Tuesday, October 16, 2012

Struktur dan Fungsi Musik Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta

Tema: Review Tesis

Judul Tesis :
Struktur dan Fungsi Musik Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta
Pengarang  : Budi Raharja (1999)
­­­
          Tulisan Budi Raharja yang berjudul “Struktur dan Fungsi Musik Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta merupakan  sebuah penelitian dengan hasil yang jeli. Hal tersebut dikarenakan, penelitian Musik Prajurit ini tidak semata-mata meneliti tentang musiknya saja, tetapi penulis berusaha menguak musik prajurit dari konteks kehidupan sosial dan budaya masyarakat, serta sejarah panjang yang mewarnai musik prajurit dari masa ke masa. Dalam keberlangsungannya, Musik Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta berangkat dari sebuah budaya masyarakat yang berkembang pada saat itu, baik disengaja ataupun sebaliknya. Adanya stimulan tertentu sebagai penyebab munculnya Musik Prajurit sebagai sebuah karya yang hingga kini dipertahankan.
Penelitian berfokus pada tiga jenis musik, yakni: musik upacara garebek, musik barangan, dan musik pencaosan. Ketiga jenis musik ini akan ditelaah dan dicari makna dari ketiga jenis musik tersebut. Adanya pertimbangan akan unsur-unsur musik seperti; ensemble (dari asal, bentuk, guna hingga fungsi), perbedaan ritme dari gending, dan keadaan sosial masyarakat pada saat itu. Tulisan dari Budi Raharja merupakan penelitian yang kreatif, dimana belum ada pemerhati musik layaknya yang dilakukan oleh penulis. Ada beberapa pemerhati seperti Weni Elsih, dkk dalam melakukan penelitian, tetapi yang dilakukan hanya meneliti satu bentuk hal saja, sedangkan Budi Raharja seakan ingin menjelaskan secara jelas tentang sebuah kesatuan yaitu Musik Prajurit.
Hal pertama yang menjadi perhatian penulis adalah pembahasan akan kedudukan dan peran prajurit dalam kehidupan sosial masyarakat. Penulis menceritakan bagaimana awal mula perjalanan prajurit hinga saat ini. Yaitu mulai dari pemberontakan pangeran Mangkubumi hingga zaman penjajahan oleh Belanda. Fungsi prajurit pun dalam beberapa masa terus berkembang dan bertransformasi berdasarkan kebutuhan dan keadaan sosial yang ada. Penulis membagi masa keprajuritan dalam, periode pembentukan prajurit, periode campur tangan asing, periode kejayaan Keraton Kesultanan Yogyakarta, dan periode penghentian kegiatan prajurit serta rekonstuksinya untuk kepentingan pariwisata.
Dalam periode pertama, periode pembentukan prajurit, yaitu menjelaskan dari masa pemberontakan oleh Pangeran Mangkubumi hingga pemerintahan Sultan Hamengkubuana I. Pangeran Mangkubumi memberontak keadaan, dimana kerajaan Mataram bersengkongkol dengan Belanda dalam mendapatkan bantuan militer dan timbal baliknya adalah penyerahan daerah kekuasaan. Adanya keadaan yang tidak seimbang bahkan merugikan membuat Pangeran Mangkubumi melakukan pemberontakan. Dalam mendukung pemberontakannya, beliau membentuk prajurit dari kalangan bangsawan dan rakyat jelata. Pemberontakan dimulai dari tahun 1746-1755, pemberontakan panjang ini membebaskan lahan dari penjajahan, serta mendapatkan tawanan pasukan Belanda, dan secara otomatis membantu Pangeran dalam memberontak. Pemberontakan berakhir dengan adanya perjanjian Giyanti, yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, wilayah untuk Pangeran Mangkubumi dan Paku Buana III.
Setelah pembagian wilayah, Pangeran Mangkubumi mendirikan keraton di Yogyakarta. Dengan sendirinya, prajurit pemberontak menjadi prajurit Keraton. Prajurit Keraton ditempatkan di sekeliling Keraton, diluar benteng Keraton, hal tersebut dimaksudkan agar penjagaan lebih awas dan lebih aman dalam perlindungan. Kawasan prajurit dibagi menjadi 13 kampung, yakni; kampung Kumendaman, kampung Prawirotaman, kampung Jagakaryan, kampung Bugisan, kampung Nyutran, kampung Wirabrajan, kampung Patangpuluhan, kampung Mantrirejon, kampung Langenastran, kampung Dhaengan, kampung Surakarsan, kampung Ketanggungan, dan kampung Suronatan. Tugas dari para prajurit adalah mengawal Raja dan menjaga keamanan Keraton.
Pada Pemerintahan Sultan Hamengku Buana ke II–V, disinilah merupakan periode campur tangan asing dalam pengaturan Keraton, hal tersebut dikarenakan adanya konflik dan tidak adanya kerja sama dari para bangsawan Keraton. Banyak konflik yang terjadi karena kekuasaan dari Keraton, dan terulang kembali perjanjian-perjanjian dengan pihak asing yang jelas merugikan pihak Keraton pada akhirnya, terlebih pada Sultan Hamengku Buana ke V, dimana pajak dan kekuasaan justru membunuh masyarakatnya sendiri, lalu tergeraklah Pangeran Diponegoro dan melakukan pemberontakan kembali. Dan pada periode campur tangan asinglah, peran Prajurit menjadi berubah, dimana tugas yang pada awalnya sebagai keamanan dan angkatan perang menjadi prajurit yang mengawal Raja dan kegiatan seremonial semata (setelah membantu Belanda melawan para pemberontak).
Pada pemerintahan Sultan Hamengku Buna ke VI-VIII, merupakan periode kembalinya kejayaan dari keraton Jogjakarta, dimana Belanda yang mengelola wilayah di Yogyakarta, maka sebagai gantinya bangsawan menerima gaji dari Belanda, dari sinilah ekonomi kerajaan maju. Perekonomian yang maju membuat sultan menjadi sangat kaya, setelah itu kehidupan modern, kehidupan eropa mulai masuk dan berkembang di Yogyakarta. Hal tersebut juga sangat berperan dalam perubahan prajurit yakni dalam menyampaikan pesan politik melalui barangan, upacara Garebek, dan Musik prajurit mulai dibuat. Kesenian di masa ini kembali digalakan, sehingga kesenian pada saat itu dapat diunggulkan.
Periode Terakhir adalah periode penghentian kegiatan prajurit serta rekonstuksinya untuk kepentingan pariwisata. Dimana hal tersebut terjadi pada pemerintahan Sultan HB ke IX-X. Kedatangan penjajah Jepang mengakibatkan segala kegiatan Upacara dan hal yang berhubungan dengan Prajurit dihentikan total. Masa Penjajahan Jepang inilah yang dianggap banyak menghilangkan banyak elemen dalam Keraton. Setelah Jepang ditendang keluar, maka ada usaha dalam mengembalikan nilai-nilai tersebut. Tetapi dalam pengembaliannya, tidak dapat dilakukan 100%, adanya perubahan yang terjadi. Perubahan peran prajurit menjadi pelaksana kegiatan seremonial, seperti upacara-upacara di Keraton, seperti Garebek, Sekaten, Menyemarakan Upacara pengangkatan Sultan, dan hal pariwisata lainnya. Hal pertama yang diperhatikan penulis adalah membahas tentang perjalanan dari Prajurit dari awal hingga saat ini, dan hal tersebut dikaitkan dengan semua aspek dalam melihat Prajurit, seperti halnya, keadaan sosial, tugas, dan peran dari Prajurit tersebut. Sehingga dapat menambah wawasan yang lebih dalam melihat Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta, dan dapat dikompare dengan unsur selanjutnya, yakni, unsur Musikal.
Penulis selajutnya memperhatikan tentang aspek Musikal dalam melengkapi penelitiannya. Bentuk Ensambel, penggunaan dan Garis Komando Musik Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta. Aspek musikal di Jogja dipengaruhi banyak unsur, seperti musik eropa dan musik jawa. Kedua unsur musik tersebut telah ada dan mengalami perkembangan hingga sekarang. Musik Eropa atau Musik Prajurit Eropa dibagi atas military call dan military band. Ensambelnya adalah penggunaan instrument musik tiup tunggal atau gabungan. Sedangkan military band  menggunakan instrument tiup, bermembran atau drum. Musik Prajurit Jawa meliputi bentuk-bentuk ensambel musik prajurit di relief candi, pada seni pertunjukan Jawa, musik yang berkembang dalam kehidupa sosial, musik prajurit keraton Mataram dan Kesultanan Yogyakarta. Musik Yogyakarta pada awalnya menggunakan Tambur dan Terompet saja, tetapi dengan perkembangan dan keadaan yang ada, Yogyakarta banyak meminjam instrument dari luar, seperti dari prajurit Eropa (Tambur dan Suling), Instrumen Barat (Tambur, Suling dan terompet), dan Instrument Campuran (Tambur, Suling, Bende dan Kecer), dan ditambah Instrumen daerah lain (Pui-Pui (Sulawesi Selatan) dan Ketipung).
Pada dasarnya kegunaan Musik Prajurit sebagai Musik upacara, untuk membantu menjaga keamanan keraton, dan untuk penyampaian pesan politik. Musik Upacara meliputi Gabebek (Maulid, Syawal, dan Garebek Besar), Penobatan Raja (penagkatan Sultan HB X), Penguburan Jenazah, Pawai Festival-festival. Membantu menjaga keamanan Keraton diaplikasikan dengan tanda waktu dibuka-tutupnya pintu gerbang Keraton dan Plekung (Lagu yang digunakan adalah Gending Pecaosan). Untuk penyampaian pesan politik, dahulu Barangan  dimainkan setelah upacara Gerabek, atau menandingi musik prajuruti barat.
Setelah dua pokok pembahasan diangkat, yaitu aspek Prajurit dan aspek Musikal, maka proses penganalisisan dilakukan. Dimana poin yang terangkat adalah musik Garebek, Barangan dan Pencaosan. Ketiga jenis musik inilah yang akan dianalisis sebagai musik yang dipunya Musik Prajurit. Ketiga jenis musik ini akan dipecah dalam element bentuk lagu, notasi, tempo atau ritme musik dan irama. Musik Garebek dibagi atas unsure ritual dan politik. Ritual dapat dilihat pada penggunaan benda keramat, atau digunakannya musik sebagai penghormatan, sedangkan politik adalah penggunaan alat musik yang berasal dari Sulawesi Selatan, Barat dan Jawa. Gending yang dimainkan juga dibagi atas semua jenis pasukan di Keraton, seperti Prajurit Wirabraja yang menggunakan gending Rotadedali.  Prajurit Dhaeng yang menggunakan Gending Kenaba, Prajurit Jagakrya  menggunakan gending Slegandir, Prajurit Mantrirejo menggunakan gending Slahgunder, Prajurit Patangpuluh yang menggunakan gending Mars Gembira, Prajurit Prawiratama yang menggunakan Gending Mars Balang, Prajurit Nyutra yang menggunakan gending Mars Balang (tetapi berbeda dalam tambur dan suling), Prajurit Ketanggung yang menggunakan gending Bimakurda, Prajurit Bugis menggunakan Gending Ondhal-andhil (Gending pinjaman dari pasukuan Dhaeng), dan Prajurit Surakarsa menggunakan repertoar lagu sumedang.
Musik Prajurit ini dibahas secara jelas dan rinci dimana, dikuak mulai dari kalimat lagu, ensamble yang digunakan, arti dari gending, ritme gending, adaptasi gending atau adaptasi alat musik dan adaptasi gending dari gending lain.  Musik Prajurit juga mempunyai mars tersendiri, seperti Prajurit Wirabraja yang mempunyai gending Dayungan, Prajurit Dhaeng mmepunyai Gending Ondhal-andhil, Prajurit Patangpuluh mempunyai Gending Bulu-bulu, Prajurit Jagakarya mempunyai Gending Tameng Medura, Prajurit Mantrirejo mempunyai Gending Marstok, prajurit Prawiratama mempunyai Gending Vandeberg, Prajurit Nyutra mempunyai Gending Surengprang, Prajurit Ketanggung adalah Gending Lintrik Emas, Prajurit Bugis Gending Ondhal-andhil (pengembangan 4 cengkok pada pui-pui), Prajurit Surakarsa meminjam Gending Indraloka atau Sumedang. Pada penggunaannya, musik prajurit ini tidak hanya mengiringi proses upacara tetapi juga digunakan sebagai penyampai politik.
Setelah Musik Garebek, adapun musik lainnya, yakni Musik Barangan. Musik Barangan dilaksanakan setelah upacara garebek maulud dan syawal. Gending yang dibawakan adalah, Surceli, Kokis-kokis, Balo-balo, Balo Keling, Thinthing Gundha, Roro Tangis, Rangket. Gending ini dimainkan dengan ensambel suling dan tambur, sedangkan Rangket dimanikan seperti ensambel Prajurit Ketanggung. Tujuan dari Barangan ini adalah menyampaikan pesan politik dari sultan. Dari Gending tersebut seperti menyuarakan akan meminta ketegasan para perwira untuk mengusir Belanda dan Barangan merupakan bagian akhir dari peringatan raja kepara perwira Keraton. Adapun Jenis Musik yang terkahir adalah Musik Pencaosan,  Gending yang digunakan sebagai tanda dibuka dan ditutupnya pintu Gerbang Plengkung dan Gerbang Keraton. Gending ini sangat dipengaruhi dengan karawitan jawa. Gending tersebut adalah, Gending Repeli Minggah Clunthang (sebagai tanda dibukanya pintu gerbang Plengkung) dan Gending Kinjengtrung Minggah Dongji (sebagai tanda ditutupnya pintu gerbang), Gending tersebut disajikan dengan ensambel Suling, Tambur dan Terompet. Gending pertama ini digunakan pada Jam 05.00 pagi hari, Gending yang agak ramai ini dimaksudkan agar para warga bangun, dan Gending kedua ini digunakan pada jam 18.00 Petang. Gending ini menandakan agar orang sudah harus berada di dalam rumah. Gending terkahir adalah Gending Sumedang (sebagai tanda ditutupnya pintu Gerbang Keraton. Gending ini menandakan bahwa semua kegiatan di Keraton telah berakhir. Dari uraian diatas menyatakan bahwa Musik Prajurit ini tidak hanya digunakan sebagai kepentingan politik saja, tetapi juga untuk kepentingan keamanan Keraton.
Penjelasan diatas menjelaskan bahwa musik Keraton dipengaruhi oleh Prajurit persahabatan Sulawasi Selatan, Prajurit Keraton dan Prajurit Belanda, ketiga unsur prajurit ini mempengaruhi penggabungan instrument dalam membentuk ensambel dengan adanya ciri khas ensambel dari setiap gendingnya. Penggabungan instrument pada gending dilakukan tidak hanya dalam keharmonisan suara gending tetapi juga unsure politik yang terkandung. Fungsi musik prajurit terbagi atas, dalam Garebek digunakan untuk mendukung pamer kekuatan prajurit Keraton, dalam Barangan digunakan untuk alat penyampaian pesan politik, dalam Pencaosan digunakan untuk keamanan keraton dan persaingan politik melalui budaya. Walaupun Musik prajurit tercampur atas beberapa gabungan pengaruh, tetapi ritme gending jawa tetaplah menjadi dasar dari gending, faktor pembuatan dan faktor pembuatlah yang menjadikan musik prajurit ini tetap pada identitas aslinya, Musik Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Tesis karya Budi Raharja merupakan Tesis yang cukup baik, tetapi dalam pembacaannya, tetap saja mempunyai kekurangan, dan hal tersebut dapat dirasakan. Tesis yang mempunyai tebal 329 halaman ini merupakan sebuah karya yang baik dalam bentuk jumlah halaman, tetapi dalam kenyataannya semakin banyak halaman, maka penulis harus semakin berhati-hati. Kesulitan penulis sebelumnya adalah pada rentetan sejarah yang harus diperhatikan dan hal tersebut berkaitan dengan rentetan jenis musik yang akan dibahas. Pada Tesis ini, penulis membaginya atas 3 bab utama, yaitu bab prajurit, bab asal musikal, dan bab yang terkahir adalah bab musikal prajurit dari Keraton Yogyakarta. Bab pertama penulis berusaha mengangkat sejarah panjang dari prajurit Kesultanan Yogyakarta, memang sudah cukup baik, penulis berusaha menjelaskan sejarah secara panjang dan lebar, bahkan menurut saya terlalu melebar, sehingga tidak ada pemfokusan dari bab tersebut, karena porsi sub bab sama dan tidak ada penekanan. Padahal yang diangkat pada tesis ini adalah jenis musik Garebek, Barangan dan Pencaosan.
Penulis sudah membuat sungguh baik tetapi kurang effisien dalam hal ini. Hal tersebut juga terulang di bab musikal.  Penulis berusaha menjelaskan secara jelas, tetapi penjelesan yang diangkat sangatlah general, sehingga ada bagian-bagian yang tidak perlu. Pada Bab isi dan penjelasan, barulah menurut saya penulis menulis tentang isi Tesis yang sebenarnya, porsi dari setiap bagian sudah pas, dilengkapi semua unsur musikal dari setiap prajurit dan setiap jenis musik, yakni Garebek, Barangan dan Pencaosan. Penulis mencoba mengaplikasikan setiap gending dengan notasi yang dapat dipelajari, dan penulis membuat notasi semua gending dari musik Prajurit dan itu sangat membantu pembedaan antar gending yang satu dengan yang lain. Notasi yang dilakukan tidaklah seperti halnya not balok ala barat, karena adanya pemedaan antar musik jawa yang pentatonic dan musik barat yang diatonic. Penulis telah membuat semua notasi yang dibuatnya dengan adanya penjelasan secara rinci. Tulisan Budi Raharja ini membantu para pemerhati musik prajurit dalam pemahaman, dan sangat menambah referensi sebagai bahan pembelajaran etnomusikologi di masa mendatang. Secara garis besar, Tesis tebal ini sungguh baik dalam isi, karena sudah sangat menjelaskan secara menyeluruh dari musik Prajurit Keraton Kesultanan Yogyakarta.

No comments: