Thursday, October 18, 2012

Tradisi Gambang Kromong Masyarakat Betawi


Tradisi Gambang Kromong Masyarakat Betawi
Oleh: Sukotjo

Review oleh : Michael Haryo Bagus Raditya

Abstrak
Jakarta, dalam keberadaannya sebagai ibukota tidak dapat dipungkiri bila mengalami banyak gesekan kebudayaan, baik dari dalam negeri, seperti halnya kebudayaan daerah lain, juga dari luar negeri, seperti halnya westernisasi dan kebudayaan dari Negara lain. Adapun dampak yang menyebabkan kebudayaan Betawi sebagai empunya Jakarta semakin terkikis. Sehingga kebudayaan di Ibukota semakin dinamis dengan adanya dorongan eksternal tersebut, kebudayaan baru muncul, dan kebudayaan lama semakin tenggelam. Pada hal ini, Betawi memiliki Gambang Kromong sebagai salah satu kebudayaan Jakarta yang nasibnya mengambang. Pada dasarnya Gambang Kromong merupakan kebudayaan betawi yang dimiliki masyarakat pendatang (China). Menurut Sukotjo, Gambang Kromong digunakan pertama kali oleh orang China Benteng, dan dalam keberadaannya bernagsut-angsur menjadi milik betawi. Gambang Kromong merupakan perpaduan dari beberapa alat musik yang berasal dari India, Indonesia, China dan kini, barat. Jadi dapat disimpulkan bahwa Gambang Kromong merupakan gabungan kebudayaan dan menjadi kebudayaan baru yaitu Gambang Kromong Betawi. Seiring dengan perkembangan zaman dan eksistensi Gambang Kromong yang menjadi ikon musik Betawi dalam ranah pariwisata, membuat Gambang Kromong harus terus beradaptasi dengan jenis musik dan alat musik baru yang muncul, agar eksistensi Gambang Kromong kembali ke masa kejayaannya.

Kata Kunci: Gambang Kromong, Betawi, Etnisitas Pribumi, Transformasi Transisi


Etnis Betawi dan Jakarta
            Jakarta, sebuah daerah di bagian barat pulau Jawa, merupakan Ibukota dari Negara Indonesia. Dalam perkembangannya Jakarta telah mengalami banyak pergantian nama, seperti halnya Sunda Kelapa pada sebelum 1527, Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942) dan Djakarta (1942-1972). Sejak pada zaman penjajahan, Jakarta, telah menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Belanda, karena lokasinya yang strategis dan dekat dengan jalur perdagangan dunia. Sehingga menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pusat pemerintahan kolonial Belanda. Dalam masa pembangunannya, Belanda banyak mendatangkan orang-orang dari luar Jakarta sebagai pekerja atau tenaga murah bahkan gratis yang dilakukan untuk pembangunan pusat pemerintahan Belanda di tanah air ini. Ini adalah awal perkembangan dari terbentuknya masyarakat Betawi. Suku Betawi merupakan hasil perpaduan dari bermacam-macam etnis dan kebudayaan, seperti halnya etnis Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayu, dan para pendatang seperti Arab, India, Tionghoa dan Eropa. Perpaduan tersebut membentuk etnis baru Batavia yang menggunakan bahasa Melayu dalam percakapan dan percampuran kebudayaan yang menjadikan kebudayaan baru yang unik.
            Dalam keberadaannya, Masyarakat Betawi menganut Agama Islam, kecuali bagi mereka orang Cina Benteng di Tanggerang. Sukotjo dalam tesisnya menegaskan bahwa Jakarta merupakan kota yang sangat heterogen, dikarenakan perpaduan kebudayaan tersebut. Jakarta dalam perkembangannya, tepatnya setelah kemerdekaan, mengalami lonjakan imigran. Hal tersebut dapat dimaklumi karena peran Jakarta yang menjadi pusat dari segala pemerintahan dan pusat Indonesia. Lonjakan Imigran yang meledak membuat etnis Betawi menjadi kaum minoritas. Secara perlahan para pendatang paska kemerdekaan hingga sekarang telah menjajah, bahkan menguasai Jakarta dalam artian jumlah penduduk. Karena pesatnya zaman, dan tidak dapat turut mengikuti perkembangan, maka masyarakat Betawi harus mengangkat kaki dari tanah kecintaan, Jakarta, menuju ke pinggiran Jakarta seperti Bogor, Tanggerang, Bekasi, Depok, Jawa Barat dan Banten. Jakarta sebagai pusat kota telah menjadi kota yang sangat modern.
            Jakarta memang menjadi pusat dari segalanya, seperti pemerintahan, perdagangan, dan mereka juga tidak lupa dalam membangun pariwisata. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengunjung yang berkunjung ke Jakarta tidaklah sedikit, dan para pengunjung, tidak semuanya datang karena urusan ekonomi atau politik,  tetapi mereka ingin menikmati Jakarta sebagai tempat wisata. Pariwisata yang dibangun tidak hanya pada tekonologi atau modernitas, tetapi Jakarta sangat tahu dalam membangun kembali kebudayaan Betawi sebagai ikon budaya Jakarta. Kesenian Betawi mulai dibangun mulai dari Teater, Musik dan Tari. Intensitas penggunaan kesenian dan pergantian fungsi dari hal yang bersifat sakral, menjadi sesuatu yang bersifat profan untuk kegunaan pariwisata.
            Gambang Kromong merupakan salah satu alat musik yang mengalami gejala-gejala kebudayaan ini, dan pada tesis ini akan berfokus pada Gambang Kromong sebagai musik yang mengalami perubahan nilai, fungsi dan perkembangan. Perubahan nilai yang terjadi pada Gambang Kromong yakni pada perubahan nilai sakral ke nilai profan. Perubahan fungsi yang terjadi adalah perubahan fungsi pertunjukan ke fungsi pariwisata. Perkembangan akan Gambang Kromong, yang seperti halnya kita ketahui, bahwa Gambang Kromong merupakan perpaduan alat musik dari berbagai macam kebudayaan. Perkembangan akan Gambang Kromong atas masuknya alat musik barat dan jenis musik baru yang muncul kini.

Gambang Kromong
Gambang Kromong, merupakan sebuah alat musik tradisional milik masyarakat Betawi. Bila dirunut dari Sejarah, Gambang Kromong merupakan perpaduan banyak alat musik dari berbagai macam daerah bahkan luar negeri, seperti halnya instrument gesek dan tiup dari China, instrument Gendang dari Sunda, dan instrument gambang, kromong, kempul, kecrek, serta gong yang berasal dari Jawa. Secara etimologinya, Gambang Kromong berasal dari penyebutan alat musik yang dipergunakan, yaitu Gambang dan Kromong. Dalam keberadaanya, Musik Gambang Kromong telah dikenal sejak tahun 1880, hal tersebut terjadi ketika seorang Bek (Lurah) bernama Teng Tjoe (seorang kepala kampong Tionghoa di Pasar Senen) menyajikan sebuah sajian untuk menyambut para tamu. Ensambel musik ini berkembang di kalangan Cina Benteng di Tanggerang, dan Ensambel ini digunakan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat Cina Benteng.  Masyarakat China Benteng yang membawa alat Musik China ketika datang ke Indonesia, digabungkan dengan alat musik dari suku bangsa yang ada di Jakarta dan menjadi sebuah instrument Gambang Kromong.
Dalam perkembangannya akhirnya menjadi alat musik Betawi. Masyarakat Betawi menggunakan alat musik ini sebagai sajian hiburan dan penyemarak upacara ritual. Ensambel Gambang Kromong terdiri dari alat musik Gambang, Kromong, Sukong, Tehyan, Kongahyan, Basing, Ningnong, Kecrek, Kempul dan Gong. Ensambel tersebut dibedakan menjadi dua bagian, yakni, pola ritmis dan melodis. Pola Ritmis seperti halnya kecrek, gendang, ningnong, kempul dan gong, sedangkan untuk pola melodis yakni sukong, tehyan, kongahyan, suling, gambang dan kromong. Dalam meregenerasikan kesenian Gambang Kromong ini, peregenerasiaan dilakukan dengan cara langsung, transmisi dari senior ke junior, dan tidak ada sistem notasi akan alat musik tersebut. Pada tahun 1937 Orkes-orkes Musik Gambang Kromong mencapai masa popularitasnya.
Musik Gambang Kromong dalam penggunaannya dipergunakan masyarakat Betawi dalam perayaan pesta, mengiringi teater Lenong, dan penyemarakan upacara Ritual. Orang Betawi peranakan Cina Benteng dalam perayaan acara pernikahan masih mempergunakan musik Gambang Kromong sebagai sajian penyemarak upacara ritual. Penyemarak disini adalah bertugas dalam memeriahkan acara pernikahan, seperti pemilihan musik, menari dengan para penari, hingga membeli makanan kecil. Penggunaan Gambang Kromong lainnya oleh orang Cina Benteng adalah upacara Seijit (ulang tahun biara atau klenteng) yang dilakukan di biara, seperti tugasnya, Gambang Kromong digunakan sebagai pemeriah acara. Selain untuk acara ritual, Gambang Kromong juga dipergunakan dalam acara Sunatan, Kaul (nazar), mengiringi teater Lenong, dan hiburan yang lain. Penggunaannya dalam Teater Lenong disesuaikan dengan kondisi suasana teater, sehingga permainan Gambang Kromong bersifat spontanitas. Keberadaannya kini, Gambang Kromong digunakan sebagai sajian pariwisata Jakarta. Dengan begitu banyak lagi adaptasi yang dilakukan oleh Gambang Kromong dalam keberlangsungan kesenian tersebut di ranah Pariwisata.

Bentuk Musik Gambang Kromong
Gambang Kromong merupakan jenis musik tradisional yang tidak memiliki sistem notasi dalam pencatatan musiknya. Musik Gambang Kromong menggunakan tangga nada pentatonik sebagai nada pokok dari permainannya. Dalam keberlangsungannya, Gambang Kromong harus disesuaikan dengan penggunaan solmisasi, ditambah lagi dengan masuknya alat musik barat yang membuat penyesuaian dengan penggunaan tangga nada Septatonik. Adanya kesenjangan dan penyesuaian yang tidak sempurna membuat jalinan suara yang tidak akurat dan memberikan warna etnik tersendiri. Perubahan tangga nada membuat suatu pemaksaan dalam lagu-lagu yang dibawakan. Tangga nada yang sebelumnya sudah memiliki patokan yang jelas menjadi berubah karena adanya penyesuaian yang terjadi.
Bentuk Musik Gambang Kromong juga telah bercampur dengan lagu keroncong, pop dan dangdut, tetapi tidak dipungkiri bahwa lagu-lagu tradisi tetap dipergunakan sebagai ikon dari Gambang Kromong tersebut. Adapun lagu-lagu tradisi yang menjadi andalan, seperti Cente Manis, Kramat Karem, Sirih Kuning, Jali-jali, dan lain-lain. Pembawaan lagu selain lagu-lagu tradisi, juga menggunakan lagu-lagu yang menjadi kesepakatan dari para pemain. Pada dasarnya syair dari lagu-lagu tradisi Gambang Kromong merupakan jenis pantun yang tidak beraturan. Setiap penyanyi dapat membawakan sebuah lagu tradisi dengan lantunkan keanekaragaman syair walaupun sama dalam judul. Seseorang dikatakan mahir apabila menguasai dengan baik syair-syair lagu yang dinyanyikan.
Jumlah birama yang dimainkan pada penyajian lagu tradisi disesuaikan dengan kemampuan penyanyi dalam membawakan pantun. Perubahan tempo juga kerap kali terjadi dalam penyajian Gambang Kromong, hal tersebut dilakukan agar menghilangkan rasa monoton pada waktu terjadi pengulangan lagu. Bahasa yang digunakan menggunakan bahasa Betawi. Penyanyi yang akan melantunkan sebuah lagu harus menyesuaikan dengan tangga nada yang dimainkan alat musik, sehingga tidak ada penyesuaian layaknya alat musik barat. Pola penyajian musik sangatlah komunikatif. Penonton dan pemusik dapat berinteraksi secara langsung tanpa ada pembatasan. Pola interaktif tersebutlah yang memberikan kesan bahwa Gambang Kromong menjadikan suasana menjadi semarak. Ini merupakan lagu tradisi dalam Gambang Kromong, Jali-jali dan Kicir-kicir, dan dalam keberadaannya, lagu tradisi pasti menjadi lagu wajib dalam pertunjukan Gambang Kromong. Baik dengan adanya musik barat atau tidak, baik dengan percampuran jenis musik atau tidak, lagu tradisi menjadi sangat penting dalam eksistensi Gambang Kromong itu sendiri.

