Thursday, October 18, 2012

Tradisi Gondang Sabangunan dan Tortor Masyarakat Batak Toba


Review Disertasi, dari:

“Tradisi Gondang Sabangunan dan Tortor Masyarakat Batak Toba”,
oleh Mauly Purba

Pada dasarnya sebuah kelompok masyarakat mempunyai kebudayaan masing-masing, karena kebudayaan merupakan sebuah proses belajar dan penyesuaian yang ada, atas dasar nilai individu maupun kolektif. Sebuah kebudayaan di suatu tempat merupakan nilai-nilai dari proses belajar si manusia itu sendiri, sehingga perbedaan menjadi hal yang pasti karena, pemahaman, pengintepretasian dan penyesuaian manusia atau kelompok berbeda-beda, terlebih sifat manusia yang dinamis. Sehingga kebudayaan merupakan sebuah hasil jadi atas proses yang lama terjadi. Pada hal ini, masyarakat Batak Toba merupakan studi kasus dari permasalahan yang ada. Batak Toba sebagai kelompok masyarakat mempunyai sistem dan penyesuaian tersendiri sebagai nilai kebudayaan yang mereka miliki. Seperti halnya, adalah tradisi Gondang Sabangunan dan tari Tortor.
Tradisi Gondang Sabangunan dan Tortor merupakan musik dan tari seremonial masyarakat Batak Toba. Pada tulisan Mauly Purba ini, beliau mengungkap Gondang Sabangunan dan Tortor dengan membahas beberapa nilai secara holistic, dimana membaginya ke beberapa penjelasan yang lebih mendalam seperti instrument dan musisi, adat ni gondang, dan penyesuaian dari masyarakat Batak Toba itu sendiri. Pada dasarnya Gondang Sabangunan dan Tortor merupakan rangkaian upacara ritual yang menunjukan dedikasi mereka terhadap norma sosial dan agama. Adapun tiga jenis ensambel gondang, yaitu: ensambel Gondang Sabangunan, Gondang Hasapi, Gondang Bulu. Ketiga ensambel ini digunakan sebagai pengiring dari tarian seremonial, Tortor. Adapun perbedaan dari ketiga Gondang tersebut, dimana ensambel yang satu dengan yang lain memberikan warna berbeda dari setiap gondang. Seperti halnya Gondang Sabangunan yang terdiri dari lima buah taganing, satu odap, satu gondang, satu sarune, empat ogung dan satu hesek. Sedangkan Gondang hasapi terdiri dari dua hasapi, satu garantung, satu sarune etek, satu sulim dan satu hesek. Dan, Gondang Bulu sama dengan Gondang Sabangunan tetapi yang membedakan adalah taganing dan gong terbuat dari bambu, dan sarune etek yang digunakan adalah ensambel gondang hasapi.  
Pada dasarnya taganing dan sarane adalah instrument melodi, ogung memainkan pola ritmik dan hesek membawakan ritme konstan. Gondang Sabangunan dan Hasapi digunakan untuk upacara ritual adat dan keagamaan, sedangkan Bulu untuk konteks hiburan. Dalam penggunaannya, Gondang Sabangunan lazimnya dimainkan di halaman rumah, baik menggunakan atau tanpa panggung. Selain itu Gondang Sabangunan juga diletakan di balkon rumah adat yang ada di bagian luar. Tortor merupakan tarian seremonial yang disajikan bersamaan dengan penyajian musik gondang, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Tortor lebih tepat diartikan sebagai bentuk pengejawantahan ekspresi baik individu maupun kolektif. Tortor bukanlah hanya gerakan saja, tetapi terjadi interkasi bagi para partisipan upacara, seperti media transmisi kekuatan.
Gondang dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan, dimana sebuah judul gondang yang dikenal oleh pargonsi di satu daerah atau satu komunitas tidak dikenal oleh pargonsi yang ada di daerah atau komunitas yang lain. Banyaknya kasus yang terjadi ketika sebuah gondang yang dikenal dengan judul A dapat disebut dengan judul B di tempat lain. Terjadinya hal seperti ini tidak dapat dipungkiri, karena tradisi timur yang menggunakan sistem lisan atau mulut ke mulut, sehingga sangat besar kemungkinan terjadi pemahaman dan intepretasi yang saling berbeda antara satu orang dengan yang lain. Kekurangan dari tradisi lisan adalah ketika sebuah hal yang diajarkan akan dimengerti menurut pemikiran si penerima yang tak jarang terjadi perbedaan-perbedaan cara menurunkannya lagi.
Hal penting lainnya dalam tulisan ini adalah Hasipelebeguan, Hasipelebeguan merupakan istilah kolektif yang merangkum keseluruhan praktik dan sifat agama suku Batak Toba, seperti halnya kepercayaan kepada para dewa dan roh nenek moyang. Orang Batak Toba mempercayai bahwa orang hidup dan orang mati dapat mengalihkan sahala mereka pada orang lain, sahala merupakan kekuatan untuk memiliki banyak keturunan, kekayaan, karisma, dll. Sehingga pemujaan kerap dilakukan dan menjadi kebiasaan dan adat bagi masyarakat. Dapat dikatakan bahwa Hasipelebeguan dan adat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Gondang Sabangunan dan Tortor merupakan bagian dari adat dan Hasipelebeguan. Penyajian Gondang Sabangunan dan Tortor tidak dapat diindahkan, bahwa hal tersebut disajikan jika berkaitan dengan adat atau ritual keagamaan, tanpa kondisi tersebut, penyajian sangat sulit dilakukan.
Pada tulisan ini, merupakan menarik disaat praktek ritual yang harus bergesekan langsung dengan nilai baru yang disebut Agama. Ya, agama Kristiani yang masuk pada tahun 1860an hingga 1940an mempengaruhi sangat banyak terhadap nilai adat yang ada bagi masyarakat Batak Toba. Penyebaran Agama ini disertakan dengan nilai pendidikan, sehingga masuknya agama menjadi lebih mudah. Seiring dengan memperkenalkan nilai Gereja, ada eliminasi yang terjadi pada kebudayan tradisional yang ada termasuk Gondang Sabangunan dan Tortor. Sebelum Agama Kristen masuk, masyarakat Batak Toba menyembah dewa-dewa, arwah leluhur dan berbagai kekuatan supranatural. Orang Batak Toba mempercayai roh, baik yang masih hidup maupun sudah mati. Gondang Sabangunan dalam prakteknya merupakan praktik kultural dari leluhur suku Batak Toba, musiknya mengiringi pada dewa untuk memohon berkat melalui pemberian sesajian, doa dan pelaksanaan upacara. Upacara tersebut juga digunakan pada masa tanam, perayaan masa panen raya, ritus pemyembuhan penyakit, dan lainnya. Selain untuk ritual, pada dasarnya Gondang Sabangunan menjadi nilai yang memperat hubungan kekerabatan di antara individu dan kelompok masyarakat. Selain peran agama, pengaruh perkembangan di berbagai sektor, seperti pendidikan, teknologi, ekonomi dan politik tidak memberikan ruang yang cukup bagi kesenian tradisi untuk hidup, sehingga sulitnya berkembang bagi kesenian lokal.
Dalam perkembangannya sekarang, setelah masuknya Agama Kristen, pada akhirnya Gondang Sabangunan dalam upacara adat lebih difokuskan sebagai pengiring Tortor dan sarana komunikasi antar partisipan upacara daripada fungsi komunikasi dalam upacara kepercayaan asli Batak Toba. Gondang Sabangunan juga digunakan dalam mendukung Agama Kristen, seperti pembangunan gereja, pengumpulan dana, dan lainnya. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak adat dari Batak Toba yang harus tereliminasi karena alasan tidak sesuai dengan ajaran gereja. Untuk Gondang sendiri, dilakukan banyak penyesuaian seperti, penghapusan atau tidak digunakannya elemen struktur yang bersifat tradisional, pelayanan Kristen untuk mengawali acara adat selalu didahului penyajian Gondang dan Tortor. Mauly Purba menyimpulkan bahwa masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen telah mengalami Coexistance antara adat dan ajaran Kristen, dikarenakan tidak adanya batasan tegas atas elemen yang ada.
Tulisa Mauly Purba merupakan tulisan yang sangat jelas, dengan menggukana metode etnografi dan deskriptif dalam menggambarkan keseluruhannya dan menganalisis dari setiap hal yang beliau angkat, dan hal yang paling krusial adalah ketika adat dan agama menjadi permasalahan. Yang mana banyak hal yang bertetangan dengan Agama yang dimiliki adat. Sehingga dalam perkembangannya, adat harus mengalah dan mulai penyesuaian kembali. Memang Agama merupakan 7 unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, tetapi dalam halnya, kesenian juga merupakan unsure dari kebudayaan itu sendiri. Tetapi karena adanya faktor eksternal, maka Adat harus terintegrasi kepada Agama. Gondang Sabangunan dan Tortor dalam keberlangsungannya memiliki banyak jenis dari macamnya, yang menjadi pemikiran, bagaimana menyesuaikan Gondang yang baik untuk penyesuaian terhadap Agama? Ketika Gondang Sabangunan hanya menjadi pengiring Tortor dan media partisipan antar pemain dan penonton, nilai pariwisata sangat terbentuk pada hal ini, adanya pergeseran nilai terjadi, terlebih pergeseran fungsi. Sehingga Gondang Sabangunan dan Tortor hanya bersifat profan, dan nilai sakralitasnya menjadi hilang. Tetapi, bagaimana dengan masyarakat pedalaman dari Batak Toba, bagi mereka yang memposisikan Agama sebagai formalitas belaka, apakah nilai adat dan sakralitas tetap dijunjung? Apakah memungkinkan terjadinya banyak sub-sub agama baru, karena ada penyesuaian kembali antara adat dan Agama? Berhubungan dengan alat musik yan digunakan, setiap alat musik dalam sebuah kesenian terlebih bersifat sakral, mempunyai makna dan fungsi masing-masing, bagaimana melakukan penyesuaian yang tepat dalam nilai etnomusikologi yang tepat? Bagaimanakah keberadaan Gondang-gondang lainnya seperti, Gondang Hasapi atau Bulu? Dan, bagaimana Hasipelebeguan dalam keberadaannya kini, mengingat adat yang makin terkikis ketika tidak sesuai dengan prinsip Agama? Apakah Agama dapat mengakomodir keseluruhan rangkaian upacara adat dan makna dari upacara adat atas ritual yang diberlakukan adat, karena banyaknya macam perayaan dan ritual dalam siklus hidup?



No comments: