Tuesday, October 16, 2012

Sumber Daya Arkeologis Pada Kesenian Kuntulan


Sumber daya Arkeologis pada Kesenian Kuntulan
Michael Haryo Bagus Raditya

Abstrak
Kuntulan, merupakan sebuah kesenian rakyat yang memadukan nuansa islami, seperti halnya bacaan ayat dan musik, dan gerakan tarian pencak silat sebagai tarian dasar para penari. Dalam keberlangsungannya, Kesenin Kuntulan telah menjadi kesenian rakyat yang sangat vital bagi masyarakat. Selain untuk alat komunalistik masyarakat, kesenian Kuntulan juga sangat erat dengan Agama. Membahas “teks” dalam sebuah kesenian merupakan pekerjaan pokok dalam mengungkap seberapa penting peran kesenian tersebut, sehingga konteks menjadi nilai yang dapat menyempurnakan kesenian tersebut. Dalam hal ini, Kuntulan sebagai kesenian tari dan musik, yang memadukan pencak silat sebagai tarian, terbang dan ayat sebagai musik dari tarian. Menilik kembali sebuah kesenian dari akarnya akan membuat kesenian tersebut lebih bernilai, sehingga penghargaan pada masyarakat akan lebih tinggi. Pada hal ini Kuntulan akan dikaji dengan menggunakan teori semiotic, melihat peran kesenian sebagai “Teks” dan Fungsionalisme, untuk melihat seberapa besar peran kesenian Kuntulan bagi masyarakat.
Kata Kunci: Kuntulan, Arkeologis, Lokal Genius, Kesenian Rakyat, Etnomusikologi
­­­­­­­­­­­­­­­­­­



Latar Belakang
Gerak menghentak, diikuti dengan kuda-kuda serta pukulan dan tendangan layaknya orang sedang berkelahi, dibarengi dengan tabuhan terbang, dan para penyanyi menyanyikan syair dalam bahasa Arab, gerakan terus terjaga, dari satu pukulan ke pukulan lain, dari satu kuda-kuda ke kuda-kuda lain. Hal ini merupakan serangkaian pertunjukan dari Kesenian Kuntulan. Ya, begitulah orang memanggilnya Kuntulan. Sebuah kesenian yang mencampurkan bela diri dan alunan Islami sebagai suatu kesatuan. Bela diri Pencak Silat milik Melayu didendangkan dengan ayat-ayat Islami sehingga menghasilkan kesenian yang terdiri dari nilai luhur agama dan nilai kesenian bela diri. Campuran sebuah hal yang berbeda tetapi menjadi sebuah kesenian yang menjadi kekayaan budaya Jawa pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Kesenian Kuntulan ini tersebar di segala penjuru Jawa, tidak hanya dipesisir tetapi di daerah-daerah pedalaman. Memang bila dilihat secara seksama, kesenian ini merupakan kesenian yang sudah tua, tetapi dalam pelaksanaannya kesenian ini merupakan kesenian yang unik, hanya ada detap kagum bila halnya menyaksikan secara langsung. Hal tersebut pun juga saya alami ketika menjalani KKN[1] pada program Sarjana saya. Yang terjadi adalah saya ikut mempelajarinya dan mempertanyakan Kuntulan sebagai sebuah kesenian, karena Kuntulan merupakan sebuah kesenian yang mementingkan nilai kebersamaan yang kuat.
Dalam Perkembangannya, Kesenian Kuntulan mengalami pasang surut dalam eksistensinya. Terkadang mengalami banyak panggilan dalam pertunjukan, terkadang mengalami sepi panggilan, ya memang bila hanya sebuah kesenian dalam ranah bisnis, harus dilakukan dengan manajemen yang ulet dan konsisten. Sebenarnya hal tersebut tidak dapat dilihat dari aspek bisnis saja, karena panggilan dalam pertunjukan Kuntulan didasari atas hari-hari besar saja, seperti halnya Maulid, Idul Fitri, Idul Adha, Pernikahan, 17 Agustusan, Sunatan, dan banyak acara lainnya. Dalam keberlangsungannya, kesenian Kuntulan masih terjaga pada daerah-daerah pedalaman, dikarenakan pada daerah pesisir, pengaruh yang masuk akan lebih cepat diterima. Tetapi dalam perkembangannya Kesenian Kuntulan dapat dikatakan terancam, hal tersebut terbukti dari hasil wawancara saya terhadap Simbah Kuntulan di Sebuah Dusun di Pekalongan, beliau berkata bahwa “dahulu setiap dusun mempunyai Kuntulan, tetapi kini hampir setiap dusun melupakannya”, adanya penuruan dari Grup Kuntulan, menyisakan beberapa grup saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Sehingga pembibitan akan pelestarian Kesenian Kuntulan menjadi berkurang dan berimplikasi terhadap kepunahan akan kesenian.
