Tema: Review Tesis
Judul Tesis :
Struktur dan Fungsi Musik Prajurit Keraton
Kesultanan Yogyakarta
Pengarang : Budi
Raharja (1999)
Tulisan Budi Raharja yang berjudul
“Struktur dan Fungsi Musik Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta merupakan sebuah penelitian dengan hasil yang jeli. Hal
tersebut dikarenakan, penelitian Musik Prajurit ini tidak semata-mata meneliti
tentang musiknya saja, tetapi penulis berusaha menguak musik prajurit dari
konteks kehidupan sosial dan budaya masyarakat, serta sejarah panjang yang
mewarnai musik prajurit dari masa ke masa. Dalam keberlangsungannya, Musik
Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta berangkat dari sebuah budaya masyarakat yang
berkembang pada saat itu, baik disengaja ataupun sebaliknya. Adanya stimulan
tertentu sebagai penyebab munculnya Musik Prajurit sebagai sebuah karya yang
hingga kini dipertahankan.
Penelitian
berfokus pada tiga jenis musik, yakni: musik upacara garebek, musik barangan,
dan musik pencaosan. Ketiga jenis musik ini akan ditelaah dan dicari makna dari
ketiga jenis musik tersebut. Adanya pertimbangan akan unsur-unsur musik
seperti; ensemble (dari asal, bentuk, guna hingga fungsi), perbedaan ritme dari
gending, dan keadaan sosial masyarakat pada saat itu. Tulisan dari Budi Raharja
merupakan penelitian yang kreatif, dimana belum ada pemerhati musik layaknya
yang dilakukan oleh penulis. Ada beberapa pemerhati seperti Weni Elsih, dkk
dalam melakukan penelitian, tetapi yang dilakukan hanya meneliti satu bentuk
hal saja, sedangkan Budi Raharja seakan ingin menjelaskan secara jelas tentang
sebuah kesatuan yaitu Musik Prajurit.
Hal
pertama yang menjadi perhatian penulis adalah pembahasan akan kedudukan dan
peran prajurit dalam kehidupan sosial masyarakat. Penulis menceritakan
bagaimana awal mula perjalanan prajurit hinga saat ini. Yaitu mulai dari
pemberontakan pangeran Mangkubumi hingga zaman penjajahan oleh Belanda. Fungsi
prajurit pun dalam beberapa masa terus berkembang dan bertransformasi
berdasarkan kebutuhan dan keadaan sosial yang ada. Penulis membagi masa
keprajuritan dalam, periode pembentukan prajurit, periode campur tangan asing,
periode kejayaan Keraton Kesultanan Yogyakarta, dan periode penghentian
kegiatan prajurit serta rekonstuksinya untuk kepentingan pariwisata.
Dalam
periode pertama, periode pembentukan prajurit, yaitu menjelaskan dari masa
pemberontakan oleh Pangeran Mangkubumi hingga pemerintahan Sultan Hamengkubuana
I. Pangeran Mangkubumi memberontak keadaan, dimana kerajaan Mataram
bersengkongkol dengan Belanda dalam mendapatkan bantuan militer dan timbal
baliknya adalah penyerahan daerah kekuasaan. Adanya keadaan yang tidak seimbang
bahkan merugikan membuat Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan. Dalam
mendukung pemberontakannya, beliau membentuk prajurit dari kalangan bangsawan
dan rakyat jelata. Pemberontakan dimulai dari tahun 1746-1755, pemberontakan
panjang ini membebaskan lahan dari penjajahan, serta mendapatkan tawanan
pasukan Belanda, dan secara otomatis membantu Pangeran dalam memberontak.
Pemberontakan berakhir dengan adanya perjanjian Giyanti, yang membagi Kerajaan
Mataram menjadi dua wilayah, wilayah untuk Pangeran Mangkubumi dan Paku Buana
III.
Setelah
pembagian wilayah, Pangeran Mangkubumi mendirikan keraton di Yogyakarta. Dengan
sendirinya, prajurit pemberontak menjadi prajurit Keraton. Prajurit Keraton
ditempatkan di sekeliling Keraton, diluar benteng Keraton, hal tersebut
dimaksudkan agar penjagaan lebih awas dan lebih aman dalam perlindungan.
Kawasan prajurit dibagi menjadi 13 kampung, yakni; kampung Kumendaman, kampung
Prawirotaman, kampung Jagakaryan, kampung Bugisan, kampung Nyutran, kampung
Wirabrajan, kampung Patangpuluhan, kampung Mantrirejon, kampung Langenastran, kampung
Dhaengan, kampung Surakarsan, kampung Ketanggungan, dan kampung Suronatan.
Tugas dari para prajurit adalah mengawal Raja dan menjaga keamanan Keraton.
Pada
Pemerintahan Sultan Hamengku Buana ke II–V, disinilah merupakan periode campur
tangan asing dalam pengaturan Keraton, hal tersebut dikarenakan adanya konflik
dan tidak adanya kerja sama dari para bangsawan Keraton. Banyak konflik yang
terjadi karena kekuasaan dari Keraton, dan terulang kembali
perjanjian-perjanjian dengan pihak asing yang jelas merugikan pihak Keraton
pada akhirnya, terlebih pada Sultan Hamengku Buana ke V, dimana pajak dan
kekuasaan justru membunuh masyarakatnya sendiri, lalu tergeraklah Pangeran
Diponegoro dan melakukan pemberontakan kembali. Dan pada periode campur tangan
asinglah, peran Prajurit menjadi berubah, dimana tugas yang pada awalnya
sebagai keamanan dan angkatan perang menjadi prajurit yang mengawal Raja dan
kegiatan seremonial semata (setelah membantu Belanda melawan para pemberontak).
Pada
pemerintahan Sultan Hamengku Buna ke VI-VIII, merupakan periode kembalinya
kejayaan dari keraton Jogjakarta, dimana Belanda yang mengelola wilayah di
Yogyakarta, maka sebagai gantinya bangsawan menerima gaji dari Belanda, dari
sinilah ekonomi kerajaan maju. Perekonomian yang maju membuat sultan menjadi
sangat kaya, setelah itu kehidupan modern, kehidupan eropa mulai masuk dan
berkembang di Yogyakarta. Hal tersebut juga sangat berperan dalam perubahan
prajurit yakni dalam menyampaikan pesan politik melalui barangan, upacara
Garebek, dan Musik prajurit mulai dibuat. Kesenian di masa ini kembali
digalakan, sehingga kesenian pada saat itu dapat diunggulkan.
Periode
Terakhir adalah periode penghentian kegiatan prajurit serta rekonstuksinya
untuk kepentingan pariwisata. Dimana hal tersebut terjadi pada pemerintahan
Sultan HB ke IX-X. Kedatangan penjajah Jepang mengakibatkan segala kegiatan
Upacara dan hal yang berhubungan dengan Prajurit dihentikan total. Masa
Penjajahan Jepang inilah yang dianggap banyak menghilangkan banyak elemen dalam
Keraton. Setelah Jepang ditendang keluar, maka ada usaha dalam mengembalikan
nilai-nilai tersebut. Tetapi dalam pengembaliannya, tidak dapat dilakukan 100%,
adanya perubahan yang terjadi. Perubahan peran prajurit menjadi pelaksana
kegiatan seremonial, seperti upacara-upacara di Keraton, seperti Garebek,
Sekaten, Menyemarakan Upacara pengangkatan Sultan, dan hal pariwisata lainnya.
Hal pertama yang diperhatikan penulis adalah membahas tentang perjalanan dari
Prajurit dari awal hingga saat ini, dan hal tersebut dikaitkan dengan semua
aspek dalam melihat Prajurit, seperti halnya, keadaan sosial, tugas, dan peran
dari Prajurit tersebut. Sehingga dapat menambah wawasan yang lebih dalam
melihat Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta, dan dapat dikompare dengan
unsur selanjutnya, yakni, unsur Musikal.
Penulis
selajutnya memperhatikan tentang aspek Musikal dalam melengkapi penelitiannya.
Bentuk Ensambel, penggunaan dan Garis Komando Musik Prajurit Keraton Kesultanan
Yogyakarta. Aspek musikal di Jogja dipengaruhi banyak unsur, seperti musik
eropa dan musik jawa. Kedua unsur musik tersebut telah ada dan mengalami
perkembangan hingga sekarang. Musik Eropa atau Musik Prajurit Eropa dibagi atas
military call dan military band. Ensambelnya adalah penggunaan instrument musik tiup
tunggal atau gabungan. Sedangkan military
band menggunakan instrument tiup,
bermembran atau drum. Musik Prajurit Jawa meliputi bentuk-bentuk ensambel musik
prajurit di relief candi, pada seni pertunjukan Jawa, musik yang berkembang
dalam kehidupa sosial, musik prajurit keraton Mataram dan Kesultanan
Yogyakarta. Musik Yogyakarta pada awalnya menggunakan Tambur dan Terompet saja,
tetapi dengan perkembangan dan keadaan yang ada, Yogyakarta banyak meminjam
instrument dari luar, seperti dari prajurit Eropa (Tambur dan Suling),
Instrumen Barat (Tambur, Suling dan terompet), dan Instrument Campuran (Tambur,
Suling, Bende dan Kecer), dan ditambah Instrumen daerah lain (Pui-Pui (Sulawesi
Selatan) dan Ketipung).
Pada
dasarnya kegunaan Musik Prajurit sebagai Musik upacara, untuk membantu menjaga
keamanan keraton, dan untuk penyampaian pesan politik. Musik Upacara meliputi
Gabebek (Maulid, Syawal, dan Garebek Besar), Penobatan Raja (penagkatan Sultan
HB X), Penguburan Jenazah, Pawai Festival-festival. Membantu menjaga keamanan
Keraton diaplikasikan dengan tanda waktu dibuka-tutupnya pintu gerbang Keraton
dan Plekung (Lagu yang digunakan adalah Gending Pecaosan). Untuk penyampaian
pesan politik, dahulu Barangan dimainkan setelah upacara Gerabek, atau
menandingi musik prajuruti barat.
Setelah
dua pokok pembahasan diangkat, yaitu aspek Prajurit dan aspek Musikal, maka
proses penganalisisan dilakukan. Dimana poin yang terangkat adalah musik Garebek, Barangan dan Pencaosan. Ketiga jenis musik inilah
yang akan dianalisis sebagai musik yang dipunya Musik Prajurit. Ketiga jenis
musik ini akan dipecah dalam element bentuk lagu, notasi, tempo atau ritme
musik dan irama. Musik Garebek dibagi atas unsure ritual dan politik. Ritual
dapat dilihat pada penggunaan benda keramat, atau digunakannya musik sebagai
penghormatan, sedangkan politik adalah penggunaan alat musik yang berasal dari
Sulawesi Selatan, Barat dan Jawa. Gending yang dimainkan juga dibagi atas semua
jenis pasukan di Keraton, seperti Prajurit Wirabraja yang menggunakan gending
Rotadedali. Prajurit Dhaeng yang
menggunakan Gending Kenaba, Prajurit Jagakrya
menggunakan gending Slegandir, Prajurit Mantrirejo menggunakan gending
Slahgunder, Prajurit Patangpuluh yang menggunakan gending Mars Gembira,
Prajurit Prawiratama yang menggunakan Gending Mars Balang, Prajurit Nyutra yang
menggunakan gending Mars Balang (tetapi berbeda dalam tambur dan suling),
Prajurit Ketanggung yang menggunakan gending Bimakurda, Prajurit Bugis
menggunakan Gending Ondhal-andhil (Gending pinjaman dari pasukuan Dhaeng), dan
Prajurit Surakarsa menggunakan repertoar lagu sumedang.
Musik
Prajurit ini dibahas secara jelas dan rinci dimana, dikuak mulai dari kalimat
lagu, ensamble yang digunakan, arti dari gending, ritme gending, adaptasi
gending atau adaptasi alat musik dan adaptasi gending dari gending lain. Musik Prajurit juga mempunyai mars tersendiri,
seperti Prajurit Wirabraja yang mempunyai gending Dayungan, Prajurit Dhaeng
mmepunyai Gending Ondhal-andhil, Prajurit Patangpuluh mempunyai Gending
Bulu-bulu, Prajurit Jagakarya mempunyai Gending Tameng Medura, Prajurit
Mantrirejo mempunyai Gending Marstok, prajurit Prawiratama mempunyai Gending
Vandeberg, Prajurit Nyutra mempunyai Gending Surengprang, Prajurit Ketanggung
adalah Gending Lintrik Emas, Prajurit Bugis Gending Ondhal-andhil (pengembangan
4 cengkok pada pui-pui), Prajurit Surakarsa meminjam Gending Indraloka atau
Sumedang. Pada penggunaannya, musik prajurit ini tidak hanya mengiringi proses
upacara tetapi juga digunakan sebagai penyampai politik.
Setelah
Musik Garebek, adapun musik lainnya, yakni Musik Barangan. Musik Barangan
dilaksanakan setelah upacara garebek maulud dan syawal. Gending yang dibawakan
adalah, Surceli, Kokis-kokis, Balo-balo, Balo Keling, Thinthing Gundha, Roro
Tangis, Rangket. Gending ini dimainkan dengan ensambel suling dan tambur,
sedangkan Rangket dimanikan seperti ensambel Prajurit Ketanggung. Tujuan dari
Barangan ini adalah menyampaikan pesan politik dari sultan. Dari Gending
tersebut seperti menyuarakan akan meminta ketegasan para perwira untuk mengusir
Belanda dan Barangan merupakan bagian akhir dari peringatan raja kepara perwira
Keraton. Adapun Jenis Musik yang terkahir adalah Musik Pencaosan, Gending yang digunakan sebagai tanda dibuka
dan ditutupnya pintu Gerbang Plengkung dan Gerbang Keraton. Gending ini sangat
dipengaruhi dengan karawitan jawa. Gending tersebut adalah, Gending Repeli
Minggah Clunthang (sebagai tanda dibukanya pintu gerbang Plengkung) dan Gending
Kinjengtrung Minggah Dongji (sebagai tanda ditutupnya pintu gerbang), Gending
tersebut disajikan dengan ensambel Suling, Tambur dan Terompet. Gending pertama
ini digunakan pada Jam 05.00 pagi hari, Gending yang agak ramai ini dimaksudkan
agar para warga bangun, dan Gending kedua ini digunakan pada jam 18.00 Petang.
Gending ini menandakan agar orang sudah harus berada di dalam rumah. Gending
terkahir adalah Gending Sumedang (sebagai tanda ditutupnya pintu Gerbang
Keraton. Gending ini menandakan bahwa semua kegiatan di Keraton telah berakhir.
Dari uraian diatas menyatakan bahwa Musik Prajurit ini tidak hanya digunakan
sebagai kepentingan politik saja, tetapi juga untuk kepentingan keamanan
Keraton.
Penjelasan
diatas menjelaskan bahwa musik Keraton dipengaruhi oleh Prajurit persahabatan
Sulawasi Selatan, Prajurit Keraton dan Prajurit Belanda, ketiga unsur prajurit
ini mempengaruhi penggabungan instrument dalam membentuk ensambel dengan adanya
ciri khas ensambel dari setiap gendingnya. Penggabungan instrument pada gending
dilakukan tidak hanya dalam keharmonisan suara gending tetapi juga unsure
politik yang terkandung. Fungsi musik prajurit terbagi atas, dalam Garebek
digunakan untuk mendukung pamer kekuatan prajurit Keraton, dalam Barangan
digunakan untuk alat penyampaian pesan politik, dalam Pencaosan digunakan untuk
keamanan keraton dan persaingan politik melalui budaya. Walaupun Musik prajurit
tercampur atas beberapa gabungan pengaruh, tetapi ritme gending jawa tetaplah
menjadi dasar dari gending, faktor pembuatan dan faktor pembuatlah yang
menjadikan musik prajurit ini tetap pada identitas aslinya, Musik Prajurit
Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Tesis
karya Budi Raharja merupakan Tesis yang cukup baik, tetapi dalam pembacaannya,
tetap saja mempunyai kekurangan, dan hal tersebut dapat dirasakan. Tesis yang
mempunyai tebal 329 halaman ini merupakan sebuah karya yang baik dalam bentuk
jumlah halaman, tetapi dalam kenyataannya semakin banyak halaman, maka penulis
harus semakin berhati-hati. Kesulitan penulis sebelumnya adalah pada rentetan
sejarah yang harus diperhatikan dan hal tersebut berkaitan dengan rentetan
jenis musik yang akan dibahas. Pada Tesis ini, penulis membaginya atas 3 bab
utama, yaitu bab prajurit, bab asal musikal, dan bab yang terkahir adalah bab
musikal prajurit dari Keraton Yogyakarta. Bab pertama penulis berusaha
mengangkat sejarah panjang dari prajurit Kesultanan Yogyakarta, memang sudah
cukup baik, penulis berusaha menjelaskan sejarah secara panjang dan lebar,
bahkan menurut saya terlalu melebar, sehingga tidak ada pemfokusan dari bab
tersebut, karena porsi sub bab sama dan tidak ada penekanan. Padahal yang
diangkat pada tesis ini adalah jenis musik Garebek, Barangan dan Pencaosan.
Penulis
sudah membuat sungguh baik tetapi kurang effisien dalam hal ini. Hal tersebut
juga terulang di bab musikal. Penulis
berusaha menjelaskan secara jelas, tetapi penjelesan yang diangkat sangatlah
general, sehingga ada bagian-bagian yang tidak perlu. Pada Bab isi dan
penjelasan, barulah menurut saya penulis menulis tentang isi Tesis yang
sebenarnya, porsi dari setiap bagian sudah pas, dilengkapi semua unsur musikal
dari setiap prajurit dan setiap jenis musik, yakni Garebek, Barangan dan
Pencaosan. Penulis mencoba mengaplikasikan setiap gending dengan notasi yang
dapat dipelajari, dan penulis membuat notasi semua gending dari musik Prajurit
dan itu sangat membantu pembedaan antar gending yang satu dengan yang lain.
Notasi yang dilakukan tidaklah seperti halnya not balok ala barat, karena
adanya pemedaan antar musik jawa yang pentatonic dan musik barat yang diatonic.
Penulis telah membuat semua notasi yang dibuatnya dengan adanya penjelasan
secara rinci. Tulisan Budi Raharja ini membantu para pemerhati musik prajurit
dalam pemahaman, dan sangat menambah referensi sebagai bahan pembelajaran
etnomusikologi di masa mendatang. Secara garis besar, Tesis tebal ini sungguh
baik dalam isi, karena sudah sangat menjelaskan secara menyeluruh dari musik
Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment