Tradisi
Gambang Kromong Masyarakat Betawi
Oleh:
Sukotjo
Review oleh : Michael
Haryo Bagus Raditya
Abstrak
Jakarta, dalam keberadaannya sebagai
ibukota tidak dapat dipungkiri bila mengalami banyak gesekan kebudayaan, baik
dari dalam negeri, seperti halnya kebudayaan daerah lain, juga dari luar
negeri, seperti halnya westernisasi dan kebudayaan dari Negara lain. Adapun
dampak yang menyebabkan kebudayaan Betawi sebagai empunya Jakarta semakin
terkikis. Sehingga kebudayaan di Ibukota semakin dinamis dengan adanya dorongan
eksternal tersebut, kebudayaan baru muncul, dan kebudayaan lama semakin
tenggelam. Pada hal ini, Betawi memiliki Gambang
Kromong sebagai salah satu kebudayaan Jakarta yang nasibnya mengambang.
Pada dasarnya Gambang Kromong
merupakan kebudayaan betawi yang dimiliki masyarakat pendatang (China). Menurut
Sukotjo, Gambang Kromong digunakan pertama
kali oleh orang China Benteng, dan dalam keberadaannya bernagsut-angsur menjadi
milik betawi. Gambang Kromong
merupakan perpaduan dari beberapa alat musik yang berasal dari India,
Indonesia, China dan kini, barat. Jadi dapat disimpulkan bahwa Gambang Kromong merupakan gabungan
kebudayaan dan menjadi kebudayaan baru yaitu Gambang Kromong Betawi. Seiring dengan perkembangan zaman dan
eksistensi Gambang Kromong yang
menjadi ikon musik Betawi dalam ranah pariwisata, membuat Gambang Kromong harus terus beradaptasi dengan jenis musik dan alat
musik baru yang muncul, agar eksistensi Gambang
Kromong kembali ke masa kejayaannya.
Kata
Kunci:
Gambang Kromong, Betawi, Etnisitas
Pribumi, Transformasi Transisi
Etnis Betawi dan
Jakarta
Jakarta, sebuah daerah di bagian
barat pulau Jawa, merupakan Ibukota dari Negara Indonesia. Dalam
perkembangannya Jakarta telah mengalami banyak pergantian nama, seperti halnya
Sunda Kelapa pada sebelum 1527, Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942) dan
Djakarta (1942-1972). Sejak pada zaman penjajahan, Jakarta, telah menjadi pusat
perdagangan dan pusat pemerintahan Belanda, karena lokasinya yang strategis dan
dekat dengan jalur perdagangan dunia. Sehingga menjadikan Batavia sebagai pusat
perdagangan dan pusat pemerintahan kolonial Belanda. Dalam masa pembangunannya,
Belanda banyak mendatangkan orang-orang dari luar Jakarta sebagai pekerja atau
tenaga murah bahkan gratis yang dilakukan untuk pembangunan pusat pemerintahan
Belanda di tanah air ini. Ini adalah awal perkembangan dari terbentuknya
masyarakat Betawi. Suku Betawi merupakan hasil perpaduan dari bermacam-macam
etnis dan kebudayaan, seperti halnya etnis Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,
Ambon, Melayu, dan para pendatang seperti Arab, India, Tionghoa dan Eropa.
Perpaduan tersebut membentuk etnis baru Batavia yang menggunakan bahasa Melayu
dalam percakapan dan percampuran kebudayaan yang menjadikan kebudayaan baru
yang unik.
Dalam keberadaannya, Masyarakat
Betawi menganut Agama Islam, kecuali bagi mereka orang Cina Benteng di
Tanggerang. Sukotjo dalam tesisnya menegaskan bahwa Jakarta merupakan kota yang
sangat heterogen, dikarenakan perpaduan kebudayaan tersebut. Jakarta dalam
perkembangannya, tepatnya setelah kemerdekaan, mengalami lonjakan imigran. Hal
tersebut dapat dimaklumi karena peran Jakarta yang menjadi pusat dari segala
pemerintahan dan pusat Indonesia. Lonjakan Imigran yang meledak membuat etnis
Betawi menjadi kaum minoritas. Secara perlahan para pendatang paska kemerdekaan
hingga sekarang telah menjajah, bahkan menguasai Jakarta dalam artian jumlah
penduduk. Karena pesatnya zaman, dan tidak dapat turut mengikuti perkembangan,
maka masyarakat Betawi harus mengangkat kaki dari tanah kecintaan, Jakarta,
menuju ke pinggiran Jakarta seperti Bogor, Tanggerang, Bekasi, Depok, Jawa
Barat dan Banten. Jakarta sebagai pusat kota telah menjadi kota yang sangat
modern.
Jakarta memang menjadi pusat dari
segalanya, seperti pemerintahan, perdagangan, dan mereka juga tidak lupa dalam
membangun pariwisata. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengunjung yang berkunjung
ke Jakarta tidaklah sedikit, dan para pengunjung, tidak semuanya datang karena
urusan ekonomi atau politik, tetapi
mereka ingin menikmati Jakarta sebagai tempat wisata. Pariwisata yang dibangun
tidak hanya pada tekonologi atau modernitas, tetapi Jakarta sangat tahu dalam
membangun kembali kebudayaan Betawi sebagai ikon budaya Jakarta. Kesenian
Betawi mulai dibangun mulai dari Teater, Musik dan Tari. Intensitas penggunaan
kesenian dan pergantian fungsi dari hal yang bersifat sakral, menjadi sesuatu
yang bersifat profan untuk kegunaan pariwisata.
Gambang
Kromong merupakan salah satu alat musik yang mengalami gejala-gejala
kebudayaan ini, dan pada tesis ini akan berfokus pada Gambang Kromong sebagai musik yang mengalami perubahan nilai,
fungsi dan perkembangan. Perubahan nilai yang terjadi pada Gambang Kromong yakni pada perubahan nilai sakral ke nilai profan.
Perubahan fungsi yang terjadi adalah perubahan fungsi pertunjukan ke fungsi
pariwisata. Perkembangan akan Gambang
Kromong, yang seperti halnya kita ketahui, bahwa Gambang Kromong merupakan perpaduan alat musik dari berbagai macam
kebudayaan. Perkembangan akan Gambang
Kromong atas masuknya alat musik barat dan jenis musik baru yang muncul
kini.
Gambang Kromong
Gambang
Kromong,
merupakan sebuah alat musik tradisional milik masyarakat Betawi. Bila dirunut
dari Sejarah, Gambang Kromong
merupakan perpaduan banyak alat musik dari berbagai macam daerah bahkan luar
negeri, seperti halnya instrument gesek dan tiup dari China, instrument Gendang
dari Sunda, dan instrument gambang, kromong, kempul, kecrek, serta gong yang
berasal dari Jawa. Secara etimologinya, Gambang
Kromong berasal dari penyebutan alat musik yang dipergunakan, yaitu Gambang
dan Kromong. Dalam keberadaanya, Musik Gambang
Kromong telah dikenal sejak tahun 1880, hal tersebut terjadi ketika seorang
Bek (Lurah) bernama Teng Tjoe
(seorang kepala kampong Tionghoa di Pasar Senen) menyajikan sebuah sajian untuk
menyambut para tamu. Ensambel musik ini berkembang di kalangan Cina Benteng di
Tanggerang, dan Ensambel ini digunakan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat Cina
Benteng. Masyarakat China Benteng yang
membawa alat Musik China ketika datang ke Indonesia, digabungkan dengan alat
musik dari suku bangsa yang ada di Jakarta dan menjadi sebuah instrument Gambang Kromong.
Dalam perkembangannya akhirnya menjadi
alat musik Betawi. Masyarakat Betawi menggunakan alat musik ini sebagai sajian
hiburan dan penyemarak upacara ritual. Ensambel Gambang Kromong terdiri dari alat musik Gambang, Kromong, Sukong, Tehyan, Kongahyan, Basing, Ningnong,
Kecrek, Kempul dan Gong. Ensambel
tersebut dibedakan menjadi dua bagian, yakni, pola ritmis dan melodis. Pola
Ritmis seperti halnya kecrek, gendang,
ningnong, kempul dan gong,
sedangkan untuk pola melodis yakni sukong,
tehyan, kongahyan, suling, gambang dan
kromong. Dalam meregenerasikan kesenian Gambang
Kromong ini, peregenerasiaan dilakukan dengan cara langsung, transmisi dari
senior ke junior, dan tidak ada sistem notasi akan alat musik tersebut. Pada
tahun 1937 Orkes-orkes Musik Gambang
Kromong mencapai masa popularitasnya.
Musik Gambang Kromong dalam penggunaannya dipergunakan masyarakat Betawi
dalam perayaan pesta, mengiringi teater Lenong, dan penyemarakan upacara
Ritual. Orang Betawi peranakan Cina Benteng dalam perayaan acara pernikahan
masih mempergunakan musik Gambang Kromong
sebagai sajian penyemarak upacara ritual. Penyemarak disini adalah bertugas
dalam memeriahkan acara pernikahan, seperti pemilihan musik, menari dengan para
penari, hingga membeli makanan kecil. Penggunaan Gambang Kromong lainnya oleh orang Cina Benteng adalah upacara Seijit
(ulang tahun biara atau klenteng) yang dilakukan di biara, seperti tugasnya, Gambang Kromong digunakan sebagai
pemeriah acara. Selain untuk acara ritual, Gambang
Kromong juga dipergunakan dalam acara Sunatan, Kaul (nazar), mengiringi
teater Lenong, dan hiburan yang lain. Penggunaannya dalam Teater Lenong
disesuaikan dengan kondisi suasana teater, sehingga permainan Gambang Kromong bersifat spontanitas.
Keberadaannya kini, Gambang Kromong
digunakan sebagai sajian pariwisata Jakarta. Dengan begitu banyak lagi adaptasi
yang dilakukan oleh Gambang Kromong
dalam keberlangsungan kesenian tersebut di ranah Pariwisata.
Bentuk Musik Gambang Kromong
Gambang
Kromong
merupakan jenis musik tradisional yang tidak memiliki sistem notasi dalam
pencatatan musiknya. Musik Gambang
Kromong menggunakan tangga nada pentatonik sebagai nada pokok dari
permainannya. Dalam keberlangsungannya, Gambang
Kromong harus disesuaikan dengan penggunaan solmisasi, ditambah lagi dengan
masuknya alat musik barat yang membuat penyesuaian dengan penggunaan tangga
nada Septatonik. Adanya kesenjangan dan penyesuaian yang tidak sempurna membuat
jalinan suara yang tidak akurat dan memberikan warna etnik tersendiri.
Perubahan tangga nada membuat suatu pemaksaan dalam lagu-lagu yang dibawakan.
Tangga nada yang sebelumnya sudah memiliki patokan yang jelas menjadi berubah
karena adanya penyesuaian yang terjadi.
Bentuk Musik Gambang Kromong juga telah bercampur dengan lagu keroncong, pop dan
dangdut, tetapi tidak dipungkiri bahwa lagu-lagu tradisi tetap dipergunakan
sebagai ikon dari Gambang Kromong
tersebut. Adapun lagu-lagu tradisi yang menjadi andalan, seperti Cente Manis, Kramat Karem, Sirih Kuning,
Jali-jali, dan lain-lain. Pembawaan lagu selain lagu-lagu tradisi, juga
menggunakan lagu-lagu yang menjadi kesepakatan dari para pemain. Pada dasarnya
syair dari lagu-lagu tradisi Gambang
Kromong merupakan jenis pantun yang tidak beraturan. Setiap penyanyi dapat
membawakan sebuah lagu tradisi dengan lantunkan keanekaragaman syair walaupun
sama dalam judul. Seseorang dikatakan mahir apabila menguasai dengan baik
syair-syair lagu yang dinyanyikan.
Jumlah birama yang dimainkan pada
penyajian lagu tradisi disesuaikan dengan kemampuan penyanyi dalam membawakan
pantun. Perubahan tempo juga kerap kali terjadi dalam penyajian Gambang Kromong, hal tersebut dilakukan
agar menghilangkan rasa monoton pada waktu terjadi pengulangan lagu. Bahasa
yang digunakan menggunakan bahasa Betawi. Penyanyi yang akan melantunkan sebuah
lagu harus menyesuaikan dengan tangga nada yang dimainkan alat musik, sehingga
tidak ada penyesuaian layaknya alat musik barat. Pola penyajian musik sangatlah
komunikatif. Penonton dan pemusik dapat berinteraksi secara langsung tanpa ada
pembatasan. Pola interaktif tersebutlah yang memberikan kesan bahwa Gambang Kromong menjadikan suasana
menjadi semarak. Ini merupakan lagu tradisi dalam Gambang Kromong, Jali-jali dan Kicir-kicir, dan dalam keberadaannya,
lagu tradisi pasti menjadi lagu wajib dalam pertunjukan Gambang Kromong. Baik dengan adanya musik barat atau tidak, baik
dengan percampuran jenis musik atau tidak, lagu tradisi menjadi sangat penting
dalam eksistensi Gambang Kromong itu
sendiri.
Gambang Kromong
dalam Transisi
Gambang
Koromong,
merpakan sebuah instrument musik tradisional milik Betawi. Menurut asalnya, instrumen
Gambang Kromong berasal dari
akulturasi berbagai macam kebudayaan baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri. Sukotjo terlebih menjelaskan bahwa Gambang
Kromong muncul di kalangan Cina Benteng, dimana instrumental Gambang Kromong digunakan pada
acara-acara ritual dari masyarakat Cina Benteng. Gambang Kromong merupakan perpaduan alat musik yang dibawa Cina dan
digabungkan dengan alat musik yang ada di Jakarta pada saat itu, dan tidak
dapat dipungkiri bahwa Jakarta pada saat itu dihuni oleh berbagai macam
kebudayaan, sehingga menciptakan percampuran yang harmonis. Seiring dengan
perkembangan zaman, dan dinamisnya masyarakat, Gambang Kromong mengalami penurunan dalam intensitas penyajian. Gambang Kromong mulai dilupakan dan
ditinggalkan, terlebih masyarakat Jakarta yakni masyarakat pendatang.
Angin segar pun datang, ketika Jakarta
mempromosikan kotanya dengan Pariwisata sebagai poin utama bagi pengunjung.
Kesenian-kesenian Betawi mulai digarap dan dikembangkan, hal tersebut dirasakan
oleh para seniman Gambang Kromong. Gambang Kromong digunakan kembali dan
menjadi salah satu penggerak pariwisata kebudayaan milik Jakarta. Memang tidak
dapat disangkan, keuntungan pasti mempunyai kerugian atau adaptasi-adaptasi
baru. Gambang Kromong yang tadinya
sebagai sebuah kesenian yang bernilai sakral, menjadi kesenian profan dan murni
tontonan semata. Adanya pergeseran nilai yang dirasa sangat terbukti, dimana
mengakibatkan adaptasi-adaptasi yang menghilangkan nilai-nilai lama yang kompleks
menjadi sesuatu yang simpel. Fungsi yang utama dalam pertunjukan sebagai hal
tontonan yang bernilai lebih pada masyarakat, menjadi pertunjukan pariwisata,
yang menjadikan adanya kekurangan-kekurangan yang dilakukan dalam adaptasi yang
dilakukan.
Contoh dari hal tersebut adalah
bergantinya pertunjukan Gambang Kromong
yang biasanya diselenggarakan karena adanya sebuah siklus hidup, seperti
perkawinan, sunat, dll, sekarang menjadi tontonan panggung atau tempat wisata.
Adaptasi lainnya yang terjadi adalah masuknya alat musik Barat dalam Gambang Kromong, seperti gitar dan saxophone, sehingga Gambang Kromong agak terlihat berbeda. Perpaduan kembali antara dua
alat musik yang mempunyai jenis berbeda yaitu pentatonik dan saptatonik,
membuat Gambang Kromong semakin
memberikan warna baru. Penyesuaian terus dilakukan dalam rangka mengikuti
selera masyarakat. Perpaduan juga dilakukan dengan beberapa genre musik
lainnya, seperti dangdut, jazz, pop, dan masih banyak lainnya. Hal tersebut
terus dilakukan demi keberlangsungan kesenian tersebut dan para seniman kesenian
tersebut dalam menghadapi kerasnya Jakarta.
Kesimpulan
Pada penelitian ini, Sukotjo melakukan
etnisitas kepribumiannya. Beliau yang berasal dari Jakarta dapat melihat lebih
dalam lagi bagaimana musik Gambang
Kromong dapat terjadi, dan hal tersebut dipaparkan secara etnografi,
sehingga menjelaskan bagaimana Gambang
Kromong yang sebenarnya. Ke-etnisitasan yang sangat terjadi dari Sukotjo
adalah beliau dapat sangat memaparkan bagaimana penggunaan Gambang Kromong bagi masyarakat Cina Benteng, yang hal tersebut
sulit dilakukan oleh peneliti lain. Beliau dapat menjelaskan secara menyeluruh
bagaimana dari satu acara ke acara lain, isi dan segala macam yang terjadi
dalam Gambang Kromong. Beliau juga
dapat mengkonversi Gambang Kromong
yang bersifat tidak tertulis menjadi tertulis, dari tidak bernotasi menjadi
notasi barat, hal tersebut yang menjelaskan bagaimana Kesenian Gambang Kromong menjadi sama dengan
musik lainnya, adanya pengupayaan multikultrual yang terjadi. Beliau juga dapat
membaca proses transisi dan pergolakan besar-besaran yang terjadi pada Gambang Kromong itu sendiri yang
dilakukan demi keberlangsungan dari instrument Gambang Kromong tersebut. Tetapi adapun yang terjadi dimana,
adaptasi yang dilakukan memberikan warna baru, memberikan kekhas-an dari Gambang Kromong sebagai sebuah
kesenian.
No comments:
Post a Comment