Sebenarnya penyebab dari itu semua adalah globalisasi, sebuah kemajuan akan meninggalkan hal-hal yang dianggap lama, dan timbul hal-hal baru, seperti halnya yang terjadi di Pekalongan, bahwa Kuntulan terancam punah karena berubahnya kecintaan pada kuntulan menjadi kecintaan kepada Musik Dangdut. Kesenian Kuntulan kalah dalam bersaing dengan Kesenian Musik Dangdut, yang menjanjikan partisipasi dan perempuan-perempuan sebagai pemanis dari Musik tersebut. Sehingga Kesenian Kuntulan makin terancam posisinya sebagai sebuah kesenian rakyat. Hal tersebut terjadi hingga sekarang, dan posisi kuntulan menurun tajam dalam penampilan. Grup Kuntulan pun kini dapat dihitung dengan jari, Kesenian Kuntulan menuju ke ranah kepunuhan. Kesenian Kuntulan yang selalu bermain di masyarakat jawa menjadi identitas masyarakat sebagai masyarakat yang taat beragama. Identitas masyarakat yang Islami, yang kuat terhadap agama, dengan menampilkan Kesenian Kuntulan yang kuat dengan ayat-ayat Islami, menjadi bergeser dan mulai ditinggalkan. Kesenian Kuntulan mulai terkikis dan hanya menjadi sebuah warisan yang dikenang. Karena masyarakat lebih menyukai hal-hal yang bersifat profan.
Bila dihubungkan dengan kasus diatas, perkembangan Kesenian Kuntulan yang semakin menurun, yang berhubungan dengan terkikisnya identitas. Terkadang harus di telaah kembali bagaimana Kuntulan tersebut menjadi sebuah kesenian. Sehingga Identitas Kuntulan dapat terlihat kembali dan menyimpan sebuah makna yang besar dalam pembuatannya dan lebih dihargai sebagai sebuah kesenian. Pengkajian kesenian secara teks menjadi penting ketika ingin mengurai kesenian hingga dasar dari kesenian tersebut, dan tidak lupa konteks dari kesenian tersebut juga turut ditelaah sebagai acuan dari kesenian tersebut terbuat. Pengkajian Teks dari kesenian kuntulan, dikaji secara Arkeologis agar teks tersebut dapat dijelaskan secara gamblang. Menurut Timbul Haryono, Arkeologis itu sendiri merupakan ilmu yang mempelajari kebudayaan dan peninggalan masa lampau serta manusia dalam aspek kehidupan. Arkeologi lebih kepada benda dan karya sebuah manusia dalam kebudayaan. Haryono juga menambahkan bahwa arkeologi berusaha mengungkapkan kehidupan masa lampau melalui budaya material yang ditinggalkannya (1984:5). Budaya Material adalah sebuah sistem simbolik yang maknanya dikomunikasikan melalui aspek spesifik budaya seperti bentuk, warna, tekstur, atau suara yang kesemuanya dicapai melalui sebuah proses yang telah dipilih (Conkey, 1990:13). Teks atau material tersebutlah yang akan dikaji dalam kasus Kesenian Kuntulan tersebut.
Sebenarnya, banyak kesulitan yang dialami para arekolog dalam menemukan objek material dari sebuah hal, seperti halnya objek arkeologis terkadang tidak lengkap. Selain itu, tidaklah mudah memberi batasan yang tegas pada kajian arkeologi, mengingat sifat data arkeologi selalu berkembang mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Restiyadi, 2008: 3). Maka itu adanya dasar-dasar yang menjadi landasan bagi pengkajian kesenian seperti  kuntulan yaitu,  berhubungan dengan sumber arkeologis dalam pembuatan dan proses dari sebuah kesenian tersebut. Sumber tersebut dapat berupa natural, fenomena atau cultural resources. Dari sumber tersebutlah data arkeologis dapat dikumpulkan dalam melengkapi Kuntulan sebagai kesenian.