Gambang Kromong dalam Transisi
Gambang Koromong, merpakan sebuah instrument musik tradisional milik Betawi. Menurut asalnya, instrumen Gambang Kromong berasal dari akulturasi berbagai macam kebudayaan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sukotjo terlebih menjelaskan bahwa Gambang Kromong muncul di kalangan Cina Benteng, dimana instrumental Gambang Kromong digunakan pada acara-acara ritual dari masyarakat Cina Benteng. Gambang Kromong merupakan perpaduan alat musik yang dibawa Cina dan digabungkan dengan alat musik yang ada di Jakarta pada saat itu, dan tidak dapat dipungkiri bahwa Jakarta pada saat itu dihuni oleh berbagai macam kebudayaan, sehingga menciptakan percampuran yang harmonis. Seiring dengan perkembangan zaman, dan dinamisnya masyarakat, Gambang Kromong mengalami penurunan dalam intensitas penyajian. Gambang Kromong mulai dilupakan dan ditinggalkan, terlebih masyarakat Jakarta yakni masyarakat pendatang.
Angin segar pun datang, ketika Jakarta mempromosikan kotanya dengan Pariwisata sebagai poin utama bagi pengunjung. Kesenian-kesenian Betawi mulai digarap dan dikembangkan, hal tersebut dirasakan oleh para seniman Gambang Kromong. Gambang Kromong digunakan kembali dan menjadi salah satu penggerak pariwisata kebudayaan milik Jakarta. Memang tidak dapat disangkan, keuntungan pasti mempunyai kerugian atau adaptasi-adaptasi baru. Gambang Kromong yang tadinya sebagai sebuah kesenian yang bernilai sakral, menjadi kesenian profan dan murni tontonan semata. Adanya pergeseran nilai yang dirasa sangat terbukti, dimana mengakibatkan adaptasi-adaptasi yang menghilangkan nilai-nilai lama yang kompleks menjadi sesuatu yang simpel. Fungsi yang utama dalam pertunjukan sebagai hal tontonan yang bernilai lebih pada masyarakat, menjadi pertunjukan pariwisata, yang menjadikan adanya kekurangan-kekurangan yang dilakukan dalam adaptasi yang dilakukan.
Contoh dari hal tersebut adalah bergantinya pertunjukan Gambang Kromong yang biasanya diselenggarakan karena adanya sebuah siklus hidup, seperti perkawinan, sunat, dll, sekarang menjadi tontonan panggung atau tempat wisata. Adaptasi lainnya yang terjadi adalah masuknya alat musik Barat dalam Gambang Kromong, seperti gitar dan saxophone, sehingga Gambang Kromong agak terlihat berbeda. Perpaduan kembali antara dua alat musik yang mempunyai jenis berbeda yaitu pentatonik dan saptatonik, membuat Gambang Kromong semakin memberikan warna baru. Penyesuaian terus dilakukan dalam rangka mengikuti selera masyarakat. Perpaduan juga dilakukan dengan beberapa genre musik lainnya, seperti dangdut, jazz, pop, dan masih banyak lainnya. Hal tersebut terus dilakukan demi keberlangsungan kesenian tersebut dan para seniman kesenian tersebut dalam menghadapi kerasnya Jakarta.

Kesimpulan
Pada penelitian ini, Sukotjo melakukan etnisitas kepribumiannya. Beliau yang berasal dari Jakarta dapat melihat lebih dalam lagi bagaimana musik Gambang Kromong dapat terjadi, dan hal tersebut dipaparkan secara etnografi, sehingga menjelaskan bagaimana Gambang Kromong yang sebenarnya. Ke-etnisitasan yang sangat terjadi dari Sukotjo adalah beliau dapat sangat memaparkan bagaimana penggunaan Gambang Kromong bagi masyarakat Cina Benteng, yang hal tersebut sulit dilakukan oleh peneliti lain. Beliau dapat menjelaskan secara menyeluruh bagaimana dari satu acara ke acara lain, isi dan segala macam yang terjadi dalam Gambang Kromong. Beliau juga dapat mengkonversi Gambang Kromong yang bersifat tidak tertulis menjadi tertulis, dari tidak bernotasi menjadi notasi barat, hal tersebut yang menjelaskan bagaimana Kesenian Gambang Kromong menjadi sama dengan musik lainnya, adanya pengupayaan multikultrual yang terjadi. Beliau juga dapat membaca proses transisi dan pergolakan besar-besaran yang terjadi pada Gambang Kromong itu sendiri yang dilakukan demi keberlangsungan dari instrument Gambang Kromong tersebut. Tetapi adapun yang terjadi dimana, adaptasi yang dilakukan memberikan warna baru, memberikan kekhas-an dari Gambang Kromong sebagai sebuah kesenian.

           

No comments: