendidikan yang baik
diperuntukan untuk mereka yang mempunyai uang. Adanya kesenjangan pendidikan
antara si kaya dan si miskin sangat terjadi di awal perkembangan pendidikan.
Hal tersebut juga sudah terwujud ketika masa penjajahan dimana masyarakat biasa
tidak dapat bersekolah dengan mereka para kaum ningrat, kaum kaya. Telah
terjadi kesenjangan yang terus diberlakukan. Maka itu sekarang ini pendidikan
memulai untuk memulihkan itu semua walaupun hal tersebut belum 100% dapat
diwujudkan.
Pendidikan berhubungan dengan
fasilitas dan kualitas dari pendidikan itu sendiri, kualitas pendidikan harus
dapat diandalkan, serta fasilitas dari pendidikan itu sendiri juga harus
membantu pendidikan untuk tetap berkualitas, karena mau tidak mau kedua hal
tersebut sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Fasilitas
berhubungan dengan semua hal yang membantu keberlangsungan pendidikan itu
tersebut, seperti buku, meja, peralatan sekolah, bila sudah adanya fasilitas
yang memadai niscaya kualitas sang pendidikan berangsur-angsur membaik. Selain
fasilitas, peran yang paling penting adalah peran dari guru, guru yang
menentukan bagaimana kualitas dan fasilitas digunakan sebaik- baiknya. Peran
guru merupakan peran paling utama dalam pendidikan. Guru yang berkualitas atau
sedang mengusahakan kualitas tersebut akan membuat pendidikan berkualitas.
Selain guru yang paling terpenting adalah murid, bila murid mempunyai kemauan
yang dalam maka pendidikan akan semakin baik. Bila adanya kemauan maka akan ada
jalan, bila ada kemauan untuk belajar maka akan ada jalan untuk pendidikan yang
baik.
Masalah pendidikan di Indonesia
bukah hal yang kecil, pendidikan di Indonesia merupakan hal yang rumit. Masalah
pendidikan tersebar di seluruh penjuru wilayah di Indonesia, mungkin bila
dikatakan untuk mereka yang berada di kota besar atau ibukota masalah
pendidikan sudah bisa teratasi, dapat kita ambil contoh Jakarta, pendidikan di
Jakarta sudah dapat dikatakan baik, karena semua sudah terlengkapi, Ibukota
mempunyai porsi yang lebih besar dalam mendapatkan segala hal. Hal tersebut
juga terjadi di beberapa kota-kota besar lainnya, Kota besar biasanya mempunyai
porsi yang besar juga dalam pembangunan, dan pembangunan pendidikan juga
mempunyai porsi yang besar. Tetapi bagi mereka yang berada di kota kecil dan
kurangnya pembangunan, pendidikan tidaklah baik, pendidikan masih sangat kurang
untuk daerah-daerah tersebut.
Sebagian orang memang menilai adanya
ketidakmerataan pembangunan, ketidak merataan pendidikan di Indonesia, kota
kecil hanya menikmati porsi yang kecil, daerah kecil hanya memperolah porsi
yang kecil juga. Makin krtisinya pendidikan di kota kecil disebabkan hal
krusial tersebut. Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa sistem pendidikan tak
ayal membawa konsekuensi logis, yaitu bahwa kualitas atau mutu serta
keberlangsungan pendidikan di Indonesia sangat bergantung pada kondisi
geografis, kekayaan budaya local, kesiapan dan kualitas sumber daya manusia
serta kesiapan dana daerah atau dana alokasi umum (Aulia Rewa Bastian.2002:XV).
Itulah yang terkadang dilupakan masyarakat, dimana kurangnya sentuhan
pendidikan karena semata-mata keterbatasan dari negara juga.
Dalam buku Kalimantan Membangun Alam
dan Kebudayaan karya Tjilik Riwut, pendidikan di Kalimantan selalu
dibelakangkan, menurut istilah orang-orang tua bahari: “Kalimantan te Baya
Ingkes Eka Oloh Are Malauk”, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah
Kalimantan itu cuma disimpan untuk tempat orang mencari ikan (Bahasa Banjar).
Dari dahulu Kalimantan memang dilupakan karena sekolah pada masa itu pun
sedikit sekali, hal itu sudah terjadi sejak masa kolonial. Setelah Indonesia
merdeka, pendidikan mulai masuk dan menyebar, tetapi masih saja daeran pelosok
masih kesulitan untuk mengakses pendidikan ( Tjilik Riwut, 2007:50). Permasalahan
centralisasi pendidikan merebak di seluruh penjuru Indonesia, bagi mereka yang
berada di kota besar memang sangat beruntunglah mereka, tetapi bagaimana bagi
para mereka yang berada di daerah terpencil. Maka itu dalam pembahasan ini saya
ingin membahas tentang bagaimana pendidikan di daerah terpencil dan bukan di
daerah jawa.
Penelitian tentang pendidikan ini
dilakukan di Kalimantan Timur. Penelitain ini dilakukan berbarengan dengan
program TPL untuk angkatan 2008 yang berkerja sama dengan beberapa pihak,
seperti Canada dan Belanda. Sekitar 60 orang mahasiswa yang terdiri dari S1
Antropologi, S2 Antropologi, S1 Ekonomi, S1 Sosial politik, beberapa mahasiswa
Canada dan mahasiswa Belanda. Penelitian yang dilakukan berhubungan dengan para
masyarakat kelapa sawit. Penelitian ini berlangsung dari tanggal 1 Juli hingga
31 Juli 2010. Sekitar 1 bulan kurang kami harus melakukan penelitian
berdasarkan tema-tema yang diangkat. Kami yang berjumlah 60 orang dibagi
kebeberapa tempat dan 1 tempat beranggotakan 3 orang saja. Kami yang ber 3
orang disemua tempat melakukan penelitian sesuai dengan daerah yang dihadapi
masing-masing. Daerah penelitian ini berada di Kecamatan Meliau, Kabupaten
Sanggau, Kalimantan Barat. Tempat penelitian dilakukan di sebuah dusun-dusun
terpencil di sepanjang sungai Buayan dan beberapa tempat sekitarnya.
Saya bersama dengan seorang
mahasiswa fisipol, dan mahasiswa yang berasal dari Canada bertempatkan di
daerah Nek Sawak, sebuah daerah di kelurahan Pampang Dua. Daerah tersebut
bukanlah daerah yang kecil, daerah tersebut sangat luas terdiri dari 240 KK
yang dipisahkan dengan sebuah aliran sungai. Daerah Nek sawak merupakan daerah
yang besar, bila ditelaah lebih lanjut, daerah tersebut sudah tidak pantas lagi
disebut menjadi sebuah dusun tetapi menjadi sebuah desa. Nek sawak dalam bidang
ekonomi masih mengandalkan 2 aspek penting yaitu Kelapa sawit dan karet. Kedua
hal tersebut yang masih menguatkan ekonomi untuk para keluarga di Nek Sawak.
Nek Sawak merupakan masyarakat yang bersuku Dayak Desa dan Kancing, dan Dayak
tersebut termasuk Dayak Klemantan atau Dayak Darat (Tjilik Riwut, 2007:271).
Di daerah Nek Sawak inilah saya
melakukan penelitian dan mencoba menguak tentang pendidikan di daerah Nek Sawak
tersebut. Dalam penelitian ini tema yang saya ajukan adalah tentang pendidikan,
tetapi tema yang lebih mendalam adalah Pendidikan bagi kelas bawah, pendidikan
untuk mereka yang mempuyai sumber daya terbatas. Pertanyaan yang paling
mendasar untuk pendidikan di Nek Sawak adalah, Bagaimana posisi pendidikan
sebagai investasi manusia jangka panjang di dalam skala prioritas penggunaan
sumber daya ekonomi yang terbatas di kalangan petani lapis bawah Nek Sawah.
Pembahasan
Untuk membahas pertanyaan dan
mengungkap sisi pendidikan Nek Sawak maka saya akan mulai mencoba menjabarkan
nilai-nilai yang dapat menjelaskan pendidikan di Nek Sawak. Pada dasarnya fasilitas
pendidikan yang ada di Nek Sawak hanya hingga tingkat SD saja, maka itu saya
akan mengupas dahulu tentang fasilitas yang tersedia yaitu SD Negeri 11 Nek
Sawak.
SDN 11 Nek Sawak, itulah nama dari
SD Negeri yang terletak di daerah Nek Sawak. SDN 11 Nek Sawak terletak bukan di
Nek Sawak, tetapi terletak di Landau, daerah di sebrang Nek Sawak[2].
SDN 11 Nek Sawak yang terletak di Landau, hal tersebut terjadi dikarenakan
sudah tidak adanya lahan kosong atau lahan yang dapat digunakan untuk menjadi
sebuah SD di Nek Sawak, maka itu daerah terdekat yang masih mempunyai lahan
kosong adalah Landau, tetapi penggunaan nama tetap menggunakan nama Nek Sawak.
Pembuatan SD merupakan usaha masyarakat untuk memperjuangkan pendidikan
terhadap pemerintah, maka itu Nek Sawak mendapatkan sebuah SD, dan pengesahan
nama adalah SDN 11 Nek Sawak. SDN 11 Nek Sawak bukanlah SD yang baru dibuat,
SDN 11 Nek Sawak telah ada sejak Bp. Aden (Kadus) lahir, Bp. Aden lahir pada
tahun 1972, dan dia juga bersekolah di SDN 11 Nek Sawak, berarti dapat
disimpulkan bahwa SDN 11 Nek Sawak telah berdiri sejak
tahun 1977-1978.
Hal tersebut juga didukung oleh perkataan Ibu Kepala Sekolah yang menjabat
sekarang ini, bahwa sekolah telah ada sejak tahun 1977- 1978.
Sekarang ini SDN 11 Nek Sawak
dipimpin oleh seorang Ibu Kepala Sekolah, Ibu Kepala
sekolah tersebut bernama Ibu Dominika, tetapi Ibu Dominika lebih populer dengan
panggilan Ibu Doyek. Ibu Doyek telah mengabdikan dirinya untuk mengajar SDN 11
Nek Sawak sejak 26 tahun yang lalu. Dapat dilihat bahwa dia sudah mulai
mengajar sejak dahulu. Sewaktu dia pertama mengajar dia tidaklah langsung
menjadi kepala sekolah, dia hanya menjadi seorang guru biasa, dimana pada saat
itu hanya tersedia 3 guru dan 1 kepala sekolah. Tetapi pada saat itu sang
kepala sekolah sering tidak hadir dalam mengajar dan masa sekolah, itu semua
dikarenakan kepala sekolah pada saat itu bukanlah orang asli Nek Sawak atau
Landau, tetapi orang dari luar. Seiring dengan waktu, semua pun berubah,
pengajar yang hanya berjumlah 3 orang saja telah menjadi 6 orang.
Enam pengajar
tersebut lah yang sekarang selalu datang untuk mengajar siswa SDN 11 Nek Sawak.
Jumlah dari 6 pengajar tersebut termasuk seorang kepala sekolah, dan Ibu Doyek
lah yang dahulu hanya seorang guru menjadi seorang kepala sekolah. Guru di SDN
11 berjumlah 6 orang, PNS berjumlah 3 orang, guru titipan berjumlah 1 orang,
dan ditambah 2 guru honorer. Keenam guru tersebut tidaklah berasal dari luar
daerah tersebut, semua tinggal di daerah Nek Sawak, Landau, Tanjung Iman. Sehingga
guru akan selalu masuk untuk mendidik anak-anak muridnya. Seorang pengajar di SD tersebut bertanggung jawab
untuk 1 kelas dalam keberlangsungannya. Di tiap kelas terdapat 9 mata
pelajaran, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Mulok, SBK, Penjaskes, PKN,
Agama. Agama disini mengajarkan 3 agama, Katolik, Kristen, Islam. Guru
bertanggung jawab pada 1 kelas dan otomatis bertanggung jawab pada 9 mata
pelajaran untuk diajarkan. Untuk para murid tiap hari mereka diberikan tugas
atau pekerjaan rumah oleh pihak sekolah untuk membantu para murid lebih
mengerti pelajaran yang telah diberikan. Penggunaan bahasa pada umumnya hanya kelas 1 saja yang masih
menggunakan bahasa desa karena masih pada tahap pengenalan, jadi dalam
ajarannya dengan menggunakan bahasa desa serta mengenalkan bahasa indonesia.
Sama seperti
di tiap sekolah, dalam tiap 1 tahun ajaran terdapat 2 semester. Nilai akhir berasal
dari nilai harian dan nilai semester. Nilai harian sifatnya hanya membantu
nilai semester. Kerajinan, kerapihan, kebersihan ikut membantu nilai semester
si anak. Segala sistem dan pelajaran, mereka mengikuti sistem dari dinas
pendidikan. Untuk pemakaian seragam, pada hari senin dan selasa menggunakan
seragam putih merah, pada hari rabu dan kamis menggunakan seragam batik,
sedangkan pada hari jum’at menggunakan seragam olahraga, dan pada hari sabtu
menggunakan seragam pramuka. Keberadaannya yang jauh dari pusat kota membuat
sistem sekolah agak berubah, siswa diizinkan menggunakan sandal bila sepatu
sekolah mereka basah atau rusak. Penerimaan rapot berbeda dari sekolah pada
umumnya, rapot akan langsung diberikan kepada murid saja tidak melalui orang tua
murid. Biasanya sebelum ujian akan diselenggarakan rapat kelas dan akan
mengundang para orang tua murid.
Untuk jadwal
sekolah, SDN 11 Nek Sawak berlangsung pada pagi hari hanya pada hari senin dan
jumat, mulai dari jam 7 hinga jam 12 dan sekolah siang di hari selasa hingga
sabtu, mulai dari jam 1 hingga jam setengah 5. Beda halnya untuk mereka yang
baru duduk di kelas 1 dan 2, untuk siswa kelas 1 dan 2 pulang pada jam setengah
4, sedangkan kelas 3 hingga 6 pulang pada pada jam setengah 5. Mereka sekolah pagi
hanya pada hari senin yang berarti upacara bendera dan jumat yang berarti senam
bersama. Istirahat yang diberikan sekolah hanya 15 menit. 1 jam pelajaran
berdurasi 35 menit. Untuk anak-anak bila mereka bersekolah pada jam 1, biasanya
2 jam sebelumnya sudah datang, jam 11 mereka sudah turun dan datang sekolah. Sekolah
tidak selalu pagi hari dikarenakan para murid dan guru ada yang menorah karet
dan bekerja lainnya. Ssekolah sempat mengalami masuk pagi tetapi hanya sedikit dari
siswa yang masuk sekolah, mereka lebih banyak yang menorah dan berkerja
membantu orang tua. Para siswa yang menoreh biasanya para siswa yang duduk kelas
4 hingga kelas 6, di umur tersebut orang tua menganggap mereka sudah bisa
berkerja, maka itu mereka ikut menoreh dan berkerja.
Jumlah murid
di SDN 11 Nek Sawak tidaklah sedikit, jumlah untuk murid kelas 1 berjumlah 30
orang, jumlah murid untuk kelas 2 berjumlah 39, jumlah murid untuk kelas 3
berjumlah 23, jumlah murid untuk kelas 4 berjumlah 19, jumlah murid untuk kelas
5 berjumlah 20 orang, jumlah murid untuk kelas 6 berjumlah 16 orang. Daftar
sekolah atau masuk sekolah dikenakan Rp. 1.000,- saja per murid. Menurut Ibu
Doyek selaku kepala sekolah, hampir semua anak di daerah Nek Sawak dan Landau
mencicipi bagaimana bersekolah dan kebanyakan dari mereka menyelsaikan hingga
kelas 6 SD. Untuk mereka yang putus sekolah, putus sekolah yang mereka alami
bukanlah dari faktor apa-apa, putus sekolah dikarenakan tidak adanya kemauan
dalam belajar, tetapi biasanya bagi mereka yang keluar akan masuk sekolah lagi
untuk bermain bersama kawan-kawan. Menurut Ibu Kepala Sekolah putus sekolah
tidak dikarekan alasan ekonomi.
Hal tersebut
didukung oleh program pemerintah Dana BOS ( Biaya Operasional Sekolah). Program
BOS membuat sekolah tidak mengenakan punggutan biaya terhadap para siswa,
sekolah gratis tanpa dipunggut biaya, maka itu yang membuat Ibu Doyek berkata
putus sekolah tidak dikarenakan alasan ekonomi. Sumber dana sekolah berasal
dari komite sekolah, dan dana yang ada di komite sekolah berasaldari dana BOS.
Seperti yang dikatakan oleh Ibu Kepala Sekolah, bahwa dana BOS telah ada sejak
9 -10th yang lalu. Banyak alokasi dana BOS yang telah bermanfaat
bagi siswa dan para guru. Untuk seragam batik, sergama batik berasal dari dana
BOS, tidak hanya seragam batik tetapi seragam lainnya dibayarakan oleh BOS. Jjadi
mereka tidak membayarkan uang untuk seragam, mereka hanya membayarkan ongkos
kirim saja yang telah diantarkan sampai di Nek Sawak sebesar Rp. 5.000,-. Selain
seragam, buku cetak juga berasal dari dana BOS, buku disediakan oleh BOS, lalu
pihak sekolah meminjamkan buku untuk para murid dan biasanya pada akhir tahun
buku baru akan dikembalikan ke pihak sekolah, seperti itulah seterusnya. Segala
fasilitas di sekolah, seperti patung organ, kapur dan segala peralatan sekolah
berasal dari dana BOS. Sedangkan meja, kursi, papan tulis, semua berasal dari
dana alokasi khusus. Untuk para guru yang masih berstatus honorer digaji
menggunakan dana BOS.
Di SDN 11 Nek
Sawak terdapat program beasiswa, beasiswa tersebut adalah Beasiswa Miskin,
beasiswa tersebut diperuntukan untuk anak yang tidak mampu. Beasiswa diberikan
untuk para siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas 5. Untuk kelas 6 akan dibantu
dari dana bos, karena smp akan mendapat beasiswa. Pemberian beasiswa dilihat
dari kemampuan orang tua, data dari kepala sekolah dan orang tua murid,
beasiswa berasal dari dinas. Seperti judulnya beasiswa diperuntukan bagi mereka
yang tidak mampu. Belum ada pemberian beasiswa lainnya. Selain program
beasiswa, SDN 11 Nek Sawak turut berpartisipiasi tiap tahunnya dalam mengikuti
porseni, yang bila menang dalam porseni tersebut maka akan menuju kabupaten.
Pada tahun ini SDN 11 Nek Sawak mengikuti porseni dan telah tembus hingga
tingkat provinsi.
Selain
itu ada juga kebijakan-kebijakan yang telah berubah seiring dengan sistem dan
ketetapan. Seperti ketetapan baru yang berasal dari pemerintah adalah masalah
umur untuk mereka yang akan masuk sekolah. Saat ini untuk murid kelas 1
diharuskan berumum 7th, ini merupakan program dari dinas pendidikan.
Sebelum ketetapan tersebut ada, siswa yang masuk kelas 1 Sd berumur 5 dan 6th.
Perubahan kebijakan sangat berdampak pada keberlangsungan sekolah sejak dahulu,
dapat terlihat dari jumlah murid yang sangat berkurang, sebelum adanya
ketetapan, setiap masuk tahun ajaran bagi murid kelas 1, murid berjumlah 50 anak,
sedangkan setelah adanya ketetapan hanya 28 orang saja. Sebenarnya ketetapan
tersebut tidak dapat dilaksanakan di daerah-daerah terpencil, itu semua
dikarenakan berbedanya pendidikan yang di dapat di kota dan di daerah
terpencil. Untuk di daerah terpencil, murid untuk kelas 1 seharunya
diperbolehkan untuk umur-umur sebelum 7th, itu semua dikarenakan
bila murid kelas 1 berumur 7th, mereka butuh penyesuaian, dan
penyesuaian untuk tiap anak berbeda-beda, ditambah dengan berbedanya
faktor-faktor di belakangnya. Kebijakan di daerah terpencil akan mengalami
pergeseran.
Contoh
lainnya yang lebih konkrit adalah tentang jam sekolah di SDN tersebut, dahulu jam
bersekolah pada pagi hari menurut keterangan yang diberikan oleh elvi yang
sekarang sudah melanjutkan sekolahnya di SMP Meliau, tetapi masyarakat
memprotes sistem sekolah pagi tersebut, dan masyarakat meminta untuk memindah
jam sekolah menjadi siang. Itu semua dikarenakan untuk membantu para orang tua
berkerja bagi mereka yang sudah bisa berkerja, sedangkan bagi mereka yang belum
bisa berkerja akan menjaga rumah. Ketetapan sekolah pagi tidak dapat
dipertahankan karena keadaan memaksa untuk mengganti jadwal pagi menjadi siang.
Bagi Pak Aden selaku Kepala Dusun setempat, dengan ketetapan sekolah siang
bukanlah hal yang baik, dia menyesali kenapa sekolah pagi tidak dipertahankan,
itu semua dikarenakan bilamana anak-anak sekolah pagi, pikiran mereka akan
lebih kosong dibanding sekolah siang, karena biasanya bila sekolah siang,
anak-anak sudah capek dan lelah sehingga pelajaran sulit masuk.
Hal tersebut
di dukung dengan contoh kasus, Putri
merupakan seorang anak perempuan berumur 6th, putri baru saja masuk
SD, tiba-tiba saat dia pulang sekolah dia mengeluh di hari kedua dia masuk. Dia
tidak mau masuk sekolah dikarenakan dia mengantuk, dia bosan, dia merasa jam
sekolah adalah jam tidur siang, dia tidak mau sekolah, dia lebih ingin dirumah
saja. Memang untuk di satu sisi pernyataan dari Pak Aden adalah benar, tetapi
itu semua kembali bagi mereka yang melaksanakan sekolah tersebut, ekonomi
setiap masyarakat berbeda-beda sehingga kemungkinan dalam pelaksanaan jam
sekolah pun disesuaikan dengan kebutuhan. Sekolah merupakan sebagai sesuatu
yang diinginkan, tapi berkerja adalah sebuah kebutuhan. Kerja menyediakan income untuk menunjang
kebutuhan-kebutuhan dasar untuk diri sendiri dan keluarga (White. 2001:7)
Sekolah
di pedalaman akan berusaha menyesuaikan kepentingan masyarakatnya juga, karena
itu semua berhubungan dengan keberlangsungan sekolah juga. Bahkan sekolah dapat
dituding tidak tegas, tetapi inilah di pedalaman, hal ketidak tegasan tersebut
adalah dalam penanganan untuk para murid. Contoh kasus dalam penanganan murid
adalah seorang anak bernama Ovia bersekolah dan baru memulai sekolah di kelas
1, karena kebiasaan di rumah, Ovia males untuk masuk sekolah, dia sering
membolos dalam jangka waktu yang lama, tetapi 1 bulan setelah hal tersebut,
tiba-tiba dia masuk lagi. Hal tersebut merupakan wujud ketidak tegasan karena
penyesuaian yang dilakukan pihak sekolah terhadap anak dan masyarakat.
Contoh lainnya
lagi adalah kasus Bp. Amin, Pak Amin mempunyai seorang anak laki-laki yang
bernama Ade. Ade selalu mendapat rangking 1 di sekolah, dan pada saat pergi ke
medan (istri dari Pak Amin adalah Orang Medan) dikarenakan opunya yang telah
meninggal sehingga sebabkan mereka tidak dapat pulang dan akibatkan Ade tidak
dapat mengikuti ujian, lalu Bp Amin memperjuangkan Ade untuk tetap Naik kelas
walau dia tidak ikut ujian, dan permohonan tersebut dilakukannya melalui
pesawat telepon . Bp Amin membuat permohonan, dan permohonannya dikabulkan oleh
pihak sekolah, pada akhirnya Ade dapat naik kelas tanpa rangking dan tanpa
ujian. Hal tersebut merupakan beberapa kasus dari penyesuaian sekolah terhadap
masyarakat, karena pihak sekolah membutuhkan masyarakat dan masyarakat membutuhkan
pihak sekolah.
Setelah
mengetahui seluk beluk SDN di Nek Sawak, tersirat bagaimana mereka melanjutkan
pendidikan mereka ke tingkat SMP. Kesan pertama yang hadir ketika menanyakan
Pak Kadus tentang Pendidikan adalah tidak adanya kemungkinan anak SD akan
melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Hal tersebut juga difaktori beberapa faktor,
seperti Letak SMP yang jauh dan berada di Meliau. Untuk para orang tua adanya
perasaan berat untuk melepas anaknya yang baru saja lulus SD untuk melanjutkan
SMP di tempat yang jauh dari orang tuanya. Orang tua mempunyai rasa berat
ketika anak harus mengurus diri, dan mengurus semuanya sendiri. faktor selain
letak sekolah yang jauh adalah faktor perasaan melepas anak yang baru saja
lulus SD harus mengurus diri sendiri tanpa didampingi orang tua.
Sebenarnya ada
jawaban untuk menjawab alasan tempat, telah terdapat SMP di pampang dua, tapi
mereka merasa sekolah tersebut tidaklah bagus, karena guru dan pengajar hanya
dari lulusan SMA saja, para masyarakat menginginkan untuk guru adalah mereka
yang sarjana. Penduduk yang lebih terididk memerlukan guru- guru yang lebih terlatih dan terspesialisasi dan
lebih penting bagi masyarakat, mengajar menjadi makin professional, karena
sekarang guru- guru mesti lebih berpengetahuan dan lebih sadar akan tanggung
jawab mereka terhadap masyarakat (Imran Manan,1989:120). Masyarakat memerlukan
sosok guru yang emmang berpendidikan secara serius, maka itu bagi masyarkat
masih banyak keraguan bila akan menyekolahkan anaknya di SMP pampang dua.
Anak-anak
yang melanjutkan SMP dari Nek Sawak biasanya bersekolah di Meliau, di Meliau
terdapat sebuah asrama miliki orang Australia, banyak anak-anak dari
daerah-daerah terpencil yang tinggal di asrama tersebut, selain harga yang
dapat dijangkau, kedisiplinan sangat diutamakan. Seperti yang telah diutarakan
diatas bahwa SMP biasanya para murid dari Nek Sawak mendapatkan beasiswa, hal
tersebut dibuktikan dengan sibukanya Kepala Dusun membuat surat miskin. Surat
miskin tersebut ditujukan kepada pihak sekolah dan pihak asrama, keterangan
miskin tersebut dibuat untuk mempermudah biaya sekolah anak-anak mereka. Dalam
hal ini, siapa saja dapat membuat surat
miskin untuk pihak sekolah walau mereka berkecukupan sekalipun, mereka
beranggapan karena di daerah terpencil mereka sendiri mengkategorikan dirinya
miskin dan patut dibantu. Pembuatan hal seperti itu telah berlangsung lama.
Maka itu adanya beasiswa dari pihak sekolah turut membantu keberlangsungan
pendidikan di Indonesia.
Pada umumnya
kebanyakan penduduk di Nek Sawak hanyalah sebatas lulusan SD, hanya beberapa
orang saja yang lulusan bangku SMP. Pendidikan SMP dan jenjang-jenjang
selanjutnya masih telihat buram untuk sebagian orang di Nek Sawak, ada beberapa
orang yang menganggap pendidikan sangat penting, tetapi ada pula yang
menganggap pendidikan sebagai fasilitas untuk bisa baca tulis saja. Letak yang
jauh dan akses yang sulit untuk menuju kota merupakan sebuah keterbatasan,
tetapi seiring berkembangnya zaman dan keinginan yang kuat, untuk tahun ini
jumlah murid yang lulus SDN 11 Nek Sawak berjumlah 17 orang, dan 15 orang
diantaranya melanjutkan sekolah ke SMP, entah letaknya di Meliau atau Sanggau. Keinginan
untuk masuk SMP ada yang berada dari dalam diri dan juga ada yang hanya
ikut-ikuatan teman saja. Hal yang biasanya menjadi senjata untuk tidak
melanjutkan sekolah yaitu Letak sekolah yang jauh, kini sudah tidak lagi.
Kepercayaan juga turut dibangun dan ditujukan kepada asrama, sebagai pihak
penampung anak-anak mereka.
Seperti sedia kala pendidikan memang
merupakan hal yang penting, tetapi semua kembali lagi kepada masyarakat. Adanya
perbedaan fasilitas dan akses dari masyarakat terkadang membatasi pendidikan
dapat masuk ke lingkup keluarga. Terkadang pendidikan dapat masuk ke dalam
lingkup keluarga dengan sangat mudahnya, tetapi ada kalanya pendidikan sangat
sulit untuk masuk karena adanya alasan-alasam yang menyebabkannya. Setelah
membahas tentang akses pendidikan dan kemungkinan pendidikan di Nek Sawak untuk
para generasi penerus, maka saya akan mulai mendalami tentang pendidikan untuk
mereka yang ada di lapisan bawah. Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa
pendidikan terkadang sulit masuk ke dalam lingkup keluarga dan menjadi sebuah
cita-cita baru. Pendidikan terkadang terhambat karena alasan ekonomi. Ekonomi
kelas bawah sudah terbukti akan sulit mengakses pendidikan dengan mudah. Entah
pendidikan itu sendiri yang sulit diakses ataupun keluarga miskin yang sulit
untuk mengakses pendidikan.
Dalam hal ini, saya akan mencoba
membahas tentang pendidikan bagi kelas bawah di Nek Sawak, untuk
mengkategorikan keluarga kelas bawah di Nek Sawak, saya menggunakan kartu
kemiskinan dan menanyakan langsung kepada Kepala Dusun, siapa-siapa saja yang
dikatakan keluarga yang kekurangan di Nek Sawak. Setelah menanyakan langsung,
akhirnya saya mendapatkan 2 Nama yang dapat saya jadikan informan. Informan
pertama saya bernama Pak Mantoni.
Semua berawal
saat kami mengunjungi rumah Pak Mantoni untuk membuat profil dan pola konsumsi.
Pak Mantoni sering dipanggil dengan Pak Man. Dengan diantarkan beberapa teman
kami menuju ketempat tersebut dan atas saran dari Kepala Dusun. Rumah gelap dan
kecil dan hanya disinari oleh 1 pelita saja, ini menggambarkan sangat sulitnya
kehidupan dari Pak Man. Rumah yang masih terbuat dari gubuk juga menggambarkan
kesulitan yang dia alami. Pak Man mempunyai istri dan 3 anak laki-laki. Istri
dari pak Man mengalami gangguan mata, dia sudah tidak dapat melihat dengan
jelas. Matanya telah kabur dan sulit untuk melihat, sudah 20th dia
alami sakit tersebut. Sejak itulah dia hanya duduk dirumah tanpa bisa keluar
rumah. Pak Man sendiri berusia 65th. Anak-anak Pak Man adalah:
1.
Johan
Dia
berpakaian layaknya orang biasa dengan jam di tangan kiri, tetapi dia suka
kurang bicara karena dia hanya diam dan melihat saja diwaktu saya datang ke
rumahnya, Johan hanya bersekolah hingga kelas 3 saja.
2.
Jamir
Jamir
merupakan anak yang paling ramah, dia pun ikut dalam perbincangan kami. Jamir
juga paling komunikatif. Dia yang paling sering saya ajak bicara, dan dia yang
paling sering berjumpa dengan saya entah di jalan ataupun di saat kami ke rumah
warga. Tetapi sangat disayangkan Jamir hanya bersekolah hingga kelas 4 saja
3.
Harmoko
Dia
merupakan anak terkahir dari Pak Man. Dia kurang suka bersosialisasi karena
malu. Dia sering keluar rumah untuk bermain hingga larut malam. Harmoko hanya
bersekolah hingga kelas 2 saja
Keinginan bersekolah mereka
sebenarnya tinggi, tetapi keadaan tidaklah mendukung mereka untuk mewujudkan
cita-cita mereka. Mereka berhenti dikarenakan guru honorer yang dibayarkan oleh
pihak sekolah membuat SPP lebih mahal dan membuat mereka terganjal akan uang
dan mengharuskan mereka berhenti sekolah, itu menurut opini mereka dan alasan
kenapa mereka semua berhenti sekolah.
Mereka tidak
dapat membayar karena mereka berfikir untuk kehidupan sehari-hari saja mereka
kesulitan. Jamir mengatakan kalau tidak punya uang bisa tidak naik kelas, dan
bisa dikeluarkan, itulah yang terjadi dengan Jamir. Dia merasa karena sulitnya
ekonomi keluarganya, dia tidak di naikan kelas bahkan dikeluarkan. Yang
dikatakan Jamir didukungoleh tulisan White yang membicarakan tentang di
beberapa bagian dunia, putus sekolah berhubungan dengan kemiskinan yang dalam
(White, 2001:6). Kemiskinan memang membuat sebuah keluarga dalam pergerakannya
menjadi sangat sulit, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan telah dinyatakan
gratis, tetapi faktor- faktor yang mendukung untuk dapat bersekolah juga besar,
seperti peralatan sekolah, baju seragam yang disubsidi, semuanya akan kembali
lagi bergesekan dengan keperluan rumah yang lebih krusial.
Pak Man pernah
beberapa kali mendapat BLT, tetapi hanya 4 waktu saja, setelah itu sudah tidak
lagi mendapatkan bantuan, tidak tahu sebabnya. Pak Man merupakan laki-laki asal
kunyil, tetapi dia menikah dengan istrinya yang asli Nek Sawak, mereka beragama
protestan. Mereka memelihara kambing, bukan babi, ternyata pemeliharaan kambing
dikarenakan kambing yang lebih mudah untuk dirawat dan tidak mengeluarkan
banyak biaya. Dalam kehidupan sehari-hari pola konsumsi dari Pak Man tidaklah
jauh berubah, dana lebih banyak dialokasikan untuk biaya rokok dan beras,
sedangkan untuk mereka makan, mereka lebih mencari semuanya di hutan.
Keluarga Pak
Man masih menggantungkan kehidupan dari alam bebas. Mereka juga biasanya pergi
berkerja dengan menjadi kuli atau tukang angkut di Nek Sawak. Gaji yang didapat
mereka gunakan untuk biaya hidup dan tidak adanya alokasi untuk pendidikan.
Dalam bukunya Thut dan Adams mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan
seringkali menyebabkan produktivitas yang rendah. Akibatnya, pendapatan rendah,
kemajuan pendidikan dan lain- lain pun terhambat (I.N Thut & Don Adams,
2005:521). Hal tersebut sangat berkaitan karena pendidikan dan pekerjaan sangat
berhubungan erat, dimana ketika pendidikan tinggi maka produktivitas pun
tinggi, sedangkan pendidikan rendah produktivitaspun akan rendah juga, tetapi
itu semua didasarkan pada tempat dimana masyarakat hidup. Untuk perkotaan
sistem tersebut memang sangat penting, tetapi untuk masyarakat tradisional,
terkadang pendidikan kurang diminati. Itu semua dikarenakan tidak adanya
kemauan masyarakat untuk keluar dari lingkaran yang sudah dibuatnya, seperti
contoh, bilamana seorang ayah adalah petani, maka kebanyakan anaknya akan
menjadi seorang petani juga. Lingkaran tersebut yang sering mengurung
masyarakat pada kemajuan.
Sekolah
sebagai media pendidikan terkadang kurang dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Terkadang mereka menganggap sekolah berhenti tidak mengapa asal bisa membaca
dan menulis saja, sekolah sekedar untuk status saja, tidak adanya keseriusan
untuk melanjutkan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang lebih
modern. Hal tersebut juga didukung dengan adanya kasus yang sama dimana para
orang tua di Sawangan[3]
menganggap bahwa status siswa untuk anak-anak mereka tidak terlalu penting.
Pengalaman para orang tua yang sebelumnya tidak mengenal sekolah dengan baik,
turut membentuk khayalan mereka tentang hidup tanpa sekolah ( TPL
Petungkriyono, 2009:491). Lingkaran kembali terjadi dimana orang tua melakukan
yang orang tua mereka perlakukan, mereka yang tidak mengenal sekolah akan
perlakukan anak dengan tidak mengenalkan pendidikan secara baik terhadap anak
mereka. Sekolah semakin jauh dan jauh dari masyarakat tradisional. Biasanya
para masyarakat yang kurang mengenal pendidikan adalah mereka yang kurang dalam
segi ekonomi, maka itu sekolah dan pendidikan akan semakin sulit masuk bagi
para masyarakat kelas bawah.
Pendidikan di Keluarga Pak Man dapat
dikatakan telah terputus, mulai dari Johan yang hanya bersekolah hingga kelas 3
saja, Jamir yang hanya bersekolah hingga kelas 4 saja, dan anak terkahir dari
Pak Man, Harmoko yang hanya bersekolah hingga kelas 2 saja. Bisa dibayangkan
pendidikan sangat minim di keluarga Pak Man. Para anggota keluarga beranggapan
johan, jamir dan harmoko tidak dapat mengenyam sekolah dikarenakan alasan
ekonomi. Alasan Ekonomi dijadikan sebagai alasan yang kuat sebagai penyebab
dari putusnya sekolah mereka. Harmoko merupakan anak dari Pak Man yang terkahir, alasan putus
sekolah dari harmoko adalah masalah biaya, itu adalah
jawaban dari sanak saudara saat saya menanyakan secara langsung alasan dari
mereka semua putus sekolah.
Setelah itu
untuk menguatkan kebenaran, maka saya bertanya kepada pihak sekolah dan
teman-temannya. Pada saat menannyai pihak sekolah, Ibu Doyek tetap bersi kukuh
bahwa sekolah gratis dan tidak ada punggutan biaya. Ibud Doyek juga mengatakan
bahwa Harmoko putus sekolah bukan karena alasan ekonomi. Sedangkan pada saat
saya tanyakan kepada teman-teman bekas sekolahnya, Harmoko putus sekolah dikarenakan
malas belajar. Beberapa saat sebelum Harmoko berhenti sekolah, Harmoko mendapat
giliran membaca, tetapi Harmoko menolak untuk membaca, dengan berat hati guru memaklumi,
besoknya Harmoko mendapat giliran lagi untuk membaca, tetapi harmoko kembali
menolak dengan berkata “tidak bisa”, tetapi sang guru mengatakan untuk mencoba
membacanya dahulu, lalu Harmoko menjawab dengan perkataan yang tidak
dikira-kira, dia menjawab dengan jawaban “saya nyerah”. Lalu Ibu Guru kaget dan
menghukum Harmoko untuk berdiri di tengah lapangan dengan alasan agar dia jera
dan tidak melakukannya lagi, tetapi kenyataan yang terjadi hukuman dari Ibu
Guru membuat Harmoko benar-benar tidak melakukannya lagi, Harmoko merasa malu
dan marah dikarenakan dia dihukum, maka Harmoko memutuskan untuk tidak mau
bersekolah lagi, Harmoko berhenti dan tidak pernah lagi kembali ke Sekolah.
Menurut teman- temannya Harmoko juga merupakan sosok anak yang nakal.
Keputusan
Harmoko untuk berhenti dari sekolah menambah pundi- pundi kekecewaan Keluarga
Pak Man terhadap pendidikan di SDN 11 Nek Sawak. Nada ketus yang terdengar saat
mereka mengungkapkan mengapa mereka putus sekolah merupakan bentuk kekecewaan
mereka terhadap pendidikan. Alasan ekonomi lah yang dijadikan pelarian bagi
Keluarga Pak Man untuk menjelaskan mengapa mereka semua terputus dari jalur
pendidikan. Memang tidak dapat dipungkiri untuk bersekolah memang membutuhkan
perekonomian yang perlu dialokasikan dana, memang sekolah dikatakan gratis,
tetapi dalam penyediaan fasilitan untuk bersekolah memerlukan biaya yang tidak
sedikit, maka itulah yang menyebabkan mereka putus sekolah. Permasalahan
ekonomi yang telah diketahui oleh sang anak juga ikut mengganggu anak dalam
sekolah, terkadang anak lebih memilih untuk berhenti sekolah dan uang digunakan
untuk biaya hidup bersama dan membantu orang tua dalam berkerja.
Keluarga Pak
Mantoni, merupakan sosok keluarga kelas bawah yang tidak dapat mengenyam
pendidikan dengan benar. Semua anaknya putus sekolah, dan mereka meyakini
karena alasan ekonomi menjadi alasan terkuat mereka putus sekolah. Pendidikan
yang bila ditelaah dapat menjadi investasi manusia dalam jangka panjang tidak
dapat terpikirkan oleh keluarga Pak Man, itu semua terhenti dengan adanya
banyak alasan yang telah diutarakan diatas. Sumber daya yang terbatas lebih
dimanfaatkan untuk keberlangsungan hidup, dan pendidikan menjadi sebuah nilai
yang mahal. Kesulitan ekonomi yang dialami dengan sangat membuat tidak adanya
kesempatan untuk Pak Man berfikir tentang pendidikan sebagai investasi jangka
panjang. Pak Man lebih memikirkan untuk menjalankan apa yang ada di depan mata
atau sesuatu dalam jangka pendek. Bagi Pak Man investai jangka panjang yang
terpenting bagi keluarganya adalah keberlangsungan mereka untuk tetap hidup
dengan tidak adanya pendidikan dan sumber daya eknomi yang terbatas.
Pak Mantoni
merupakan sosok informan pertama yang tidak begitu baik dalam pendidikan dan
ekonomi, dapat dikatakan dia sangat mewakili untuk kategori kelas bawah, karena
sangat sulitnya kehidupan Pak Man. Pak Man juga memberikan warna lain dalam
kenyataan ini, warna yang memprihatinkan. Untuk memberikan perbandingan, maka
saya menyertakan Informan Kedua, Informan kedua tersebut juga saya dapat dari saran
Pak Kadus. Pak Kadus memberikan kedua nama tersebut, Pak Mantoni dan Pak Briji.
Setelah pembahasan Pak Mantoni dengan kepelikannya, sekarang saya akan membahas
tentang Pak Briji dengan kehidupannya.
Lain halnya
dengan pertemuan pertama kami dengan Pak Man, Pak Briji merupakan seorang yang
telah saya kenal sejak awal, hal itu disebabkan karena kediaman Pak Briji tidak
jauh dari kediaman tempat saya tinggal. Hampir tiap waktu saat saya melihatnya
dan pergi kerumahnya untuk duduk dan mengobrol saja karena dia selalu duduk di
teras dan memanggil saya untuk datang. Rumah yang terbuat dari kayu, dan bila
malam menjemput hanya disinari 1 pelita saja merupakan kondisi dari rumah Pak
Briji. Hal tersebut juga menggambarkan bagaimana kesusahan yang terlihat dari
kehidupan Pak Briji.
Pak Briji
merupakan penduduk asli Nek Sawak, sanak saudara dari Pak Briji juga tinggal di
Nek Sawak dan hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahnya. Pak Briji yang
biasanya berkerja, sering kali tidak berkerja lagi jika penyakit Cikumunya[4]nya
kembali kambuh. Sehingga saya mempunyai waktu lebih bila berbicara dengannya
disaat dia di rumah. Pak Briji mempunyai seorang istri yang pekerja keras,
biasanya bila Pak Briji tidak berkerja, maka Istrinyalah yang sering
menggantikan dia berkerja. Pak Briji mempunyai 2 orang anak yaitu :
1.
Wina
Seorang gadis
yang berumur 18 tahun, dengan penampilan yang baik dan mulai mengerti mode
dikarenakan dia telah mencatok rambutnya. Wina telah lulus menyelsaikan SD nya,
tetapi dia tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sekarang dia
sangat berkerja keras, hal tersebut terlihat dengan bekerjanya dia setiap hari,
tidak seperti remaja perempuan laiinya yang hanya di rumah saja.
2.
Karmila
Seorang gadis
yang baru saja lulus SD, dan pada tanggal 15 Juli kemarin dia masuk ke SLTP di
Meliau. Bersama teman-temannya dia melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Dia
merupakan seorang gadis kecil yang sering bermain bersama saya. Karmila tinggal
di sebuah asrama yang didirikan oleh seorang Australia, banyak anak- anak dari
Nek Sawak yang telah tinggal di asarama tersebut. Asrama tersebut sangatlah
disiplin dan untuk letak, letaknya juga tidak terlalu juah dari sekolah mereka.
Biaya yang perlu dikeluarkan Karmila untuk Asrama dan sebagianya sebesar
Rp.100.000,- per bulan.
Keinginan bersekolah dari
anak-anak Pak Briji sangatlah dalam, hal tersebut terbukti dengan berhasilnya
Karmila melanjutkan sekolah ke jenjang SMP walaupun keadaan ekonomi tetap
mendesak. Hal tersebut juga terlihat di catatan konsumsi Pak Briji tiap
minggunya, tidak hampir berubah dengan apa yang dikonsumsi Pak Briji, dana
dialokasikan untuk kerperluan sehari- hari dan kini pendidikan Karmila.
Telah
dibuktikan bahwa dalam keluarga Pak Briji telah dialokasikan dana untuk
kebutuhan sehari- hari mereka bertiga (Pak Briji, Istri dan Wina) dan
pendidikan serta kehidupan Karmila. Nilai pendidikan telah masuk ke keluarga
Pak Briji. Adanya upaya dari keluarga untuk bangun. Pak Briji yang terkadang
ikut berkerja dibantu oleh Ibu yang berkerja dan Wina yang ikut berkerja tidak
dipungkiri ikut menambah penghasilan dari Keluarga Pak Briji, dan penghasilan
mereka bertiga dialokasikan untuk keberlangsungan hidup mereka dan investasi
mereka terhadap Karmila. Perbedaan umur yang sedikit jauh antara Wina dan
Karmila juga ikut membantu Pak Briji mengendalikan keuangan dan mengatasi
kesulitan yang ada, bilamana umur Wina dan Karmila dekat maka biaya untuk
pendidikan semakin berat, ditambah keadaan ekonomi yang tidak baik.
Seperti
keluarga kelas bawah lainnya, keluarga Pak Briji juga serta merta masih
memanfaatkan sumber daya alam sebagai tempat penyedia makanan bagi mereka,
mereka masih mengandalkan hutan untuk keberlangsungan hidup mereka. Alasan
Ekonomilah yang lagi- lagi kembali menjadi penyebabnya. Keluarga Pak Briji bisa
dikatakan sebagai keluarga yang mematahkan tradisi, tradisi yang dimaksud
adalah bilamana seorang ayah adalah petani maka anak juga petani, tetapi di
keluarga Pak Briji ada upaya walaupun mereka kesulitan, adanya usaha untuk
memecah tradisi dan upaya untuk kehidupan yang lebih layak lewat pentingnya
pendidikan.
Pendidikan
bagi keluarga Pak Briji serta merta dipengaruhi oleh lingkungan dari si anak
bermain, teman sepermainan Karmila semuanya melanjutkan pendidikan di SMP,
dalam kasus ini lingkungan membentuk individu, dimana Karmila yang berasal dari
keularga yang kurang mampu dan tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi dapat berfikir untuk melanjutkan pendidikan SMP. Permasalahan ekonomi memang menghantui tetapi
hasil yang akan didapat akan terbayarkan. Keluarga Pak Briji mencoba melawan
keterbatasan yang ada. Banyaknya cerita keberhasilan pendidikan ikut
menstimulan Pak Briji untuk menyekolahkan Karmila di SMP. Cita-cita yang
diungkapkan Pak Briji ketika saya tanyakan mengapa Karmila sekolah hingga SMP
adalah agar Karmila tidak bernasib sama dengan orang tuanya dan kakaknya, maka
itu Karmil disekolahkan hingga SMP kini, dan ada kemungkinan bilamana Karmila
berhasil, saatnya Karmila yang membantu membangunkan ekonomi keluarganya dari
keterpurukan. Tidak maunya perasaan orang tua atas persamaan nasib menjadi alasan
yang kuat, dan telah tertera cita-cita yang besar dari keluarga untuk Karmila
suatu saat nanti.
Bagi
Keluarga Pak Briji telah adanya pendidikan sebagai jawaban dari keterpurukan
ekonomi, memang ekonomi mereka sulit, tetapi mereka mengusahakan sekuat tenaga
untuk dapat menyekolahkan Karmila di SMP. Telah pentingnya posisi pendidikan di
lingkungan Keluarga Pak Briji. Pendidikan juga telah menjadi investasi manusia
jangka panjang untuk keluarga Pak Briji, hal tersebut dibuktikan dengan adanya
keinginan dari pihak keluarga untuk karmila agar tidak bernasib sama dengan
mereka. Pendidikan diharapkan mengangkat Karmila dan menjadikan Karmila lebih
mempunyai nasib yang baik. Seumber daya ekonomi yang terbatas juga tidak
menjadikan alasan Pak Briji membuang cita-cita karmila sendiri dan cita-cita
keluarga, telah adanya pembagian yang jelas antara kehidupan dan pendidikan.
Ekonomi yang terbatas memang menyulitkan tetapi mereka mempercayai cara inilah
yang dapat membangun mereka, memang saat ini mereka mengalami kesulitan tetapi
suatu hari mereka akan mendapat hadianya.
Setelah
dikemukakan tentang kehidupan keluarga Pak Briji dan pendidikan di mata
keluarganya, memang tercetus warna baru yang berbeda dari Pak Mantoni.
Perbandingan yang terjadi karena adanya perbedaan nilai di keduanya dengan
persamaan ekonomi yang sama. Entah lebih tidak mampu siapa, tetapi pendidikan
di kelas bawah memang beragam, ada dari mereka yang menyerah dengan keadaan,
ada mereka yang berusaha dan berserah.
Pendidikan memang sangatlah sulit bagi ekonomi kelas bawah, apalagi
bagaimana mereka bisa menginvestasikan ke pendidikan, sementara bagaimana
kehidupan mereka. Tetapi itu semua tidak hanya berhenti disitu saja. Pendidikan
mempunyai kepercayaan baru bagi mereka yang mempecayainya dan berkesempatan.
Perbedaan
warna, perbedaan sikap yang terjadi diantara kedua informan menambah pemikiran
baru tentang pendidikan bagi masyarkat kelas bawah khususnya penduduk Nek
Sawak. Kedua informan telah memberikan pandangan yang berbeda, dimana Pak Mantoni
telah menyerah pada keadaan, dia dan keluarga terjerat pada lingkaran sama dan
tidak adanya kesempatan untuk mengandalkan pendidikan sebagai investasi,
sedangkan Pak Briji terus berusaha, dia dan kelarga mencoba untuk bangun dan
melepaskan jerat lingkaran, dan adanya usaha untuk membuat kesempatan baru
yaitu mengandalkan pendidikan sebagai jawaban untuk masa depan.
Posisi
Pendidikan di Nek Sawak berbeda- beda, dari 2 informan diatas, telah
menjelaskan dengan sangat dimana ada nya perbedaan pemikiran dan sikap dalam menghadapi
pendidikan. Kehidupan masyarkat selalu berbeda, dan pemikirannya pun sangat
berbeda, seperti para informan, untuk Pak Mantoni posisi pendidikan sangat
sulit untuk masuk, telah ada luka yang membuat keluarga terluka, mereka menganggap
pendidikan sebagai musuh dan tidak adanya pemikiran yang lebih untuk
memperjuangkannya, sedangkan bagi Pak Briji posisi pendidikan telah menjadi
jawaban baru untuk keluarganya, dia berani bertaruh untuk anaknya mendapatkan
pendidikan. Perbedaan posisi pendidikan memang terjadi dikarenakan banyaknya
faktor yang menenggarai. Pendidikan sebagai investasi jangka panjang telah
dilakukan oleh pak Briji, dia mempercayai dimana pendidikan sebagai investasi
jangka panjang bagi kehidupan keluarga mereka, mereka lebih memilih untuk sang
anak melanjutkan pendidikan di bangku SMP walaupun ekonomi mereka sulit,
sedangkan Pak Mantoni memilih untuk tidak melihat kemungkinan investasi bagi
keluarga mereka, mereka lebih terkonsntrasi dengan apa yang mereka hadapi sekarang
ini. Mereka lebih memikirikan untuk jangka pendek yaitu keberlangsungan
kehidupan keluarga mereka. Ekonomi yang terbatas lebih dipusatkan untuk
kehidupan sekarang bagi keluarga Pak Man, sedangkan Ekonomi yang terbatas
bukanlah halangan bagi keluarga Pak Briji untuk tetap membiayai pendidkan
sebagai Investasi yang paling berharga untuk jangka panjang kehidupan mereka. Pendidikan
bagi masyarkat Nek Sawak sebagai investasi jangka panjang dalam ekonomi yang
terbatas terjadi berdasarkan kesempatan dan kemauan dari pihak keluarga dan
anak, dan pendidikan sebagai jalan keluar untuk mereka yang telah mempercayai
dan mengusahakan pendidikan terus berkembang di lingkup keluarga mereka.
Kesimpulan
Keterbatasan
pendidikan dan fasilitas pendidikan telah terjadi di tempat- tempat yang sulit
dijangkau negara, telah terjadi disentralisasi dalam perkembangan yang otomatis
juga mengakibatkan pendidikan terhambat. Pendidikan tambah terhambat dengan
masyarakat yang kurang mendapat nilai manfaat dari pendidikan tersebut. Sebuah
dusun di Kalimantan Barat bernama Nek Sawak menjadi sorotan utama, tersedia
sebuah SD di Nek Sawak sebagai nilai pengenalan pendidikan di lingkup keluarga.
Tetapi mereka terputus dalam keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya penduduk yang hanya
menyelsaikan bangku SD saja. Keterbatasan ekonomi terkadang menjadi alasan
terkuat mengapa mereka hanya mengenyam pendidikan hingga bangku SD saja, dan
banyak dari mereka yang juga putus sekolah.
Posisi
pendidikan di Nek Sawak bagi mereka kelas bawah sangatlah sulit. Posisi
pendidikan menjadi minim untuk mereka, dan itu semua kembali lagi kepada
keluarga kelas bawah untuk memandang pendidikan. Ada beberapa dari mereka yang
menyerah pada keadaan dan tidak memikirkan pendidikan sebagai investasi jangka
panjang dikarenakan keadaan ekonomi yang memaksa mereka untuk mementingkan
kehidupan yang ada di depan mata, dan ada beberapa dari mereka yang terus
berusaha untuk medapatkan pendidikan walaupun sulitnya ekonomi memenjarakan
mereka, pendidikan dipercayai sbagai jawaban dan investasi jangka panjang untuk
kelarga. Itu semua kembali lagi kepada keluarga adakah keinginan untuk bangun
atau tidak dari keterpurukan dan menstrategikan ekonomi yang terbatas untuk
pendidikan.
Referensi
Declors,
Jacques et al
1999 “Belajar : Harta Karun di Dalamnya”.
UNESCO
G.
Shane, Harold
1984 “Arti Pendidikan bagi Masa Depan”.
Jakarta : CV. Rajawali
Kneller,
George F
1965
“Anthropology of Education”. Los
Angles: John Wiley&Sons Inc
Manan,
Imran
1989. “Anthropologi Pendidikan”. Jakarta : DEPDIKNAS
Reza
Bastian, Aulia
2002 “Reformasi Pendidikan”. Yogyakarta:
Lappera Pustaka Utama
Riwut,
Tjilik
2007
“Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan”.
Yogyakarta : NR Publishing
Thut,
I. N. & Adams, Don
2005 “Pola-
Pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tim
Penelitain Lapangan 2008
2009 “
Rumah Tangga Petani di Tengah Arus Pasar
Dunia”. Yogyakarta: Kanisius
White,
Leslie A.
1949
“The Science of Culture”. New York :
Farrar Straus
[1]
Unesco merupakan kepanjangan dari United Nations Educational Scientific and
Cultural Organization, adalah sebuah organisasi PBB yang mengurusi tentang
Pendidikan dan Kebudayaan.
[2]
Nek Sawak dan Landau hanya dipisahkan sebuah sungai dan disambungkan oleh
jembatan, Landau merupakan tetangga dari Nek Sawak dan sangat dekat
[3]
Sawangan merupakan sebuah dusun terpencil di daerah Petungkriyono, Pekalongan,
Jawa Tengah
[4]
Cikumunya merupakan penyakit yang melumpuhkan sendi-sendi di bagian tubuh
sehingga penderita mengalami kesakitan yang sangat, tetapi penyakit tersebut
dapat kambuh dan sembuh
No comments:
Post a Comment