Kesenian Kuntulan merupakan kesenian yang digunakan sebagai wujud rasa syukur masyarakat terhadap Tuhan YME, dengan adanya puji-pujian kepada Tuhan YME, membuat masyarakat lebih dekat kepada sang empunya kehidupan. Penggunaan Kesenian Kuntulan pada acara-acara masyarakat jawa, walaupun telah mengalami penurunan dari masa ke masa, kendatipun demikian kuntulan tetaplah menjadi sebuah kesenian masyarakat. Kesenian Kuntulan pernah jaya pada masanya, dan Kuntulan pun menjadi identitas masyarakat. Kesenian Kuntulan dapat menghasilkan sumber daya pada aspek lainnya, seperti sosial, ekonomi, dan agama. Kuntulan menjadi sebuah hal yang mendasar bagi aspek kehidupan masyarakat. Kuntulan sebagai sebuah kesenian terbukti sangat kuat dimana kesenian Kuntulan dan masyarakat saling mengisi dalam nilai-nilai kehidupan.
Kesenian Kuntulan yang mempunyai nilai peran yang besar dalam masyarakat. Tetapi tidak dapat dimengerti mengapa hal tersebut dapat terjadi, maka itu, adapun pertanyaan yang diangkat dalam makalah ini sebagai permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan tersebut adalah:
  1. Apa yang menyebabkan Kesenian Kuntulan mempunyai peran yang kuat pada masyarakat?
  2. Bagaimana konsep material dari Kesenian Kuntulan sebagai sumber Arkeologis?
Dalam kasus mengungkap sumber arkeologis, penelitian ini ditujukan pada pembahasan secara jelas tentang teks terbuat. Maka itu pemecahan kesenian dengan mengkonstruksi ulang kesenian menjadi hal yang perlu, karena dipercaya dapat melihat bagaimana kesenian tersebut terbentuk. Pada masalah ini adalah memecah Kuntulan sampai akar-akarnya.
Sedangkan landasan teori yang akan digunakan adalah teori semiotik dalam mengungkap kesenian. Semiotik merupakan pembahasan yang tepat setelah kesenian telah dipecah dalam berbagai unsur, dimana semiotik dapat mengartikan makna dari sebuah hal yang ada, entah dari bahasa bentuk bahkan kebudayaannya. Proses dari kesenian kuntulan pun dipecah ke dalam ranah behavioral kesenian, dimana unsur-unsur tersebut menjadi dasar dari proses make tersebut. Landasan lain yang digunakan adalah teori fungsional, dimana semua hal yang ada berfungsi membentuk hal yang baru dan berfungsi di setiap unsurnya dengan saling melengkapi.

Kuntulan sebagai sebuah Kesenian
Kuntulan sebagai sebuah kesenian, tidaklah terjadi begitu saja, Kesenian merupakan karya dari kebudayaan manusia, dan kesenian tersebut merupakan lambang dari beberapa potongan dari budaya masyarakat. Berhubungan dengan hal tersebut, dalam mengungkap potongan kebudayaan yang terealisasi dalam bentuk kesenian ini, maka mengungkap sumber arkeologis dari kesenian Kuntulan ini pun menjadi hal yang penting. Dengan membahas kesenian dari scope pemanfaatan sumber daya seni tersebut terjadi, penjelasan akan “teks” dari kesenian akan terungkap. Seperti halnya pada kasus ini adalah Kesenian Kuntulan.
Kesenian Kuntulan merupakan sebuah kesenian tradisional masyarakat yang digunakan masyarakat sebagai ucapan syukur, dengan menggunakan instrument terbang dan bedug (bagi kuntulan yang sederhana) ditambah dengan jidor, kendang, gong bahkan organ (kuntulan sekarang atau Kundaran), dan pada syair menggunakan ayat Al-Barzanji, selain itu untuk para penari menarikan gerakan pencak silat secara bersama-sama. Kuntulan sangat bernuansakan islami, dikarenakan pembacaan kitab Al-Barzanji sebagai syair utama dalam Kuntulan. Sebelum lebih jauh mendalami kuntulan, sebenarnya arti kuntulan secara harafiah adalah burung kuntul (semacam bangau putih tapi berekor pendek dan larinya sangat cepat). Penamaan burung kuntul terhadap kesenian ini dikarenakan para penari yang menggenakan baju putih layaknya burung kuntul atau bangau putih. Menurut budayawan  Banyuwangi, Sutedjo HN, kuntul sebagai simbol adalah artian dari gaya hidup sosial yang mementingkan kebersamaan dan kekeluargaan, dan hal tersebut diilhami dari burung kuntul yang memanggil teman-temannya disaat mendapatkan makanan[2].
Kesenian kuntulan itu sendiri berkembang di daerah pesisiran pantura, terutama pada tahun 1990an group kuntulan semakin banyak di desa-desa pesisir seiring dengan berkembangnya perguruan-perguruan pencak silat, dan setelah itu karena perkembagngannya yang pesat juga masuk ke daerah pedalaman[3]. Sebenarnya tidak ada yang dapat memastikan Kuntulan berkembang sejak kapan, tetapi dari data yang didapat, Kuntulan mulai berkembang sejak tahun 1920an, hal tersebut dibuktikan dengan tulisan seorang antropolog, John Scholte. Dalam tulisannya, John menceritakan bahwa telah ada sebuah kesenian yang membaca Al-Barzanji dengan diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada di Banyuwangi[4]. Hal tersebut jelas memastikan posisi Kuntulan sebagai kesenian tua. Yampolsky juga menekankan tentang adanya Kuntulan di banyuwangi yang dimainkan oleh para muda-mudi dan para murid sekolah (1995:720). Penyelenggaraan Kesenian Kuntulan biasanya pada karnaval agutusan, acara keagamaan, ucapan syukur, karnaval akhir pelajaran madrasah, tetapi dalam perkembangannya, penyelenggaraan semakin jarang. Kuntulan sebagai kesenian mempunyai banyak panggilan khusus, seperti Terbang Kuntul[5] atau Hadrah Kuntulan[6]. Hal tersebut disesuaikan kepada daerah mana yang menggunakannya.
Menurut Koentjaraningrat (1994:213), mengenai seni tari dan drama rakyat ada suatu aneka warna yang luas berdasarkan lokasi, tetapi pada umumnya di seluruh daerah kebudayaan Jawa pertunjukan seni rakyat bisa berwujud: Fragmen tarian drama memakai topeng, pelawak-pelawak bertopeng yang menari dan menyanyi, pertunjukan dengan penari yang berpakaian menyerupai raksasa, tarian kuda kepang, tarian yang ditarikan gadis-gadis remaja, pertunjukan sulap, pertunjukan wayang kulit, pertunjukan ahli cerita dan pertunjukan yang berorientasi pada Islam. Hal tersebut membuktikan bahwa kuntulan menempati posisi kesenian dari kebudayaan masyarakat jawa.
Dalam pertunjukannya, penari pada Kesenian Kuntulan biasanya berjumlah 10-40 penari tergantung dari kebutuhan acara, dan sekitar dua sampai tiga penyanyi, dan tiga sampai tujuh pemain musik yang memainkan terbang dan bedug. Para penyanyi menyanyikan syair-syair dari Al-Barzanji dan para penari melakukan gerak pencak silat bersama-sama, semua penari melakukan pencak-pencak yang seragam, sehingga pencak silat tersebut seperti layaknya tarian yang seragam. Busana yang digunakan para pemain Kuntulan jelas berwarna putih karena mewakili burung Kuntul, sedangkan pemusik dan penyanyi menggunakan sarung dan baju koko. Kesenian Kuntulan ini terbagi atas tiga unsur dasar yaitu vokal, musik dan tarian.
Dalam ranah musik, musik Kuntulan merupakan penerapan dari musik arab yang bersifat Islami, memang hal tersebut dapat dibuktikan seketika dengan mendengar langsung musik yang diperagakan oleh para pemain. Tetapi, selain itu, Mubarok menekankan tentang Islam di Indonesia merupakan Islam yang langsung dari Arab pada abad VII M, dan daerah pertama adalah pada kerajaan Samudra Pasai (2004:224). Masuknya agama Islam langsung dari para pendatang Arab mengakibatkan tidak hanya agama saja yang dibawa, tetapi aspek lainnya juga ikut dibawa baik yang berhubungan dengan agama, dan juga yang tidak berhubungan dengan Agama, salah satunya adalah musik terbang. Terbang menjadi alat musik yang mendasar dalam kesenian Kuntulan ini. Menurut Ganap, Musik Arab terbagi menjadi dua, yakni musik yang islami dan musik yang tidak islami, musik yang tidak islami seperti halnya Alud, sedangkan musik islami adalah terbang. Karena pada dasarnya musik terbang tidak bernada atau bersifat monothon, dan musik islam merupakan musik yang monothon. Monothon merupakan ibarat musik surgawi, seperti halnya berzikir atau pembacaan ayat yang bersifat monothon. Jadi Terbang merupakan musik islami. Sehingga dapat dikatakan bahwa musik dari Kuntulan bernuansa islami.
Sedangkan dalam kancah vokal, atau pembacaan teks dari penyanyi, Kesenian Kuntulan menggunakan kita Al-Barzanji sebagai syair dalam nyanyian. Sebenarnya kitab Al-Barzanji tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yakni: Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan satra bahasa tinggi, Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bahasa yang sangat indah, Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Abidin, 2009:23). Kitab Al- Barzanji tersebut merupakan kitab yang ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kitab Al-Barzanji ini menjadi kitab panutan dalam Kesenian Kuntulan, selain lebih populer bagi masyarakat, juga menceritakan sebuah perjuangan dari Nabi, sehingga dalam penggunaannya, kerap digunakan sebagai rasa syukur, rasa perjuangan, dll. Kitab Al-Barzanji merupakan sumber arkeologis yang bisa dipertanggung jawabkan sebagai sumber daya dari kesenian Kuntulan.
Unsur mendasar lainnya adalah pada tarian, dimana tarian sangat mewarnai dari pertunjukan Kuntulan ini. Tarian pada kuntulan bukanlah tarian yang halus atau tarian jawa lainnya, karena dominasi laki-laki pada tarian, dan perkembangan pencak silat yang luar biasa berkembang hingga masuk ke daerah pelosok tanah air, maka Pencak Silat lah sebagai tarian dari para penari kuntulan. Menurut  Draeger, bukti adanya bela diri tertera pada berbagai artefak senjata, serta pada relief-relief sikap kuda-kuda di candi Borobudur dan Prambanan. Beliau juga mengatakan bahwa seni bela diri silat bukan hanya sebagai olah tubuh, melainkan juga hubungan spiritual yang didapat. Silat masuk ke dalam ranah seni difaktorkan karena nilai pencak sebagai pralambang seni, dimana seni yang diutamakan, bukan untuk berduel[7]. Adapun ciri khusus bahwa pencak silat merupakan kesenian, adanya kaidah pada gerak dan irama, yang membutuhkan suatu pendalaman yang khusus, dan adanya ketentuan-ketentuan, keselarasan, keseimbangan dan keserasian. Pencak silat menjadi gerak pada tarian Kuntulan, juga dikarenakan sebagai rasa perjuangan dari kitab al-Barzanji. Dari ketiga unsur mendasar tersebutlah menjadikan sebuah kesenian rakyat kuntulan. Dimana ketiga hal tersebut menjadi teks dari sebuah kesenian yang bernama Kuntulan.
Pemanfaatan sumber daya kebudayaan terjadi pada Kesenian Kuntulan, dimana unsur-unsur yang terkandung pada Kesenian kuntulan adalah produk kebudayaan, produk hasil karya manusia sebagai teks dan dalam konteks. Haryono menjelaskan bahwa hadirnya sebuah golongan di sebuah Negara akan menyebabkan lahirnya bentuk seni pertunjukan yang sesuai dengan selera golongan itu, yang salah satunya adalah folk art (2008:132). Kuntulan merupakan kesenian rakyat, dan kemunculan dari Kuntulan karena adanya sebuah golongan, seperti halnya golongan keagamaan, dan dalam pembuatannya menghubungkan semua keadaan yang ada pada masyarakat. Sebuah kebudayaan akan bertahan dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, sepanjang masih dibutuhkan dan memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan masyarakat  (Haryono, 2008:133). Hal tersebut terjadi karena manusia bersifat dinamis dan terus bergerak menuju kearah yang lebih maju. Kuntulan pun mengalami hal demikian, dimana adanya pasang surut dalam penampilan dan penggunaannya, tetapi karena adanya kepentingan kebudayaan atau penggunaan, maka Kuntulan tetap dijaga walaupun dalam jumlah yang sedikit.
Dalam ranah Arkeologis, dimensi bentuk, ruang dan waktu telah diaplikasikan pada Kesenian Kuntulan, dimana bentuk kesenian kuntulan tersebut, dengan ruang pemanfaatan sumber daya bagi kuntulan, dan waktu pembuatan kesenian tersebut, sehingga telah membingkai kesenian kuntulan pada ranah bentuk kesenian pada ruang pemanfaatan di waktu pembuatan. Sehingga menjadi jelas ketika, pengutaraan dari objek material kesenian Kuntulan tersebut. Proses arkeologis yang dikaji dari kesenian Kuntulan ini adalah pada ranah buat atau “make”, dimana gabungan ketiga unsur dasar seperti, teks, musik dan tarian terbuat menjadi sebuah kesenian yang baru bernama Kuntulan.  Setiap unsur seperti halnya teks, musik dan tarian terbentuk dari proses “make” juga, tetapi telah bertransformasi menjadi bahan dasar kembali dan menjadi sumber arkeologis dari “make”, karena unsur-unsur tersebut merupakan sumber daya budaya masyarakat. Pada proses-proses pembuatan sebuah karya dibutuhkan sebuah inovasi, dan inovasi tertuang bila adanya sumberdaya, need, opportunity dan genius. Sumber daya disini adalah sumber daya dari alam, sosial, budaya. Kebutuhan disini adalah kebutuhan masyarakat dalam suatu hal sehingga menciptakan karya, kesempatan disini adalah adanya peluang dan kesempatan dalam membuat suatu karya, dan genius sebagai ide pokok individu yang menjadi ciri khas tersendiri dalam sebuah karya. Keempat faktor tersebutlah yang menjadikan sebuah kesenian, termasuk Kuntulan.
