Review Disertasi,
dari:
“Tradisi
Gondang Sabangunan dan Tortor Masyarakat Batak Toba”,
oleh
Mauly Purba
Pada dasarnya sebuah kelompok masyarakat
mempunyai kebudayaan masing-masing, karena kebudayaan merupakan sebuah proses
belajar dan penyesuaian yang ada, atas dasar nilai individu maupun kolektif.
Sebuah kebudayaan di suatu tempat merupakan nilai-nilai dari proses belajar si
manusia itu sendiri, sehingga perbedaan menjadi hal yang pasti karena,
pemahaman, pengintepretasian dan penyesuaian manusia atau kelompok
berbeda-beda, terlebih sifat manusia yang dinamis. Sehingga kebudayaan
merupakan sebuah hasil jadi atas proses yang lama terjadi. Pada hal ini,
masyarakat Batak Toba merupakan studi kasus dari permasalahan yang ada. Batak
Toba sebagai kelompok masyarakat mempunyai sistem dan penyesuaian tersendiri
sebagai nilai kebudayaan yang mereka miliki. Seperti halnya, adalah tradisi Gondang Sabangunan dan tari Tortor.
Tradisi Gondang Sabangunan dan Tortor
merupakan musik dan tari seremonial masyarakat Batak Toba. Pada tulisan Mauly
Purba ini, beliau mengungkap Gondang
Sabangunan dan Tortor dengan
membahas beberapa nilai secara holistic, dimana membaginya ke beberapa
penjelasan yang lebih mendalam seperti instrument dan musisi, adat ni gondang,
dan penyesuaian dari masyarakat Batak Toba itu sendiri. Pada dasarnya Gondang Sabangunan dan Tortor merupakan rangkaian upacara
ritual yang menunjukan dedikasi mereka terhadap norma sosial dan agama. Adapun
tiga jenis ensambel gondang, yaitu:
ensambel Gondang Sabangunan, Gondang Hasapi, Gondang Bulu. Ketiga
ensambel ini digunakan sebagai pengiring dari tarian seremonial, Tortor. Adapun perbedaan dari ketiga
Gondang tersebut, dimana ensambel yang satu dengan yang lain memberikan warna
berbeda dari setiap gondang. Seperti halnya Gondang
Sabangunan yang terdiri dari lima buah taganing,
satu odap, satu gondang, satu sarune,
empat ogung dan satu hesek. Sedangkan Gondang hasapi terdiri dari dua hasapi,
satu garantung, satu sarune etek, satu sulim dan satu hesek. Dan,
Gondang Bulu sama dengan Gondang Sabangunan tetapi yang
membedakan adalah taganing dan gong terbuat dari bambu, dan sarune etek yang digunakan adalah
ensambel gondang hasapi.
Pada dasarnya taganing dan sarane
adalah instrument melodi, ogung
memainkan pola ritmik dan hesek
membawakan ritme konstan. Gondang
Sabangunan dan Hasapi digunakan
untuk upacara ritual adat dan keagamaan, sedangkan Bulu untuk konteks hiburan. Dalam penggunaannya, Gondang Sabangunan lazimnya dimainkan di
halaman rumah, baik menggunakan atau tanpa panggung. Selain itu Gondang Sabangunan juga diletakan di
balkon rumah adat yang ada di bagian luar. Tortor
merupakan tarian seremonial yang disajikan bersamaan dengan penyajian musik gondang, kedua hal tersebut tidak dapat
dipisahkan. Tortor lebih tepat
diartikan sebagai bentuk pengejawantahan ekspresi baik individu maupun
kolektif. Tortor bukanlah hanya
gerakan saja, tetapi terjadi interkasi bagi para partisipan upacara, seperti
media transmisi kekuatan.
Gondang dalam
perkembangannya mengalami banyak perubahan, dimana sebuah judul gondang yang dikenal oleh pargonsi di
satu daerah atau satu komunitas tidak dikenal oleh pargonsi yang ada di daerah atau komunitas yang lain. Banyaknya
kasus yang terjadi ketika sebuah gondang
yang dikenal dengan judul A dapat disebut dengan judul B di tempat lain.
Terjadinya hal seperti ini tidak dapat dipungkiri, karena tradisi timur yang
menggunakan sistem lisan atau mulut ke mulut, sehingga sangat besar kemungkinan
terjadi pemahaman dan intepretasi yang saling berbeda antara satu orang dengan
yang lain. Kekurangan dari tradisi lisan adalah ketika sebuah hal yang
diajarkan akan dimengerti menurut pemikiran si penerima yang tak jarang terjadi
perbedaan-perbedaan cara menurunkannya lagi.
Hal penting lainnya dalam tulisan ini
adalah Hasipelebeguan, Hasipelebeguan
merupakan istilah kolektif yang merangkum keseluruhan praktik dan sifat agama
suku Batak Toba, seperti halnya kepercayaan kepada para dewa dan roh nenek
moyang. Orang Batak Toba mempercayai bahwa orang hidup dan orang mati dapat
mengalihkan sahala mereka pada orang
lain, sahala merupakan kekuatan untuk memiliki banyak keturunan, kekayaan,
karisma, dll. Sehingga pemujaan kerap dilakukan dan menjadi kebiasaan dan adat
bagi masyarakat. Dapat dikatakan bahwa Hasipelebeguan
dan adat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Gondang Sabangunan dan Tortor merupakan bagian dari adat dan Hasipelebeguan. Penyajian Gondang Sabangunan dan Tortor tidak dapat diindahkan, bahwa hal
tersebut disajikan jika berkaitan dengan adat atau ritual keagamaan, tanpa
kondisi tersebut, penyajian sangat sulit dilakukan.
Pada tulisan ini, merupakan menarik
disaat praktek ritual yang harus bergesekan langsung dengan nilai baru yang
disebut Agama. Ya, agama Kristiani yang masuk pada tahun 1860an hingga 1940an
mempengaruhi sangat banyak terhadap nilai adat yang ada bagi masyarakat Batak
Toba. Penyebaran Agama ini disertakan dengan nilai pendidikan, sehingga
masuknya agama menjadi lebih mudah. Seiring dengan memperkenalkan nilai Gereja,
ada eliminasi yang terjadi pada kebudayan tradisional yang ada termasuk Gondang Sabangunan dan Tortor. Sebelum Agama Kristen masuk,
masyarakat Batak Toba menyembah dewa-dewa, arwah leluhur dan berbagai kekuatan
supranatural. Orang Batak Toba mempercayai roh, baik yang masih hidup maupun
sudah mati. Gondang Sabangunan dalam
prakteknya merupakan praktik kultural dari leluhur suku Batak Toba, musiknya
mengiringi pada dewa untuk memohon berkat melalui pemberian sesajian, doa dan
pelaksanaan upacara. Upacara tersebut juga digunakan pada masa tanam, perayaan
masa panen raya, ritus pemyembuhan penyakit, dan lainnya. Selain untuk ritual,
pada dasarnya Gondang Sabangunan
menjadi nilai yang memperat hubungan kekerabatan di antara individu dan
kelompok masyarakat. Selain peran agama, pengaruh perkembangan di berbagai
sektor, seperti pendidikan, teknologi, ekonomi dan politik tidak memberikan
ruang yang cukup bagi kesenian tradisi untuk hidup, sehingga sulitnya
berkembang bagi kesenian lokal.
Dalam perkembangannya sekarang, setelah
masuknya Agama Kristen, pada akhirnya Gondang
Sabangunan dalam upacara adat lebih difokuskan sebagai pengiring Tortor dan sarana komunikasi antar
partisipan upacara daripada fungsi komunikasi dalam upacara kepercayaan asli
Batak Toba. Gondang Sabangunan juga
digunakan dalam mendukung Agama Kristen, seperti pembangunan gereja,
pengumpulan dana, dan lainnya. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak adat
dari Batak Toba yang harus tereliminasi karena alasan tidak sesuai dengan
ajaran gereja. Untuk Gondang sendiri, dilakukan banyak penyesuaian seperti,
penghapusan atau tidak digunakannya elemen struktur yang bersifat tradisional,
pelayanan Kristen untuk mengawali acara adat selalu didahului penyajian Gondang
dan Tortor. Mauly Purba menyimpulkan
bahwa masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen telah mengalami Coexistance
antara adat dan ajaran Kristen, dikarenakan tidak adanya batasan tegas atas
elemen yang ada.
Tulisa Mauly Purba merupakan tulisan
yang sangat jelas, dengan menggukana metode etnografi dan deskriptif dalam
menggambarkan keseluruhannya dan menganalisis dari setiap hal yang beliau
angkat, dan hal yang paling krusial adalah ketika adat dan agama menjadi
permasalahan. Yang mana banyak hal yang bertetangan dengan Agama yang dimiliki adat.
Sehingga dalam perkembangannya, adat harus mengalah dan mulai penyesuaian
kembali. Memang Agama merupakan 7 unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat, tetapi dalam halnya, kesenian juga merupakan unsure dari
kebudayaan itu sendiri. Tetapi karena adanya faktor eksternal, maka Adat harus
terintegrasi kepada Agama. Gondang
Sabangunan dan Tortor dalam
keberlangsungannya memiliki banyak jenis dari macamnya, yang menjadi pemikiran,
bagaimana menyesuaikan Gondang yang
baik untuk penyesuaian terhadap Agama? Ketika Gondang Sabangunan hanya menjadi pengiring Tortor dan media partisipan antar pemain dan penonton, nilai
pariwisata sangat terbentuk pada hal ini, adanya pergeseran nilai terjadi,
terlebih pergeseran fungsi. Sehingga Gondang
Sabangunan dan Tortor hanya
bersifat profan, dan nilai sakralitasnya menjadi hilang. Tetapi, bagaimana
dengan masyarakat pedalaman dari Batak Toba, bagi mereka yang memposisikan
Agama sebagai formalitas belaka, apakah nilai adat dan sakralitas tetap
dijunjung? Apakah memungkinkan terjadinya banyak sub-sub agama baru, karena ada
penyesuaian kembali antara adat dan Agama? Berhubungan dengan alat musik yan
digunakan, setiap alat musik dalam sebuah kesenian terlebih bersifat sakral,
mempunyai makna dan fungsi masing-masing, bagaimana melakukan penyesuaian yang
tepat dalam nilai etnomusikologi yang tepat? Bagaimanakah keberadaan Gondang-gondang lainnya seperti, Gondang Hasapi atau Bulu? Dan, bagaimana Hasipelebeguan
dalam keberadaannya kini, mengingat adat yang makin terkikis ketika tidak
sesuai dengan prinsip Agama? Apakah Agama dapat mengakomodir keseluruhan
rangkaian upacara adat dan makna dari upacara adat atas ritual yang
diberlakukan adat, karena banyaknya macam perayaan dan ritual dalam siklus
hidup?
No comments:
Post a Comment