Sumber daya Arkeologis pada Kesenian Kuntulan
Michael
Haryo Bagus Raditya
Abstrak
Kuntulan, merupakan sebuah kesenian
rakyat yang memadukan nuansa islami, seperti halnya bacaan ayat dan musik, dan
gerakan tarian pencak silat sebagai tarian dasar para penari. Dalam
keberlangsungannya, Kesenin Kuntulan telah menjadi kesenian rakyat yang sangat
vital bagi masyarakat. Selain untuk alat komunalistik masyarakat, kesenian
Kuntulan juga sangat erat dengan Agama. Membahas “teks” dalam sebuah kesenian
merupakan pekerjaan pokok dalam mengungkap seberapa penting peran kesenian
tersebut, sehingga konteks menjadi nilai yang dapat menyempurnakan kesenian
tersebut. Dalam hal ini, Kuntulan sebagai kesenian tari dan musik, yang
memadukan pencak silat sebagai tarian, terbang dan ayat sebagai musik dari
tarian. Menilik kembali sebuah kesenian dari akarnya akan membuat kesenian
tersebut lebih bernilai, sehingga penghargaan pada masyarakat akan lebih tinggi.
Pada hal ini Kuntulan akan dikaji dengan menggunakan teori semiotic, melihat
peran kesenian sebagai “Teks” dan Fungsionalisme, untuk melihat seberapa besar
peran kesenian Kuntulan bagi masyarakat.
Kata
Kunci: Kuntulan,
Arkeologis, Lokal Genius, Kesenian Rakyat, Etnomusikologi
Gerak menghentak, diikuti dengan
kuda-kuda serta pukulan dan tendangan layaknya orang sedang berkelahi,
dibarengi dengan tabuhan terbang, dan
para penyanyi menyanyikan syair dalam bahasa Arab, gerakan terus terjaga, dari
satu pukulan ke pukulan lain, dari satu kuda-kuda ke kuda-kuda lain. Hal ini
merupakan serangkaian pertunjukan dari Kesenian Kuntulan. Ya, begitulah orang
memanggilnya Kuntulan. Sebuah kesenian yang mencampurkan bela diri dan alunan
Islami sebagai suatu kesatuan. Bela diri Pencak Silat milik Melayu didendangkan
dengan ayat-ayat Islami sehingga menghasilkan kesenian yang terdiri dari nilai
luhur agama dan nilai kesenian bela diri. Campuran sebuah hal yang berbeda
tetapi menjadi sebuah kesenian yang menjadi kekayaan budaya Jawa pada
khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Kesenian Kuntulan ini tersebar di segala
penjuru Jawa, tidak hanya dipesisir tetapi di daerah-daerah pedalaman. Memang
bila dilihat secara seksama, kesenian ini merupakan kesenian yang sudah tua,
tetapi dalam pelaksanaannya kesenian ini merupakan kesenian yang unik, hanya
ada detap kagum bila halnya menyaksikan secara langsung. Hal tersebut pun juga
saya alami ketika menjalani KKN[1]
pada program Sarjana saya. Yang terjadi adalah saya ikut mempelajarinya dan
mempertanyakan Kuntulan sebagai sebuah kesenian, karena Kuntulan merupakan
sebuah kesenian yang mementingkan nilai kebersamaan yang kuat.
Dalam Perkembangannya, Kesenian Kuntulan
mengalami pasang surut dalam eksistensinya. Terkadang mengalami banyak
panggilan dalam pertunjukan, terkadang mengalami sepi panggilan, ya memang bila
hanya sebuah kesenian dalam ranah bisnis, harus dilakukan dengan manajemen yang
ulet dan konsisten. Sebenarnya hal tersebut tidak dapat dilihat dari aspek
bisnis saja, karena panggilan dalam pertunjukan Kuntulan didasari atas
hari-hari besar saja, seperti halnya Maulid, Idul Fitri, Idul Adha, Pernikahan,
17 Agustusan, Sunatan, dan banyak acara lainnya. Dalam keberlangsungannya, kesenian
Kuntulan masih terjaga pada daerah-daerah pedalaman, dikarenakan pada daerah
pesisir, pengaruh yang masuk akan lebih cepat diterima. Tetapi dalam
perkembangannya Kesenian Kuntulan dapat dikatakan terancam, hal tersebut
terbukti dari hasil wawancara saya terhadap Simbah Kuntulan di Sebuah Dusun di
Pekalongan, beliau berkata bahwa “dahulu setiap dusun mempunyai Kuntulan,
tetapi kini hampir setiap dusun melupakannya”, adanya penuruan dari Grup
Kuntulan, menyisakan beberapa grup saja yang bisa bertahan sampai sekarang.
Sehingga pembibitan akan pelestarian Kesenian Kuntulan menjadi berkurang dan berimplikasi
terhadap kepunahan akan kesenian.
Sebenarnya penyebab dari itu semua
adalah globalisasi, sebuah kemajuan akan meninggalkan hal-hal yang dianggap
lama, dan timbul hal-hal baru, seperti halnya yang terjadi di Pekalongan, bahwa
Kuntulan terancam punah karena berubahnya kecintaan pada kuntulan menjadi
kecintaan kepada Musik Dangdut. Kesenian Kuntulan kalah dalam bersaing dengan
Kesenian Musik Dangdut, yang menjanjikan partisipasi dan perempuan-perempuan
sebagai pemanis dari Musik tersebut. Sehingga Kesenian Kuntulan makin terancam
posisinya sebagai sebuah kesenian rakyat. Hal tersebut terjadi hingga sekarang,
dan posisi kuntulan menurun tajam dalam penampilan. Grup Kuntulan pun kini
dapat dihitung dengan jari, Kesenian Kuntulan menuju ke ranah kepunuhan.
Kesenian Kuntulan yang selalu bermain di masyarakat jawa menjadi identitas
masyarakat sebagai masyarakat yang taat beragama. Identitas masyarakat yang
Islami, yang kuat terhadap agama, dengan menampilkan Kesenian Kuntulan yang
kuat dengan ayat-ayat Islami, menjadi bergeser dan mulai ditinggalkan. Kesenian
Kuntulan mulai terkikis dan hanya menjadi sebuah warisan yang dikenang. Karena
masyarakat lebih menyukai hal-hal yang bersifat profan.
Bila dihubungkan dengan kasus diatas,
perkembangan Kesenian Kuntulan yang semakin menurun, yang berhubungan dengan
terkikisnya identitas. Terkadang harus di telaah kembali bagaimana Kuntulan
tersebut menjadi sebuah kesenian. Sehingga Identitas Kuntulan dapat terlihat
kembali dan menyimpan sebuah makna yang besar dalam pembuatannya dan lebih
dihargai sebagai sebuah kesenian. Pengkajian kesenian secara teks menjadi
penting ketika ingin mengurai kesenian hingga dasar dari kesenian tersebut, dan
tidak lupa konteks dari kesenian tersebut juga turut ditelaah sebagai acuan dari
kesenian tersebut terbuat. Pengkajian Teks dari kesenian kuntulan, dikaji
secara Arkeologis agar teks tersebut dapat dijelaskan secara gamblang. Menurut
Timbul Haryono, Arkeologis itu sendiri merupakan ilmu yang mempelajari
kebudayaan dan peninggalan masa lampau serta manusia dalam aspek kehidupan.
Arkeologi lebih kepada benda dan karya sebuah manusia dalam kebudayaan. Haryono
juga menambahkan bahwa arkeologi berusaha mengungkapkan kehidupan masa lampau
melalui budaya material yang ditinggalkannya (1984:5). Budaya Material adalah
sebuah sistem simbolik yang maknanya dikomunikasikan melalui aspek spesifik
budaya seperti bentuk, warna, tekstur, atau suara yang kesemuanya dicapai
melalui sebuah proses yang telah dipilih (Conkey, 1990:13). Teks atau material tersebutlah
yang akan dikaji dalam kasus Kesenian Kuntulan tersebut.
Sebenarnya, banyak kesulitan yang
dialami para arekolog dalam menemukan objek material dari sebuah hal, seperti
halnya objek arkeologis terkadang tidak lengkap. Selain itu, tidaklah mudah
memberi batasan yang tegas pada kajian arkeologi, mengingat sifat data
arkeologi selalu berkembang mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Restiyadi, 2008: 3). Maka itu adanya dasar-dasar yang menjadi landasan bagi
pengkajian kesenian seperti kuntulan
yaitu, berhubungan dengan sumber
arkeologis dalam pembuatan dan proses dari sebuah kesenian tersebut. Sumber
tersebut dapat berupa natural,
fenomena atau cultural resources.
Dari sumber tersebutlah data arkeologis dapat dikumpulkan dalam melengkapi
Kuntulan sebagai kesenian.
Kesenian Kuntulan merupakan kesenian
yang digunakan sebagai wujud rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan YME, dengan
adanya puji-pujian kepada Tuhan YME, membuat masyarakat lebih dekat kepada sang
empunya kehidupan. Penggunaan Kesenian Kuntulan pada acara-acara masyarakat
jawa, walaupun telah mengalami penurunan dari masa ke masa, kendatipun demikian
kuntulan tetaplah menjadi sebuah kesenian masyarakat. Kesenian Kuntulan pernah
jaya pada masanya, dan Kuntulan pun menjadi identitas masyarakat. Kesenian
Kuntulan dapat menghasilkan sumber daya pada aspek lainnya, seperti sosial,
ekonomi, dan agama. Kuntulan menjadi sebuah hal yang mendasar bagi aspek
kehidupan masyarakat. Kuntulan sebagai sebuah kesenian terbukti sangat kuat
dimana kesenian Kuntulan dan masyarakat saling mengisi dalam nilai-nilai
kehidupan.
Kesenian Kuntulan yang mempunyai nilai
peran yang besar dalam masyarakat. Tetapi tidak dapat dimengerti mengapa hal
tersebut dapat terjadi, maka itu, adapun pertanyaan yang diangkat dalam makalah
ini sebagai permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan tersebut adalah:
- Apa yang menyebabkan Kesenian Kuntulan mempunyai peran yang kuat pada masyarakat?
- Bagaimana konsep material dari Kesenian Kuntulan sebagai sumber Arkeologis?
Dalam
kasus mengungkap sumber arkeologis, penelitian ini ditujukan pada pembahasan
secara jelas tentang teks terbuat. Maka itu pemecahan kesenian dengan
mengkonstruksi ulang kesenian menjadi hal yang perlu, karena dipercaya dapat
melihat bagaimana kesenian tersebut terbentuk. Pada masalah ini adalah memecah
Kuntulan sampai akar-akarnya.
Sedangkan landasan teori yang akan
digunakan adalah teori semiotik dalam mengungkap kesenian. Semiotik merupakan
pembahasan yang tepat setelah kesenian telah dipecah dalam berbagai unsur,
dimana semiotik dapat mengartikan makna dari sebuah hal yang ada, entah dari
bahasa bentuk bahkan kebudayaannya. Proses dari kesenian kuntulan pun dipecah
ke dalam ranah behavioral kesenian, dimana unsur-unsur tersebut menjadi dasar
dari proses make tersebut. Landasan lain yang digunakan adalah teori
fungsional, dimana semua hal yang ada berfungsi membentuk hal yang baru dan
berfungsi di setiap unsurnya dengan saling melengkapi.
Kuntulan sebagai sebuah
Kesenian
Kuntulan sebagai sebuah kesenian, tidaklah
terjadi begitu saja, Kesenian merupakan karya dari kebudayaan manusia, dan
kesenian tersebut merupakan lambang dari beberapa potongan dari budaya
masyarakat. Berhubungan dengan hal tersebut, dalam mengungkap potongan
kebudayaan yang terealisasi dalam bentuk kesenian ini, maka mengungkap sumber
arkeologis dari kesenian Kuntulan ini pun menjadi hal yang penting. Dengan
membahas kesenian dari scope pemanfaatan sumber daya seni tersebut terjadi,
penjelasan akan “teks” dari kesenian akan terungkap. Seperti halnya pada kasus
ini adalah Kesenian Kuntulan.
Kesenian Kuntulan merupakan sebuah
kesenian tradisional masyarakat yang digunakan masyarakat sebagai ucapan
syukur, dengan menggunakan instrument terbang
dan bedug (bagi kuntulan yang
sederhana) ditambah dengan jidor,
kendang, gong bahkan organ (kuntulan
sekarang atau Kundaran), dan pada syair menggunakan ayat Al-Barzanji, selain
itu untuk para penari menarikan gerakan pencak silat secara bersama-sama.
Kuntulan sangat bernuansakan islami, dikarenakan pembacaan kitab Al-Barzanji
sebagai syair utama dalam Kuntulan. Sebelum lebih jauh mendalami kuntulan,
sebenarnya arti kuntulan secara harafiah adalah burung kuntul (semacam bangau
putih tapi berekor pendek dan larinya sangat cepat). Penamaan burung kuntul
terhadap kesenian ini dikarenakan para penari yang menggenakan baju putih
layaknya burung kuntul atau bangau putih. Menurut budayawan Banyuwangi, Sutedjo HN, kuntul sebagai simbol
adalah artian dari gaya hidup sosial yang mementingkan kebersamaan dan
kekeluargaan, dan hal tersebut diilhami dari burung kuntul yang memanggil
teman-temannya disaat mendapatkan makanan[2].
Kesenian kuntulan itu sendiri berkembang
di daerah pesisiran pantura, terutama pada tahun 1990an group kuntulan semakin
banyak di desa-desa pesisir seiring dengan berkembangnya perguruan-perguruan
pencak silat, dan setelah itu karena perkembagngannya yang pesat juga masuk ke
daerah pedalaman[3].
Sebenarnya tidak ada yang dapat memastikan Kuntulan berkembang sejak kapan,
tetapi dari data yang didapat, Kuntulan mulai berkembang sejak tahun 1920an,
hal tersebut dibuktikan dengan tulisan seorang antropolog, John Scholte. Dalam
tulisannya, John menceritakan bahwa telah ada sebuah kesenian yang membaca
Al-Barzanji dengan diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada di Banyuwangi[4].
Hal tersebut jelas memastikan posisi Kuntulan sebagai kesenian tua. Yampolsky
juga menekankan tentang adanya Kuntulan di banyuwangi yang dimainkan oleh para
muda-mudi dan para murid sekolah (1995:720). Penyelenggaraan Kesenian Kuntulan
biasanya pada karnaval agutusan, acara keagamaan, ucapan syukur, karnaval akhir
pelajaran madrasah, tetapi dalam perkembangannya, penyelenggaraan semakin
jarang. Kuntulan sebagai kesenian mempunyai banyak panggilan khusus, seperti
Terbang Kuntul[5]
atau Hadrah Kuntulan[6].
Hal tersebut disesuaikan kepada daerah mana yang menggunakannya.
Menurut Koentjaraningrat (1994:213),
mengenai seni tari dan drama rakyat ada suatu aneka warna yang luas berdasarkan
lokasi, tetapi pada umumnya di seluruh daerah kebudayaan Jawa pertunjukan seni
rakyat bisa berwujud: Fragmen tarian drama memakai topeng, pelawak-pelawak
bertopeng yang menari dan menyanyi, pertunjukan dengan penari yang berpakaian
menyerupai raksasa, tarian kuda kepang, tarian yang ditarikan gadis-gadis
remaja, pertunjukan sulap, pertunjukan wayang kulit, pertunjukan ahli cerita
dan pertunjukan yang berorientasi pada Islam. Hal tersebut membuktikan bahwa
kuntulan menempati posisi kesenian dari kebudayaan masyarakat jawa.
Dalam pertunjukannya, penari pada
Kesenian Kuntulan biasanya berjumlah 10-40 penari tergantung dari kebutuhan
acara, dan sekitar dua sampai tiga penyanyi, dan tiga sampai tujuh pemain musik
yang memainkan terbang dan bedug. Para penyanyi menyanyikan syair-syair dari
Al-Barzanji dan para penari melakukan gerak pencak silat bersama-sama, semua
penari melakukan pencak-pencak yang seragam, sehingga pencak silat tersebut
seperti layaknya tarian yang seragam. Busana yang digunakan para pemain
Kuntulan jelas berwarna putih karena mewakili burung Kuntul, sedangkan pemusik
dan penyanyi menggunakan sarung dan baju koko. Kesenian Kuntulan ini terbagi
atas tiga unsur dasar yaitu vokal, musik dan tarian.
Dalam ranah musik, musik Kuntulan
merupakan penerapan dari musik arab yang bersifat Islami, memang hal tersebut
dapat dibuktikan seketika dengan mendengar langsung musik yang diperagakan oleh
para pemain. Tetapi, selain itu, Mubarok menekankan tentang Islam di Indonesia
merupakan Islam yang langsung dari Arab pada abad VII M, dan daerah pertama
adalah pada kerajaan Samudra Pasai (2004:224). Masuknya agama Islam langsung
dari para pendatang Arab mengakibatkan tidak hanya agama saja yang dibawa,
tetapi aspek lainnya juga ikut dibawa baik yang berhubungan dengan agama, dan
juga yang tidak berhubungan dengan Agama, salah satunya adalah musik terbang.
Terbang menjadi alat musik yang mendasar dalam kesenian Kuntulan ini. Menurut
Ganap, Musik Arab terbagi menjadi dua, yakni musik yang islami dan musik yang tidak
islami, musik yang tidak islami seperti halnya Alud, sedangkan musik islami
adalah terbang. Karena pada dasarnya
musik terbang tidak bernada atau bersifat monothon, dan musik islam merupakan
musik yang monothon. Monothon merupakan ibarat musik surgawi, seperti halnya
berzikir atau pembacaan ayat yang bersifat monothon. Jadi Terbang merupakan
musik islami. Sehingga dapat dikatakan bahwa musik dari Kuntulan bernuansa
islami.
Sedangkan dalam kancah vokal, atau
pembacaan teks dari penyanyi, Kesenian Kuntulan menggunakan kita Al-Barzanji
sebagai syair dalam nyanyian. Sebenarnya kitab Al-Barzanji tersebut terbagi
menjadi tiga bagian, yakni: Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi, Syair-syair pujian dan sanjungan
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah,
Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Abidin, 2009:23). Kitab Al-
Barzanji tersebut merupakan kitab yang ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi
al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan
Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya
adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kitab Al-Barzanji ini
menjadi kitab panutan dalam Kesenian Kuntulan, selain lebih populer bagi
masyarakat, juga menceritakan sebuah perjuangan dari Nabi, sehingga dalam
penggunaannya, kerap digunakan sebagai rasa syukur, rasa perjuangan, dll. Kitab
Al-Barzanji merupakan sumber arkeologis yang bisa dipertanggung jawabkan
sebagai sumber daya dari kesenian Kuntulan.
Unsur mendasar lainnya adalah pada
tarian, dimana tarian sangat mewarnai dari pertunjukan Kuntulan ini. Tarian
pada kuntulan bukanlah tarian yang halus atau tarian jawa lainnya, karena
dominasi laki-laki pada tarian, dan perkembangan pencak silat yang luar biasa
berkembang hingga masuk ke daerah pelosok tanah air, maka Pencak Silat lah
sebagai tarian dari para penari kuntulan. Menurut Draeger, bukti adanya bela diri tertera pada
berbagai artefak senjata, serta pada relief-relief sikap kuda-kuda di candi
Borobudur dan Prambanan. Beliau juga mengatakan bahwa seni bela diri silat
bukan hanya sebagai olah tubuh, melainkan juga hubungan spiritual yang didapat.
Silat masuk ke dalam ranah seni difaktorkan karena nilai pencak sebagai
pralambang seni, dimana seni yang diutamakan, bukan untuk berduel[7].
Adapun ciri khusus bahwa pencak silat merupakan kesenian, adanya kaidah pada
gerak dan irama, yang membutuhkan suatu pendalaman yang khusus, dan adanya
ketentuan-ketentuan, keselarasan, keseimbangan dan keserasian. Pencak silat
menjadi gerak pada tarian Kuntulan, juga dikarenakan sebagai rasa perjuangan
dari kitab al-Barzanji. Dari ketiga unsur mendasar tersebutlah menjadikan
sebuah kesenian rakyat kuntulan. Dimana ketiga hal tersebut menjadi teks dari
sebuah kesenian yang bernama Kuntulan.
Pemanfaatan sumber daya kebudayaan
terjadi pada Kesenian Kuntulan, dimana unsur-unsur yang terkandung pada
Kesenian kuntulan adalah produk kebudayaan, produk hasil karya manusia sebagai
teks dan dalam konteks. Haryono menjelaskan bahwa hadirnya sebuah golongan di
sebuah Negara akan menyebabkan lahirnya bentuk seni pertunjukan yang sesuai
dengan selera golongan itu, yang salah satunya adalah folk art (2008:132).
Kuntulan merupakan kesenian rakyat, dan kemunculan dari Kuntulan karena adanya
sebuah golongan, seperti halnya golongan keagamaan, dan dalam pembuatannya
menghubungkan semua keadaan yang ada pada masyarakat. Sebuah kebudayaan akan
bertahan dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, sepanjang
masih dibutuhkan dan memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat (Haryono, 2008:133). Hal tersebut terjadi karena
manusia bersifat dinamis dan terus bergerak menuju kearah yang lebih maju. Kuntulan
pun mengalami hal demikian, dimana adanya pasang surut dalam penampilan dan
penggunaannya, tetapi karena adanya kepentingan kebudayaan atau penggunaan,
maka Kuntulan tetap dijaga walaupun dalam jumlah yang sedikit.
Dalam ranah Arkeologis, dimensi bentuk,
ruang dan waktu telah diaplikasikan pada Kesenian Kuntulan, dimana bentuk
kesenian kuntulan tersebut, dengan ruang pemanfaatan sumber daya bagi kuntulan,
dan waktu pembuatan kesenian tersebut, sehingga telah membingkai kesenian
kuntulan pada ranah bentuk kesenian pada ruang pemanfaatan di waktu pembuatan.
Sehingga menjadi jelas ketika, pengutaraan dari objek material kesenian
Kuntulan tersebut. Proses arkeologis yang dikaji dari kesenian Kuntulan ini adalah
pada ranah buat atau “make”, dimana gabungan ketiga unsur dasar seperti, teks,
musik dan tarian terbuat menjadi sebuah kesenian yang baru bernama Kuntulan. Setiap unsur seperti halnya teks, musik dan
tarian terbentuk dari proses “make” juga, tetapi telah bertransformasi menjadi
bahan dasar kembali dan menjadi sumber arkeologis dari “make”, karena
unsur-unsur tersebut merupakan sumber daya budaya masyarakat. Pada
proses-proses pembuatan sebuah karya dibutuhkan sebuah inovasi, dan inovasi
tertuang bila adanya sumberdaya, need,
opportunity dan genius. Sumber daya disini adalah sumber daya dari alam,
sosial, budaya. Kebutuhan disini adalah kebutuhan masyarakat dalam suatu hal
sehingga menciptakan karya, kesempatan disini adalah adanya peluang dan
kesempatan dalam membuat suatu karya, dan genius sebagai ide pokok individu
yang menjadi ciri khas tersendiri dalam sebuah karya. Keempat faktor
tersebutlah yang menjadikan sebuah kesenian, termasuk Kuntulan.
Berbicara tentang faktor inovasi dari
proses pembuatan, lokal genius merupakan point yang penting karena hal tersebut
merupakan faktor origin dari sebuah kebudayaan. Local Genius menurut Quartich
Wales merupakan sikap kultural yang secara mayoritas dimiliki masyarakat luas
yang berdasarkan pengalaman di masa lampau, mampu bertahan menghadapi pengaruh
kebudayaan asing ketika terjadi kontak, mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya
luar, mampu mengintegrasikannya ke dalam budaya asli dan mampu mengendalikan
dan memberikan arah pada perkembangan kebudayaan. Yang dapat diartikan sebagai
basis kebudayaan yang tidak tertutup pada perkembangan sebuah kebudayaan atau
kemanjuan lain, tetapi dapat menseleksi kebudayaan mana yang patut
dipertahankan dan dijadikan identitas dari lokal genius itu sendiri.
Membicarakan tentang Kesenian Kuntulan, tidak akan pernah ada habisnya, tetapi
ketika kesenian tersebut dibatasi, dalam ranah local genius, kesenian kuntulan
dapat mengakomodir semua kebudayaan tanpa harus menghilangkan kebudayaan asli,
dimana adanya gerakan tarian yang khas Indonesia turut dipadukan dengan kebudayaan
islam di Indonesia.
Dalam hal ini untuk mengungkap kesenian
Kuntulan dari ranah arkeologis dapat menggunakan teori semiotika, semiologi
sebagai induk dari semiotika merupakan ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dalam
masyarakat. Semiotika tidak membatasi diri pada sistem kebentukan dari sebuah
kesenian, tetapi menghubungkan bentuk dengan konteksnya. Dimana semiotika akan
mengulas dari teks kesenian tersebut. Pada kasus Kuntulan ini teks yang akan
dibahas adalah teks pada vokal, dimana hal tersebut yang paling terlihat dan
dapat diungkap secara teks dan konteks. Setelah ditarik sebuah ayat dan
artiannya sebagai sebuah pandangan dari kesenian Kuntulan, ayat yang digunakan
dalam Kuntulan adalah sebuah pujian dan perjalanan Nabi, sehingga bila
dihubungkan dengan koteks yang ada dalam penggunaan pada Kuntulan ini, adalah
sebagai ucapan rasa syukur kepada Nabi dan Tuhan YME, dan dalam penggunaannya
digunakan dalam ucapan-ucapan rasa syukur dari warga. Dari perekembangannya
memang semenjak abad VII M, Perkembangan Islam di Indonesia menguat bahkan
menjadi Agama Mayoritas di Indonesia ini. Sehingga dalam perangkatnya, semua
hal yang berhubungan masuk dan diterima menjadi kebudayaan Indonesia.
Dalam
Semiotika, bahasa dan teks menjadi hal yang terpenting dalam menjadi sumber,
hal tersebut ditekankan oleh Marinis bahwa the
textual analysis of performance clearly abandons the search for the definition of
language of theater or arts (1993:3). Kekuatan bahasa menjadi hal yang
utama dalam mengungkap kesenian. Dengan basis bahasa maka dapat diketahui
secara teks dan konteks dari sebuah kesenian tersebut. Tetapi hal tersebut
harus didukung dengan penggunaan kesenian tersebut, karena not all performances can be considered automatically as performance
texts. Semiotik secara tekstual merupakan contoh dari performance
phenomenon, dimana sebuah teks dikaitkan pada sebuah kejadian, karena teks
tidak akan dapat diketahui secara jelas bila berdiri sendiri tanpa adanya
konteks yang digunakan pada sebuah pertunjukan kesenian. Bila ditelaah lebih
lanjut, tidak hanya pada teks, tetapi indek pada ikon dan simbol dari tarian bahkan
alat musik. Dimana tarian mempunyai simbol-simbol sebagai suatu tanda yang
konvensional yang memiliki makna umum. Seperti halnya Kuntulan, pencak silat
merupakan tarian dari kesenian kuntulan tersebut. Pencak silat itu sendiri
merupakan simbol dari perisai diri, dimana gerakannya merupakan perlindungan
diri, tetapi dengan mengedepankan seni sehingga kecantikan gerakanlah yang
dipertunjukan terlebih pada tarian.
Setelah
dijelaskan dengan semiotik, hal yang digunakan adalah melihat hubungan antar
unsur dalam kesenian kuntulan ini. Maka itu dianggap perlu menggunakan teori
Fungsionalisme. Pada dasarnya teori fungsionalisme
adalah integrasi kebudayaan, penggabungan semua unsur yang ada. pendekatan yang
mencakup semua aspek dan berhubungan satu dengan yang lain. Antara satu dengan
yang lain mempunyai fungsi masing-masing dan mempunyai fungsi bersama. Dalam
artiannya, fungsi terbagi atas hubungan kovariabel, hubungan yang mandiri dan
berdiri sendiri. Hubungan kausal, hubungan sebab akibat. Hubungan antar unsur,
seperti halnya religi-bahasa, adanya saling berhubungan. Adapun dasar dari
teori fungsionalisme, yakni, kebutuhan naluri atau bioligis, dan kebutuhan
psikologi. Menurut Malinowski dalam Koentjaraningrat (2007: 164-172), fungsi
berarti unsur-unsur kebudayaan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan naluri
manusia. Malinowski dapat berkesimpulan seperti itu sesuai dengan penelitiannya
di Pulau Trobian. Yang dalam penelitian menemukan konsep “Kula Ring”, dan
konsep “Rangsangan (Stimulus) menghasilkan Kontrol (drive) dan menghasilkan
Respon”. Dari situ memunculkan fungsi dari sebuah proses. Adapun contoh,
seperti kesenian kuntulan mempunyai fungsi sebagai media komunikasi dan hiburan
serta media ritual. Fungsi agama, sebagai pengontrol jiwa, solidaritas, dan
pendidikan moral. Agama membuat psikologi dan sosial menjadi lebih baik, dll.
Fungsi menurut Malinowski adalah untuk melayani tujuan.
Dalam bukunya Kaplan,(1999:76-82)
menyatakan bahwa, dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi
suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni dictum metodologis bahwa
kita harus mengeksplorasi ciri sistematik budaya. Pada artiannya, kita harus
mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi suatu masyarakat sehingga
membentuk sistem yang bulat. Fungsionalisme adalah metodologi untuk
mengeksplorasi saling ketergantungan. Para fungsionalis menyatakan pula bahwa
fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural. Fungsionalisme sebagai
perspektif teoritik yang bertumpu pada analogi dengan organisme, yang dalam
artiannya membawa kita memikirkan sistem sosial budaya sebagai semacam
organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan tetapi saling
memberikan andil dalam stabilitasnya. Jikalau kebutuhan tidak dapat berfungsi
maka sistem akan mati. Seperti halnya pada kesenian, dimana jika sebuah
kesenian berfungsi baik dalam masyarakat berarti kesenian berfungsi baik di
setiap lininya, begitupun sebaliknya, ketika kesenian tidak berfungsi lagi
berarti salah satu fungsi pada unsur sudah tidak dapat digunakan.
Dari hal tersebut
diketahui bahwa sumber arkeologis yang dibaca tidak dapat dipisahkan dengan
kegunaan dari hal tersebut, seperti halnya teks dan konteks, dan ilmu Arkeologi
itu sendiri, dimana tidak hanya bentuk tetapi akan berhubungan dengan ekologi
dari sebuah kajian. Seperti halnya pada kesenian kuntulan ini, unsur yang
terkandung dalam kuntulan ini tidaklah berdiri sendiri dalam membentuk Kuntulan
sebagai sebuah kesenian, tetapi dalam konteks yang sama, dimana peran nilai
agama seperti halnya penggunaan teks dan alat musik dihubungkan dengan pencak
silat sebagai nilai budaya. Disini peran local
genius menjadi sangat penting dalam sebuah kesenian. Hal lainnya adalah
kesenian Kuntulan telah menempati posisi ganda, dimana Kuntulan pada masanya
menjadi sangat kuat karena bercampurnya nilai agama, budaya bahkan ekonomi pada
sebuah kesenian. Fungsionalisme dapat dijadikan acuan dimana setiap unsur pada
kesenian berfungsi satu sama lain membentuk kesenian yang kokok. Pada konsep
pemanfaatan sumber daya, Kuntulan jelas memanfaatkan sumber daya budaya sebagai
unsur mendasar dari Kuntulan yaitu budaya lokal dan budaya Islam.
Kesimpulan
Kesenian Kuntulan sebagai kesenian
rakyat mempunyai peran dan nilai yang penting bagi masyarakat, ditilik dari
nilai sejarah, diketahui bahwa unsur-unsur dari Kuntulan merupakan nilai
kebudayaan yang telah mengakar pada bangsa. Unsur teks pada nyanyian, musik
pada kuntulan dan gerak tari pada kuntulan merupakan nilai kebudayaan yang
mempunyai peran yang kuat pada masing-masing halnya. Sehingga dalam hal ini
kebudayaan-kebudayaan yang berdiri sendiri menjadi potongan-potongan kebudayaan
baru dalam membentuk sebuah kesenian bernama Kuntulan. Sehingga peran yang kuat
terjadi pada kesenian tersebut, tidak lain pula, setelah Kuntulan berkembang,
adanya manfaat secara sosial, ekonomis dan agama yang muncul dengan adanya
eksistensi dari kesenian Kuntulan. Juga dilihati dari fungsi setiap unsur
budaya apakah dapat berfungsi dengan baik sehigga sebuah kesenian dapat
berfungsi di masyarakat dengan baik atau tidaknya. Setiap unsur dalam kuntulan
harus berfungsi dengan baik agar tetap bertahan, dan apabila sebaliknya maka
kuntulan pun akan ditinggalkan.
Kuntulan sebagai kesenian, memanfaatkan
sumber-sumber arkeologis dalam membentuk kesenian. sumber daya kebudayaan
tertuang pada Kuntulan. Potongan-potongan kebudayaan tersebut telah membentuk
sebuah kesenian baru. Secara arkeologis, Kuntulan mulai dipotong dari unsur
“teks”, dimulai dari teks pada Kitab Al-Barzanji sebagai teks pada Kuntulan,
telah diketahui bahwa makana yang ada pada teks merupakan sebuah pujian dan
cerita perjalanan, sehingga diaplikasikan pada sebuah nyanyian dan gerak
tarian, sehingga diselenggarakan pada acara-acara syukur. Dapat terungkap bahwa
teks kesenian tidak dapat lepas dari konteks yang ada, karena teks tidak
berjalan sendiri, teks dapat terwuju karena adanya konteks. Lokal Genius
sebagai sumber arkeologis dari kesenian kuntulan membuktikan bahwa adanya
pemanfaatan dari sumber daya kebudayaan masyarakat yang terjadi pada saat itu,
dan dituangkan sebagai sebuah kesenian, yaitu Kuntulan.
Referensi
Abidin,
Abu Ahmad Zainal.
2009. Barzanji, Kitab Induk Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dalam As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Surakarta: Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.
2009. Barzanji, Kitab Induk Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dalam As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Surakarta: Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.
Conkey,
Margareth W.
1990.
Experiment With Style In Archeology: Some
Historical and Theoretical Issues, dalam Conkey, Margareth W. dan Hastrof,
Christine A. (ed.). The Uses of Style In Archeology. Cambridge: Cambridge
University Press.
Draeger,
Donald F.
1992.
Weapons and Fighting Arts of Indonesia.
Rutland Vt: Charles E Tuttle Co.
Haryono,
Timbul.
1984.
Artefak Kualitas dan Validitasnya Sebagai
Data Arkeologi, dalam Artefak. No.1/I. HIMA: Yogyakarta.
2008.
Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam
Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta: Isi Press Solo.
Kaplan, David.
1999. Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Koentjaraningrat.
1994.
Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai
Pustaka.
2007.
Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta:
UI Press.
Marinis,
Marco De.
1993.
The Semiotics of Performance.
Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Mubarok,
Jaih.
2004.
Sejarah Peradaban Islam. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy.
Restiyadi,
Andri.
2008.
Kajian Musik dalam Arkeologi: Upaya
Rekonstruksi Terhadap Aktivitas Musik pada Masa Lampau, dalam buku
“Arkeomusikologi”. Medan: Balai Arkeologi Medan.
Yampolsky,
Philip.
1995.
Forces for Change in the Regional
Performing Arts of Indonesia. KITLV, Royal Netherlands Institute of
Southeast Asian and Caribbean Studies.
Ja’far
al-Barjanzi al-Madani : Kitab Al-Barzanji.
Webtografi:
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/09/kesenian-hadrah-kuntulan.html
diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 12.49
http://roliandalas.blogspot.com diakses
pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 13.21
http://dotcomcell.com
diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 13.21
www.kendalkab.go.id
diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 15.48
http://Bambangpriantono.multiply.com
diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukl 16.15
www.silatindonesia.com diakses pada
tanggal 19 Juni 2012 pukul 16.04
[1]
KKN merupakan Kuliah Kerja Nyata bagi para mahasiswa tingkat D3 dan S1. KKN
yang saya jalankan berada di Dusun Klindon, Petungkriyono, Pekalongan pada tahun
2009.
[2] http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/09/kesenian-hadrah-kuntulan.html
diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 12.49
[3] http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/09/kesenian-hadrah-kuntulan.html
diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 12.49
[4] http://roliandalas.blogspot.com
dan http://dotcomcell.com
diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 13.21
[5]
www.kendalkab.go.id diakses pada
tanggal 20 Juni 2012 pukul 15.48
[6]
http://Bambangpriantono.multiply.com
diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukl 16.15
[7]
www.silatindonesia.com diakses pada
tanggal 19 Juni 2012 pukul 16.04
No comments:
Post a Comment