Berbicara tentang faktor inovasi dari proses pembuatan, lokal genius merupakan point yang penting karena hal tersebut merupakan faktor origin dari sebuah kebudayaan. Local Genius menurut Quartich Wales merupakan sikap kultural yang secara mayoritas dimiliki masyarakat luas yang berdasarkan pengalaman di masa lampau, mampu bertahan menghadapi pengaruh kebudayaan asing ketika terjadi kontak, mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mampu mengintegrasikannya ke dalam budaya asli dan mampu mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan kebudayaan. Yang dapat diartikan sebagai basis kebudayaan yang tidak tertutup pada perkembangan sebuah kebudayaan atau kemanjuan lain, tetapi dapat menseleksi kebudayaan mana yang patut dipertahankan dan dijadikan identitas dari lokal genius itu sendiri. Membicarakan tentang Kesenian Kuntulan, tidak akan pernah ada habisnya, tetapi ketika kesenian tersebut dibatasi, dalam ranah local genius, kesenian kuntulan dapat mengakomodir semua kebudayaan tanpa harus menghilangkan kebudayaan asli, dimana adanya gerakan tarian yang khas Indonesia turut dipadukan dengan kebudayaan islam di Indonesia.
Dalam hal ini untuk mengungkap kesenian Kuntulan dari ranah arkeologis dapat menggunakan teori semiotika, semiologi sebagai induk dari semiotika merupakan ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dalam masyarakat. Semiotika tidak membatasi diri pada sistem kebentukan dari sebuah kesenian, tetapi menghubungkan bentuk dengan konteksnya. Dimana semiotika akan mengulas dari teks kesenian tersebut. Pada kasus Kuntulan ini teks yang akan dibahas adalah teks pada vokal, dimana hal tersebut yang paling terlihat dan dapat diungkap secara teks dan konteks. Setelah ditarik sebuah ayat dan artiannya sebagai sebuah pandangan dari kesenian Kuntulan, ayat yang digunakan dalam Kuntulan adalah sebuah pujian dan perjalanan Nabi, sehingga bila dihubungkan dengan koteks yang ada dalam penggunaan pada Kuntulan ini, adalah sebagai ucapan rasa syukur kepada Nabi dan Tuhan YME, dan dalam penggunaannya digunakan dalam ucapan-ucapan rasa syukur dari warga. Dari perekembangannya memang semenjak abad VII M, Perkembangan Islam di Indonesia menguat bahkan menjadi Agama Mayoritas di Indonesia ini. Sehingga dalam perangkatnya, semua hal yang berhubungan masuk dan diterima menjadi kebudayaan Indonesia.
            Dalam Semiotika, bahasa dan teks menjadi hal yang terpenting dalam menjadi sumber, hal tersebut ditekankan oleh Marinis bahwa the textual analysis of performance clearly abandons the search for the definition of language of theater or arts (1993:3). Kekuatan bahasa menjadi hal yang utama dalam mengungkap kesenian. Dengan basis bahasa maka dapat diketahui secara teks dan konteks dari sebuah kesenian tersebut. Tetapi hal tersebut harus didukung dengan penggunaan kesenian tersebut, karena not all performances can be considered automatically as performance texts. Semiotik secara tekstual merupakan contoh dari performance phenomenon, dimana sebuah teks dikaitkan pada sebuah kejadian, karena teks tidak akan dapat diketahui secara jelas bila berdiri sendiri tanpa adanya konteks yang digunakan pada sebuah pertunjukan kesenian. Bila ditelaah lebih lanjut, tidak hanya pada teks, tetapi indek pada ikon dan simbol dari tarian bahkan alat musik. Dimana tarian mempunyai simbol-simbol sebagai suatu tanda yang konvensional yang memiliki makna umum. Seperti halnya Kuntulan, pencak silat merupakan tarian dari kesenian kuntulan tersebut. Pencak silat itu sendiri merupakan simbol dari perisai diri, dimana gerakannya merupakan perlindungan diri, tetapi dengan mengedepankan seni sehingga kecantikan gerakanlah yang dipertunjukan terlebih pada tarian.
            Setelah dijelaskan dengan semiotik, hal yang digunakan adalah melihat hubungan antar unsur dalam kesenian kuntulan ini. Maka itu dianggap perlu menggunakan teori Fungsionalisme. Pada dasarnya teori fungsionalisme adalah integrasi kebudayaan, penggabungan semua unsur yang ada. pendekatan yang mencakup semua aspek dan berhubungan satu dengan yang lain. Antara satu dengan yang lain mempunyai fungsi masing-masing dan mempunyai fungsi bersama. Dalam artiannya, fungsi terbagi atas hubungan kovariabel, hubungan yang mandiri dan berdiri sendiri. Hubungan kausal, hubungan sebab akibat. Hubungan antar unsur, seperti halnya religi-bahasa, adanya saling berhubungan. Adapun dasar dari teori fungsionalisme, yakni, kebutuhan naluri atau bioligis, dan kebutuhan psikologi. Menurut Malinowski dalam Koentjaraningrat (2007: 164-172), fungsi berarti unsur-unsur kebudayaan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan naluri manusia. Malinowski dapat berkesimpulan seperti itu sesuai dengan penelitiannya di Pulau Trobian. Yang dalam penelitian menemukan konsep “Kula Ring”, dan konsep “Rangsangan (Stimulus) menghasilkan Kontrol (drive) dan menghasilkan Respon”. Dari situ memunculkan fungsi dari sebuah proses. Adapun contoh, seperti kesenian kuntulan mempunyai fungsi sebagai media komunikasi dan hiburan serta media ritual. Fungsi agama, sebagai pengontrol jiwa, solidaritas, dan pendidikan moral. Agama membuat psikologi dan sosial menjadi lebih baik, dll. Fungsi menurut Malinowski adalah untuk melayani tujuan.
Dalam bukunya Kaplan,(1999:76-82) menyatakan bahwa, dalam fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni dictum metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi ciri sistematik budaya. Pada artiannya, kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi suatu masyarakat sehingga membentuk sistem yang bulat. Fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi saling ketergantungan. Para fungsionalis menyatakan pula bahwa fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural. Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik yang bertumpu pada analogi dengan organisme, yang dalam artiannya membawa kita memikirkan sistem sosial budaya sebagai semacam organisme, yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan tetapi saling memberikan andil dalam stabilitasnya. Jikalau kebutuhan tidak dapat berfungsi maka sistem akan mati. Seperti halnya pada kesenian, dimana jika sebuah kesenian berfungsi baik dalam masyarakat berarti kesenian berfungsi baik di setiap lininya, begitupun sebaliknya, ketika kesenian tidak berfungsi lagi berarti salah satu fungsi pada unsur sudah tidak dapat digunakan.
Dari hal tersebut diketahui bahwa sumber arkeologis yang dibaca tidak dapat dipisahkan dengan kegunaan dari hal tersebut, seperti halnya teks dan konteks, dan ilmu Arkeologi itu sendiri, dimana tidak hanya bentuk tetapi akan berhubungan dengan ekologi dari sebuah kajian. Seperti halnya pada kesenian kuntulan ini, unsur yang terkandung dalam kuntulan ini tidaklah berdiri sendiri dalam membentuk Kuntulan sebagai sebuah kesenian, tetapi dalam konteks yang sama, dimana peran nilai agama seperti halnya penggunaan teks dan alat musik dihubungkan dengan pencak silat sebagai nilai budaya. Disini peran local genius menjadi sangat penting dalam sebuah kesenian. Hal lainnya adalah kesenian Kuntulan telah menempati posisi ganda, dimana Kuntulan pada masanya menjadi sangat kuat karena bercampurnya nilai agama, budaya bahkan ekonomi pada sebuah kesenian. Fungsionalisme dapat dijadikan acuan dimana setiap unsur pada kesenian berfungsi satu sama lain membentuk kesenian yang kokok. Pada konsep pemanfaatan sumber daya, Kuntulan jelas memanfaatkan sumber daya budaya sebagai unsur mendasar dari Kuntulan yaitu budaya lokal dan budaya Islam.

Kesimpulan
Kesenian Kuntulan sebagai kesenian rakyat mempunyai peran dan nilai yang penting bagi masyarakat, ditilik dari nilai sejarah, diketahui bahwa unsur-unsur dari Kuntulan merupakan nilai kebudayaan yang telah mengakar pada bangsa. Unsur teks pada nyanyian, musik pada kuntulan dan gerak tari pada kuntulan merupakan nilai kebudayaan yang mempunyai peran yang kuat pada masing-masing halnya. Sehingga dalam hal ini kebudayaan-kebudayaan yang berdiri sendiri menjadi potongan-potongan kebudayaan baru dalam membentuk sebuah kesenian bernama Kuntulan. Sehingga peran yang kuat terjadi pada kesenian tersebut, tidak lain pula, setelah Kuntulan berkembang, adanya manfaat secara sosial, ekonomis dan agama yang muncul dengan adanya eksistensi dari kesenian Kuntulan. Juga dilihati dari fungsi setiap unsur budaya apakah dapat berfungsi dengan baik sehigga sebuah kesenian dapat berfungsi di masyarakat dengan baik atau tidaknya. Setiap unsur dalam kuntulan harus berfungsi dengan baik agar tetap bertahan, dan apabila sebaliknya maka kuntulan pun akan ditinggalkan.
Kuntulan sebagai kesenian, memanfaatkan sumber-sumber arkeologis dalam membentuk kesenian. sumber daya kebudayaan tertuang pada Kuntulan. Potongan-potongan kebudayaan tersebut telah membentuk sebuah kesenian baru. Secara arkeologis, Kuntulan mulai dipotong dari unsur “teks”, dimulai dari teks pada Kitab Al-Barzanji sebagai teks pada Kuntulan, telah diketahui bahwa makana yang ada pada teks merupakan sebuah pujian dan cerita perjalanan, sehingga diaplikasikan pada sebuah nyanyian dan gerak tarian, sehingga diselenggarakan pada acara-acara syukur. Dapat terungkap bahwa teks kesenian tidak dapat lepas dari konteks yang ada, karena teks tidak berjalan sendiri, teks dapat terwuju karena adanya konteks. Lokal Genius sebagai sumber arkeologis dari kesenian kuntulan membuktikan bahwa adanya pemanfaatan dari sumber daya kebudayaan masyarakat yang terjadi pada saat itu, dan dituangkan sebagai sebuah kesenian, yaitu Kuntulan.

Referensi
Abidin, Abu Ahmad Zainal.
2009. Barzanji, Kitab Induk Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dalam As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Surakarta: Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.
Conkey, Margareth W.
1990. Experiment With Style In Archeology: Some Historical and Theoretical Issues, dalam Conkey, Margareth W. dan Hastrof, Christine A. (ed.). The Uses of Style In Archeology. Cambridge: Cambridge University Press.
Draeger, Donald F.
1992. Weapons and Fighting Arts of Indonesia. Rutland Vt: Charles E Tuttle Co.
Haryono, Timbul.
1984. Artefak Kualitas dan Validitasnya Sebagai Data Arkeologi, dalam Artefak. No.1/I. HIMA: Yogyakarta.
2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta: Isi Press Solo.
Kaplan, David.
1999. Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat.
1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
2007. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI Press.
Marinis, Marco De.
1993. The Semiotics of Performance. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Mubarok, Jaih.
2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Restiyadi, Andri.
2008. Kajian Musik dalam Arkeologi: Upaya Rekonstruksi Terhadap Aktivitas Musik pada Masa Lampau, dalam buku “Arkeomusikologi”. Medan: Balai Arkeologi Medan.
Yampolsky, Philip.
1995. Forces for Change in the Regional Performing Arts of Indonesia. KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.
Ja’far al-Barjanzi al-Madani :  Kitab Al-Barzanji.

Webtografi:
http://roliandalas.blogspot.com diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 13.21
http://dotcomcell.com diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 13.21
www.kendalkab.go.id diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 15.48
http://Bambangpriantono.multiply.com diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukl 16.15
www.silatindonesia.com diakses pada tanggal 19 Juni 2012 pukul 16.04


[1] KKN merupakan Kuliah Kerja Nyata bagi para mahasiswa tingkat D3 dan S1. KKN yang saya jalankan berada di Dusun Klindon, Petungkriyono, Pekalongan pada tahun 2009.
[4] http://roliandalas.blogspot.com dan http://dotcomcell.com diakses pada tanggal 21 Juni 2012 pukul 13.21
[5] www.kendalkab.go.id diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 15.48
[6] http://Bambangpriantono.multiply.com diakses pada tanggal 20 Juni 2012 pukl 16.15
[7] www.silatindonesia.com diakses pada tanggal 19 Juni 2012 pukul 16.04

No comments: